(34) Gelas yang pecah

20 6 4
                                    


(⁠´⁠∩⁠。⁠•⁠ ⁠ᵕ⁠ ⁠•⁠。⁠∩⁠'⁠)


"Makasih, Mbak." Naraya beralih dari meja kasir setelah mendapatkan pesanannya, langkahnya terhenti sejenak untuk mencari tempat yang masih kosong. Ini adalah kali pertamanya menginjakkan kaki di cafe yang keluarga Aretha kelola, cafe dengan gaya rustic yang lumayan ramai dikunjungi oleh mahasiswa, pekerja kantoran yang mengadakan meeting dengan klien, atau anak sma sepertinya yang iseng ketika pulang sekolah.

Tepat ketika Naraya hendak melangkah, dirinya dibuat menoleh oleh suara Aretha memanggil namanya, entah sejak kapan cewek yang saat ini memilih gaya rambut cepol sederhana itu duduk di sana, di salah satu meja yang paling dekat dengan pintu masuk. Aretha melambai, memberi kode pada Naraya untuk duduk di dekatnya.

Sudah sepekan ulang tahun Bervan berlalu, sudah sepekan juga Naraya banyak menghabiskan waktu dengan Aretha. Semenjak dirinya kembali dari taman untuk menemui Tanu, Hanung dan Aretha di kelas dengan kue yang hampir leleh dan diri yang lesu seminggu yang lalu, tidak ada pertanyaan yang keluar dari ketiganya, seakan mereka paham yang terjadi hingga tak menanyakan alasannya.

Hanung lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Tanu, keduanya terlihat jauh lebih akrab dari sebelumnya, Naraya sering melihat mereka keluar kelas bersama, mereka cukup populer di area sekolah jadi Naraya sering tahu dimana mereka tanpa harus mencari keberadaanya karena gosip dari segerombolan siswi yang berbincang. Sejak sepekan lalu juga, Naraya belum melihat Tanu berbicara dengan Bervan, entah untuk alasan apa.

"Menurut lo bagusan cafe veggie atau florist, Ra?" Aretha memang merencanakan membangun sebuah usahanya sendiri di samping cafenya, kebetulan sekali ada bangunan kosong yang mampu Ayahnya beli tiga tahun lalu namun sampai sekarang tak tahu harus dijadikan usaha apa.

"Lo baru kelas sepuluh, buru-buru banget ga sih?" Naraya membuka laptopnya di sisi meja yang kosong, ada banyak sekali tugas dan manusia di depannya malah memikirkan tentang usaha, bukan apa-apa hanya terkesan sedikit buru-buru.

"Justru harus dari gue umur segini, otak lagi fresh-fresh nya."

"Ya sih," Naraya mengangkat segelas earl grey yang Naraya pesan sebelumnya, berniat meminum sebelum benar-benar kehilangan pecahan esnya. Namun belum sampai sedotan menyentuh bibir, tangannya melayang lama di udara. Di depannya berdiri sosok yang beberapa hari ini paling ia hindari, ia memasuki pintu cafe yang loncengnya selalu berbunyi setiap dibuka, tentu saja tidak sendiri, ada orang lain di belakangnya.

Tanpa sadar air dari gelas Naraya menetes dan membasahi keyboard laptop. Aretha yang sadar segera meraih tisu, mengelap tetesan air sebelum akhirnya menoleh ke arah dimana tatap Naraya terpaku.

Bervan baru saja berjalan mendekati kasir, dengan pakaian serba hitam yang dilengkapi dengan topi dengan warna senada, ia seperti bukan orang yang sama, yang beberapa hari lalu tertawa bersama mereka. Di belakangnya ada Elena, berjalan mengekor dengan tangan yang bertaut pada lengan Bervan, dengan pakaian yang lebih memiliki warna, dua orang itu terlihat begitu ... tidak cocok?

"Ngapain sih dua tapir itu kesini, bikin repot karyawan gue aja," Aretha hendak bangkit, namun sepertinya Naraya lebih layak menerima atensinya daripada Bervan dan Elena. "Ra? Ga apa-apa, kan?"

Naraya menggeleng, menaruh kembali minuman yang belum berhasil diminumnya.

"Gue bawain mille crepes, tunggu sebentar disini, ya!" Beranjak dari kursi nyamannya, Aretha bergerak menuju lemari pendingin, matanya nanar mencari rasa terbaik yang pernah dibuatnya untuk diberikan pada Naraya. "Rasa apa, ya?" Gumam Aretha berjinjit melihat varian rasa yang ada di rak paling atas.

Judes but love 「COMPLETED」Where stories live. Discover now