(41) Sudah tahu

21 6 6
                                    


⋋⁠✿⁠ ⁠⁰⁠ ⁠o⁠ ⁠⁰⁠ ⁠✿⁠⋌


"Kamu ga ngantuk?" waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, namun mata Naraya enggan sekali terpejam, membawanya ke alam mimpi. Sudah hampir satu jam ia habiskan untuk berbicara, membahas hal-hal konyol yang berhasil mengundang gelaknya bersama Bervan, cowok itu benar-benar datang dengan baju hitam berlengan panjang yang ia tarik hingga batas siku. Ia menekuk tangan di atas ranjang Naraya, menopang dagunya dengan satu tangan.

"Aku tidur seharian," Naraya menarik selimutnya semakin naik.

Bervan hanya menggumam, "Aku suruh suster untuk suntik bius kamu aja kali, ya?"

Naraya mencebik, membuat Bervan kembali mengulas senyum. Ia suka sekali melihat Naraya menautkan alisnya seperti itu, tampak .., cantik sekali?

"Kamu ngantuk?" Naraya tidak ingin mendapatkan jawaban 'iya' jadi ia menyeret kalimatnya agar terdengar seperti rengekan, melekatkan padangan pada mata Bervan yang mulai memerah.

"Belum, aku tadi abis buka perban terus dikasih obat. Abis minum obat itu aku beneran kaya kena bius, tidur sampai malam," Lapornya.

"Jadi udah ga apa-apa tangannya?"

"Ga apa-apa, udah bisa antar-jemput kamu," Bervan mengusap puncak kepala Naraya, menyingkirkan anak rambut yang berantakan di dahinya.

"Mana bisa begitu, kan kita harus backstreet."

"Engga ah, Ra. Aku capek." Bervan menggoyangkan tubuhnya, persis anak kecil yang minta mainan di pasar malam. "Aku kan mau pamerin kamu ke semua orang."

"Van ..."

"Kalau ga aku yang mulai, kita bakal kaya gini terus, Ayah juga harus mulai mengerti, masa terus-terusan aku yang mengerti Ayah."

Perkataan Bervan benar, sesuatu yang dimulai dengan kesalahan pasti tidak akan mendapat akhir yang baik. Naraya juga harus tetap fokus pada usahanya untuk bisa menaikkan peringkatnya, memberikan harga yang pantas untuk segala sakit hatinya pada Mama. Jadi, ia tidak ingin memikirkan hal-hal jelek lagi.

"Aku dengar kamu juga dipanggil sama Bu Rina, kan?" Bervan membuyarkan lamunan Naraya, membuatnya menoleh kaget dan mendapati wajah khawatir Bervan memandanginya miris.

"Kamu udah tahu?"

"Tanu, aku sama Prima tahu," tentu saja Bu Rina tidak akan benar-benar seratus persen memihak murid seperti dirinya. "Waktu itu ranking satu sampai tiga dipanggil buat lihat ranking kelas, tapi aku beneran ga nyangka nilai kamu turun sejauh itu."

"Kalian pasti bakalan kasih tahu yang lain, kan?"

"Bu Rina minta jangan sampai anak-anak lain tahu. Jadi soal itu kamu ga usah khawatir!" yakin sekali Naraya pasti tidak ingin membuat Sekala malu, tidak ingin mencoreng nama Sekala yang bersih dan penuh dengan sinar itu. "Ra ..."

"Jangan kasihan, Van! Aku ga butuh kasihan dari siapapun!" Naraya menolehkan wajahnya ke sisi lain, memandang jendela yang memperlihatkan sebagian kota Jakarta. "Termasuk dari kamu."

Kota ini tidak pernah memberikan kesan sepi, setiap sudutnya tersorot lampu jalanan yang berpendar. Banyak sekali manusia berlalu lalang seakan mereka tidak tidur sama sekali. Lalu setelah mengingat hangatnya kota yang ia tinggali, ia menoleh pada dirinya sendiri, kenapa ia begitu berbeda dengan kota Jakarta. Kenapa semuanya terlihat abu-abu, tidak ada warna yang mencolok, yang menerangi sisi-sisi hatinya yang kosong. Lalu kemudian ...

"Mau aku bantuin belajar?" ya. Inilah warna yang tiba-tiba saja datang, warna yang membuat hati Naraya hangat, bahkan ketika semua orang tidak ada ia menjadi satu-satunya yang hadir. Naraya menoleh lagi, Bervan yang sedang mengusap puncak kepala Naraya ikut memaku tatap ketika Naraya memandanginya lekat. "Setiap pagi, sepulang sekolah, di kelas di cafe Aretha, dimana pun kapan pun kamu mau."

Judes but love 「COMPLETED」Where stories live. Discover now