(35) Hanya Naraya

24 4 4
                                    



ෆ⁠╹⁠ ⁠.̮⁠ ⁠╹⁠ෆ

-----

Memilih duduk di kursi panjang yang berada di luar ruangan, Bervan masih terlihat sibuk dengan perbannya sendiri, Elena ada di dalam ruang periksa, tidak sadarkan diri. Kejadian tadi sore membuat cewek itu tiba-tiba pingsan, staff cafe melarikannya ke puskesmas terdekat yang lalu mengabari Bervan untuk menyusul.

Lukanya berdenyut, perih tentu. Namun rasanya semua tidak pernah bisa menandingi rasa khawatirnya saat ini, masih terlalu hangat di ingatannya saat darah segar membasahi lantai cafe, saat Naraya yang diam saja sekuat apapun Bervan mengguncang tubuhnya. Naraya pasti tidak baik-baik saja, namun kenyataan bahwa Bervan tidak bisa meninggalkan Elena membuatnya cukup frustasi. Bervan menunduk, menatap tangan kanannya yang tertutup oleh perban hampir sebagian, rasa khawatirnya terasa semakin mencekat saat ia memaku tatap pada lengannya sendiri. Meskipun begitu Bervan mengaku sedikit bersyukur, karena setidaknya ia tahu Naraya ditangani pada waktu yang tepat. Cewek itu selamat.

Sejak tadi Bervan tidak memperdulikan siapapun yang berlalu lalang di depannya, ia malas mendongak, sama sekali tak ingin menghiraukan bayangan-bayangan yang berseliweran. Hingga kemudian ia merasa cahaya yang memendarinya terhalangi, cukup lama, bayangan yang tadi hanya lewat kini seperti sengaja menutupi cahaya untuknya, mendekat, tepat di depannya.

"Van."

Bervan mendongak, menemukan Elena yang terlihat sedikit berantakan, Bervan bangkit, tangan kirinya naik mengecek hangat dahi Elena. "Udah ga apa-apa emangnya kok jalan-jalan?" Bervan bukan khawatir pada Elena melainkan pada keselamatannya sendiri jika sampai Elena terluka.

Elena melesak maju, memeluk Bervan yang terdorong hampir jatuh. Tentu saja Bervan mencoba melepaskan diri, namun tangisan Elena membuatnya menurunkan tolakan tangannya. Selama beberapa detik mereka bertahan dalam posisi itu, Bervan mendengarkan Elena yang menangis dan berhasil membasahi pundaknya.

"Tolong bilang lo ga apa-apa!" Elena menekan dua tangannya, membuat Bervan sedikit terbatuk karena tercekik.

"Tadinya ga apa-apa tapi kalau begini terus gue bisa mati gara-gara lo cekik."

Perlahan Elena mengendurkan peluknya, melepaskan, lalu mundur selangkah lebih jauh dari Bervan.

"Gue okay, lo kayanya yang ga baik-baik aja," sekali lagi Bervan mengecek dahi Elena, menyibakkan rambut yang menutupi dahi cewek itu. "Kenapa lo tiba-tiba pingsan?"

Elena diam, satu tangannya menepis tangan Bervan untuk beralih dari wajahnya. Ia bergerak mendekati kursi, duduk di sana dengan ekspresi yang sama sekali tak bisa Bervan tebak. Sejak Bervan banyak menghabiskan waktu dengan Elena, ia melihat banyak hal yang belum ia lihat sebelumnya. Seperti Elena yang tiba-tiba menangis, tiba-tiba panik, atau Elena yang pernah meninggalkan Bervan sendiri di restoran bersama makanannya yang belum tersentuh sama sekali. Terlihat aneh juga sedikit mengkhawatirkan.

"Kalau gue bilang, gue itu langganan pergi ke psikolog, lo bakal bilang mikir gue gila juga ga?"

Sebentar!

Bervan sedikit tertegun, ia ingin tertawa namun takut dianggap sama seperti yang Elena khawatirkan, jadi ia hanya tersenyum. Sama seperti biasanya jika ia menghadapi Elena yang mulai melantur. "Lo udah gue anggap gila tanpa harus pakai alasan sering pergi ke psikolog."

"Jawaban lo paling bisa gue terima sejauh ini."

Bervan tak menjawab, hanya tersenyum miring lalu mengalihkan tatap pada tangannya kembali. Terkadang luka di lengannya terasa sedikit nyeri yang lalu membuat pikirannya kembali melayang, terbang ke arah yang tidak pasti, ia ingin mencari kemana Naraya, ia ingin tahu bagaimana keadaannya, ia ingin menjelaskan pada Naraya tentang apapun bahkan perasaannya yang kalang kabut sepekan ini. Bervan ingin Naraya tahu bahwa ia juga tersiksa, mungkin lebih tersiksa daripada Naraya sendiri. "Mau gue antar pulang?" Tanyanya setelah melirik ke arah Elena yang melamun.

Judes but love 「COMPLETED」Where stories live. Discover now