(25) Hati-hati di jalan

24 8 5
                                    

♡⁠(⁠>⁠ ⁠ਊ⁠ ⁠<⁠)⁠♡



"Lo mau bareng gue? Kayanya Kak Sekala udah pulang," Hanung menunda untuk memakai helm full face-nya, menahan benda itu di udara untuk beberapa saat sambil membujuk Naraya yang masih bergeming di sudut pagar.

Dan ia menggeleng.

"Gue lagi ga pengen pulang," Mungkin untuk tidak bertemu Sekala atau sekedar menundanya.

"Mau kemana? Gue anterin," Hanung masih berusaha, tentang tulusnya dia tidak pernah diragukan lagi.

"Nung, please!"

"Gue pengen bantu doang, Ra."

"Dengan lo pulang lo udah bantu gue," Naraya mengambil alih helm Hanung, memakaikannya perlahan sampai berhasil menutupi seluruh kepala sahabatnya.
"Please, kali ini aja ... gue beneran pengen sendiri."

Hanung menaikkan kaca helm, menatap lama mata Naraya untuk memastikan sekali lagi. Butuh setidaknya sepuluh menit hingga ia benar-benar meninggalkan Naraya sendiri, bersama dengan riuh angin yang menggesek dedaunan hingga beberapa helainya jatuh ke tanah secara tragis.

Naraya masih menatap kosong benda di depannya, waktu hampir menunjukkan pukul lima sore namun ia benar-benar enggan untuk melangkah pulang.

Lalu entah kenapa ia merasa tiba-tiba harus menggerakkan kaki, menyusuri trotoar yang jalannya mulai ramai oleh kendaraan. Cahaya temaram di ujung sana membuat Naraya sedikit memicing, ia mempercepat langkahnya seiring dengan cahaya yang semakin terlihat memendar hangat. Sebuah kedai mie ayam dan bakso dengan spanduk merah bergambar mangkok jago mulai menampakkan keramaian, sebenarnya sudah sejak lama Naraya melihat kedai ini, namun karena kekangan Sekala ia bahkan tidak pernah berfikir bisa singgah.

Kepulan asap dari panci rebusan air menjadi daya tariknya sejak tadi. Ia mungkin sudah masuk andai saja sosok di sudut bangunan tak mengganggu ekor matanya. Ia menoleh lagi memastikan,

Dia manusia, kan?

"Silahkan mbak," Suara pelayan dengan setelan hitam membuat Naraya menoleh kaget, hanya sesaat setelah ia memalingkan pandangan, sosok yang ia lihat kini tidak ada di tempatnya lagi.
"Mbak cari seseorang?" Tanyanya lagi saat melihat Naraya tampak celingukan.

"Ah enggak, saya mau pesan mas."

Pelayan itu tersenyum, terlihat selalu tulus walaupun peluh menetes membasahi keningnya.
"Meja di sana kosong," Jari jempolnya menunjuk sopan, sebuah bangku paling ujung di sisi jendela yang langsung memberikan pemandangan jalan raya yang padat.

Membosankan.

Naraya harus mau menjadi orang pertama yang paling disorot saat seseorang menoleh ke arah kedai ini, wajahnya cukup terpampang tersekat kaca bening tanpa tirai.

Ada beberapa pengunjung di sana, sebagian bersama dengan keluarga, namun tak jarang yang hanya menempati satu bangku sendiri seperti dirinya. Kebanyakan orang seperti itu adalah pekerja kantoran yang iseng makan atau pegawai swalayan yang beristirahat. Mereka tampak lahap, seakan semua masalah yang tadi dipikulnya menguap bersama panasnya kuah. Sesekali ada tawa anak kecil yang riuh namun tidak pernah terdengar mengganggu. Tawanya hanya tulus dan tidak ada beban, seperti itulah Naraya ingin tumbuh.

"Mbak pesan apa?" Pelayan yang sama kembali menyambang, ia masih tersenyum sembari menanti Naraya menyebutkan pesanannya.

"Mie___" Naraya baru ingin menyebutkan pesanan ketika atensinya teralih pada suara ribut di luar kedai, semua orang melihat ke satu tempat yang sama. Teriakan pria dewasa yang sepertinya sedang memarahi seseorang, suara bangku yang saling bertubrukan. Segalanya terdengar sangat ... kacau?

Judes but love 「COMPLETED」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang