(10) Emas dalam pasir

25 9 0
                                    

Hai apa kabar semua?
Ada yang belum absen vote?


♡´・ᴗ・'♡

Seperginya Naraya, ruangan menjadi terasa hampa, tidak ada lagi tatapan sinis, obrolan ketus, juga bahan Bervan mendaratkan gombalan. Bervan sudah merindukan Naraya, sangat rindu.

Bau obat-obatan yang dibawa suster semakin membuat Bervan merasa hampa, obat-obatan itu membuatnya terlihat menyedihkan. Tapi... Apakah bonyok juga perlu minum paracetamol?

Hanung dan Tanu masih duduk di sofa, kadang mereka saling beradu kilat pandang, berperang lewat tatap sinis yang kemudian dibuang ke sisi lain. Tante Martha dan Javero sedang sibuk mengupas jeruk, dan Papa...

Biarlah Papa tenggelam dengan dunia kerjanya. Bervan tak ingin peduli. Memikirkan Papa sama saja mencoba berkutik dengan satu pertanyaan aritmetika yang Bervan sama sekali tidak suka. Selain nama belakang Papa yang sering ia jadikan kebanggaan, Bervan tidak pernah menginginkan hal lain dari Papa.

"Kalian ga apa-apa nunggu Bervan sampai sore begini?" Tante Martha berjalan dengan tumpukan jeruk di nampan, dengan hati-hati wanita yang memakai setelan blus berwarna krem yang dipadukan celana khaki dengan warna senada itu perlahan menaruhnya di meja yang berada di sisi sofa.

"Ga apa-apa Tante, lagipula kita ga ada kegiatan lain," Jawab Hanung sopan. Tangannya meraih satu buah jeruk yang baru saja Tante Martha sajikan.

"Makasih ya udah sempetin jenguk Bervan," Javero menyusul Tante Martha dengan gelas-gelas air mineralnya, menaruhnya acak lalu bergabung dengan Hanung, duduk di samping cowok itu dengan satu tangan bertengger di pundaknya.
"Lo temen sekelasnya Bervan juga?" Javero memiringkan badannya ke arah Hanung.

"Hehe. Iya begitu lah," Hanung menatap Tante Martha dan Javero bergantian.

"Syukurlah, setidaknya Bervan punya teman lain selain Tanu," Tante Martha tersenyum lembut lalu bergegas pergi.

"Gue sampai bosen lihat Tanu. Bervan ga pernah punya temen," Javero meraih air mineral di meja, menggigit salah satu sisi gelas plastik hingga bocor dan menenggak isinya sampai kosong.

"Harus banget gue lapor lo kalau punya temen?" Sahut Bervan yang jengah selalu jadi bahan perbincangan.

Semua terkekeh.

"Gue Javero. Kakaknya Bervan," Javero mengulurkan tangan, Hanung pun segera membalas tangan yang mengajaknya berjabat itu.

"Apa? Sejak kapan gue mengakui lo sebagai kakak? Gue anak tunggal titik," Bervan menggedikkan dagunya kesal. Ia selalu tidak suka jika Javero mengaku sebagai kakaknya.

"Diemin aja dia emang begitu!" Kekeh Javero sembari berbisik.
"By the way. Nama lo siapa?"

"Hanung."

Javero tersenyum gemas, tangannya menepuk pundak Hanung sekali lagi.

"Santai aja kalau ngomong sama gue!" Pintanya. Membuat Hanung tidak bisa lagi menyembunyikan senyumnya.

"Gue fans berat lo, Kak!" Hanung balas menepuk pundak Javero. Membuat cowok dengan pembawaan keren itu salah tingkah.

"Oh ya? Wah..."
"Kok bisa begitu anjir, gue jadi malu," Javero meringsek ke sisi lain, menyembunyikan rona merah yang menyerang kulit pembungkus tulang pipinya.

"Dari dulu gue selalu pengen jadi pebasket, tapi gue cedera tulang kaki yang bikin ga bisa buat berlari terlalu cepat," Tutur Hanung menjelaskan.

"Owww..." Javero memasang raut wajah iba.

Judes but love 「COMPLETED」Where stories live. Discover now