Part 9

691 93 41
                                    

Jeslyn memakai seragam bengkel jumpsuit serta perlengkapan keamanan seperti sarung tangan, masker double filter, dan kacamata las, sebelum menyibukkan diri dengan Lamborghini Aventador yang masih ditanganinya selama seminggu belakangan ini. Setelah kemarin selesai mengganti velg dan ban, hari ini ia akan memodifikasi warna mobil dari orange menjadi hitam bergradiasi merah depan-belakang dan bawah--sesuai permintaan costumernya.

Ia sudah berada di ruang khusus pengecatan, hanya sepetak, tertutup tapi pintu terdapat kaca tidak terlalu lebar, dan ruangan hanya cukup untuk satu mobil. Dalamnya sangat terang terpasang beberapa lampu neon panjang, meja panjang untuk alat-alat mengecat, dan beberapa kaleng cat khusus mobil dengan kualitas pilihan terbaik.

Sebelum melakukan pengecatan, Jeslyn melepas kap, menaruhnya di kerangka besi segiempat. Kemudian, ia memasang koran di setiap kaca, lampu, atas mesin, serta ban. Ia melakukannya seorang diri, sangat hati-hati, dan serius agar mendapat hasil maksimal.

"Jes, lo dipanggil Pak Devon ke ruangannya."

Jeslyn menoleh ke arah pintu yang terbuka. Jaelani, teman satu bengkelnya menyembulkan kepala di pintu yang dibuka sedikit.

"Sudah waktunya makan siang dan lo masih sibuk. Dia minta lo istirahat dulu, udah beli makanan juga untuk lo," kata Jaeleni lagi.

Jeslyn menurunkan masker, membiarkannya menggantung di dagu. "Jam berapa sekarang?" tanyanya santai. Ia baru saja akan meracik cat untuk dimasukkan ke alat penyemprotan.

"Jam satu lebih."

Jeslyn mengangguk. "Oke, gue akan ke sana. Makasih informasinya." Ia mengulas senyum.

Jaeleni mengangguk, kemudian berlalu. Sedangkan Jeslyn melepas kacamata las, masker, dan sarung tangan, menyimpannya di meja. Ia berjalan keluar membiarkan dua daun pintu terbuka lebar. Sembari mengayunkan kaki menuju ruangan Devon yang ada di lantai tiga, Jeslyn melepas kancing jumpsuit bagian atas. Ia mengeluarkan kedua lengan dan membiarkan jumpsuit bagian atas itu menggantung bebas di pinggang.

Jeslyn akan bersikap biasa dengan Devon ketika di bengkel. Orang-orang bengkel sudah tahu jika hubungan dirinya dengan lelaki itu sangat baik sebagai adik-kakak. Ia harus profesional. Setidaknya bisa menyembunyikan kekisruhan hatinya meskipun berat dan terpaksa.

Sampai di depan pintu ruangan Devon, tanpa permisi Jeslyn langsung masuk. Ia melihat Devon sedang duduk di kursi kebesaran, sibuk mengutak-atik keyboard, dan menoleh ke dirinya ketika tersadar. Lelaki itu tampak tampan dengan kacamata bingkai tipis keemasan bertengger di tulang hidung. Penampilannya semakin sempurna dengan tubuh terbalut kemeja putih berompi hitam.

'Amankan jantung lo, Jeslyn. Jangan terpesona, please! Lo harus kuat. Lo udah gak punya harapan. Lepaskan dia. Lepaskan. Jangan baper!' rutuk Jeslyn, saat jantung mulai berdebar tak keruan. Devon sangat tampan, ia tidak mengelak akan hal itu. Sialnya, ia terlihat salah tingkah sekarang. Pipi pun merebak panas.

"Lupa jam istirahat?" tanya Devon sembari beranjak dari kursinya.

Gadis itu mengedikkan bahu. "Enggak lihat jam," balasnya jutek.

"Kakak beli makanan untukmu. Kita makan bareng di sini. Kakak juga belum makan." Devon mengambil kresek berlogo restoran dari salah satu meja. Jeslyn masih berdiri santai di depan pintu, ia menghampiri.

"Gue ambil makanannya saja. Mau makan di luar," kata Jeslyn datar. Bibirnya tidak menampilkan senyum sama sekali.

Akan tetapi, Devon mengulas senyum menawannya. Ia berdiri di hadapan Jeslyn, mengamati wajah gadis itu lamat-lamat. Jeslyn terlihat menggemaskan dengan pipinya yang merona merah. Devon melangkah semakin dekat, lalu berbisik di samping telinga gadis itu, "Kakak suka melihat pipimu merona seperti ini."

IMPOSSIBLE (REVISI)Where stories live. Discover now