(40) Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya

23 6 1
                                    




⋋⁠✿⁠ ⁠⁰⁠ ⁠o⁠ ⁠⁰⁠ ⁠✿⁠⋌


Hari beranjak gelap ketika Sekala menginjakkan kaki di lantai rumahnya, memasuki rumah yang terlihat lebih terang dari biasanya. Satu yang Sekala tahu adalah kali ini rumah itu terasa benar-benar menjadi rumah karena ada Papa dan Mama di dalamnya, bukan hanya dia, bukan hanya ada Naraya dan Bi Iin saja.

"Malam," sapanya melihat Papa duduk di sisi sofa dengan keadaan menunduk. Mendengar suara anaknya, Papa lekas mengangkat kepala, berdiri dari duduknya untuk segera menghampiri Sekala.

"Sekala, kamu pulang sendiri?" tanya Papa celingukan mencari sesuatu di belakang Sekala.

"Iya, kenapa?"

"Kamu ga baca pesan Papa?"

"Papa kirim pesan ke Sekala? Kenapa ga telfon aja?" Sekala menekuk satu tangannya, melepas tali strap dari satu pundaknya untuk kemudian merogoh ponsel yang ia taruh di dalam tasnya.

"Sampai habis baterai Papa telfon kamu ga diangkat," pria paruh baya itu kini terlihat panik, frustasi dan berantakan.

Papa

142 missed call

Sekala, Naraya pergi.
Tolong cari!
Papa tunggu di rumah.

"Maksudnya bagaimana, Pa?" Sekala selesai membaca baris demi baris pesan yang ia terima. Lalu, ia hilang kendali. "Papa apain lagi Naraya?"

Pertanyaan itu belum terjawab saat ketukan suara sepatu dengan hak tinggi terdengar menuruni tangga. Sekala baru melihat sosok itu setelah tadi pagi mengabari bahwa ia kembali ke Indonesia, namun pertanyaan tentang apa kabar, lagi apa atau tentang basa basi lain sama sekali tidak terpikirkan lagi. Sekala menghampirinya dengan tergesa, berhenti di ujung anak tangga menunggu sosok itu sampai di depannya.

"Apa yang terjadi, Ma?" Sekala mendongak, menatap raut angkuh yang sudah sampai di depannya. "Kenapa sih padahal Naraya tuh nungguin banget pas tahu Papa sama Mama bilang mau pulang."

"Dia akan pulang."

"Itu kemungkinan terbaik. Sekarang bicara kemungkinan terburuknya, bagaimana kalau saat Naraya pengen pulang, dia ga bisa? Ma, di luar sana orang jahat itu banyak. Terus sekarang Papa sama Mama cuma mau menunggu sementara kita ga tahu keadaan Naraya bagaimana?"

Mata itu bergejolak, nanar pandangnya ia sapukan ke seluruh penjuru ruangan. Wanita paruh baya itu panik setengah mati, namun sengaja ia tutupi demi pendiriannya sendiri. "Biar Naraya tahu dunia luar itu ga aman."

"Setelahnya? Kalau dia punya kesempatan buat sadar, kalau Tuhan ga kasih dia kesempatan bagaimana? Apa aku harus kehilangan adik dulu baru Mama mau turunin egoisnya?"

"Ini juga salah kamu ga bisa didik Naraya dengan benar, dia hidup membangkang dan sama sekali tidak mau mendengarkan ucapan Mama," lagi-lagi kesalahan itu dilempar.

"Mama!" Papa lelah, pria dengan tubuh berotot itu ternyata sudah berpindah duduk kembali di sofa dengan keadaan menunduk memegangi kepala. "Kenapa sih ga pernah mau mengaku kalau salah? Kenapa ga pernah berubah?"

Pandangan Sekala beralih dari menatap Papa kembali ke Mama, mata wanita di depannya sudah berair, meleleh walaupun masih dengan ekspresi datar.

Sekala menurunkan lututnya hingga menyentuh lantai, lemas dan kehilangan arahnya, ia hanya bisa bersimpuh di depan Mama kali ini. "Mama sama Papa terlalu sibuk dengan diri sendiri, kalian tidak tahu bagaimana aku dan Naraya tumbuh. Kami hidup saling memegang tangan satu sama lain, jadi sampai aku sebesar ini aku hanya merasa punya Naraya. Apa kalian mau merenggutnya juga?"

Judes but love 「COMPLETED」Where stories live. Discover now