(39) Seperti bukan anak Mama

22 4 0
                                    



(⁠╥⁠﹏⁠╥⁠)




"Mama tidak pernah menoleransi nilai buruk, Naraya!" Sudah sekitar satu jam Mama berjalan mondar mandir di depan Naraya, tubuhnya yang meliuk sempurna seakan tidak memiliki kurang itu berbelok setiap kali sampai di ujung sofa.

"Naraya berusaha."

"Lalu? Seperti ini hasil usahanya?" Mama berhenti tepat di hadapan Naraya, menekuk dua tangannya yang menumpu di pinggang. "Naraya ... Mau jadi apa kamu nanti? Tidak bisa masuk tiga besar saja sudah cukup memalukan apalagi ini tidak sampai sepuluh besar. Mama ga tahu mesti bagaimana menghadapi kamu!"

"Tapi ini baru tengah semester, Ma."

Wanita paruh baya itu menunduk, dua tangannya luruh perlahan bersama dengan geraknya mendekati sofa lain lalu mendudukinya. "Kamu tahu kenapa Mama tidak mau datang ke Sekolah?"

Diam. Naraya tidak berani mengatakan apapun, ia hanya pandangi wajah yang sebenarnya ia sangat rindukan itu dengan tatapan merendah.

"Mama malu, Naraya. Mama merasa gagal," katanya. Dengan posisi masih menunduk Mama memijit pangkal hidungnya pelan. "Bagaimana bisa Mama melahirkan dua orang anak dengan kemampuan yang jauh berbeda? Kenapa kamu tidak bisa menjadi seperti Kakakmu Sekala? Kamu juga lahir dari rahim Mama, tapi .., kamu seperti bukan anak Mama."

Deg!

Dunia Naraya baru saja hancur, perasaannya memburam, kepalanya pening dan penglihatannya mulai kabur. Ia seperti baru saja mendapatkan jawaban atas pertanyaannya selama bertahun-tahun. Seperti bukan anak Mama? Tidak  bisa seperti Sekala? Apakah hidupnya hanya tercipta sebagai bayangan Sekala? Ataukah sedangkal itu arti hidupnya bagi wanita yang saat ini bahkan tampak tidak menyesal dengan perkataannya.

"Ma ... "

"Dulu, usia Sekala baru satu tahun ketika kamu lahir, Sekala harus merelakan masa kanak-kanaknya untuk mengurusmu, lalu setelah kalian beranjak dewasa Mama harus membebaninya lagi dengan menjaga kamu. Mama merasa bersalah."

"Mama ga merasa bersalah sama aku?"

Mama menoleh, "Apalagi yang kurang? Hidupmu sudah lebih dari berkecukupan."

"Hidup aku penuh dengan kurang," Naraya menunduk, satu tetes air mata jatuh membasahi roknya, "Mama ga tahu kan, aku ga pernah punya foto kecil? Saat Sekala begitu senang nunjukin foto bayinya aku ga punya apa-apa. Saat Sekala bilang bisa sepeda karena diajari Papa aku ga bisa bilang apa-apa. Saat Sekala pamer foto kelulusan bareng kalian, aku ga bisa pamer apa-apa. Kalian bahkan ga ada di masa-masa berharga aku."

"Mama kerja selama ini, kamu tahu, kan?, Dan semata-mata juga buat kalian."

"Lalu? Kenapa Sekala bisa diusahakan sedangkan aku engga?" Naraya meremas sisi sofa dengan dua tangannya, rasanya benar-benar perih. Bagaimana bisa orang yang ia begitu cintai memberinya luka yang teramat dalam? "Apa Sekala begitu berharga dab aku begitu tidak diinginkan?"

"Naraya!"

"Aku bahkan pernah berfikir, apa aku harus ga ada dulu sampai kalian sadar kalau aku juga anak kalian? Berapa kali Papa sama Mama pulang demi aku? Papa sama Mama hanya pulang untuk Sekala dan kebetulan ada aku. Aku bahkan ga punya foto bareng sama kalian, lalu Mama merasa bersalah sama Sekala dan sama sekali ga melihat ke arahku?"

Hening. Hanya suara isak Naraya yang beriringan dengan langkah kaki Papa yang mendekat, ternyata sejak tadi Papa ada di ruangan yang sama, mendengar setiap kata yang Naraya ucapkan tanpa terlewat satu pun.

"Kalian hanya membebani Sekala dengan ngurusin aku. Lalu, membebani aku dengan tumbuh tanpa kasih sayang sama sekali. Apa kalian ga merasa bersalah?"

Naraya baru saja merasakan tubuhnya direngkuh dari belakang, tangan yang seingat Naraya tidak pernah memeluknya kini melingkar di tubuh mungilnya, tangan Papa yang ia rindukan setiap kali ia butuh sosok pelindung, tangan Papa yang bahkan belum sempat mengajarinya naik sepeda, memeluknya dengan begitu erat.

Judes but love 「COMPLETED」Where stories live. Discover now