(24) Hukuman

27 8 3
                                    


⋋⁠✿⁠ ⁠⁰⁠ ⁠o⁠ ⁠⁰⁠ ⁠✿⁠⋌

"Kiri bang," Bervan mengetuk pelan atap angkot ketika angkutan merah itu melewati persimpangan sekolahnya.
"Berapa?"

"Dua lima."

Bervan yang sedang sibuk mengorek saku bajunya berhenti beraktivitas, ia melongo menatap sopir yang menunggu.
"Yakin lo bang? Gue aja naik ga nyampe satu kilo, tadi juga di angkot sebelumnya cuma lima ribu."

"Tarif gue emang segitu. Dah jangan banyak omong sini bayar! Emang lo pikir lo doang yang mau ke Sekolah?"

Bervan menilik beberapa murid sekolah lain yang berada di dalam angkot. Beberapa dari mereka nampak memandang tak sabar.

"Sepuluh aja lah bang, ga ada duit gue."

"Ya ga bisa gitu lah, emang ini angkot punya Bapak lo?"

"Ya gimana bang? Gue ga punya duit lagi tinggal ini," Bervan menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu.
"Pantesan aja jack lingko lebih diminati, sopir angkot sekarang spek tukang palak semua."

Tukang angkot yang mulai kehilangan sabarnya mendecih tak habis pikir. Dengan gerakan kasar ia mulai turun dari kursinya untuk mendatangi Bervan.

"Heh. Maksud lo apa ngomong begitu? Nyari ribut lo sama gue?" Sopir angkot mencengkeram erat kerah Bervan, tubuhnya yang sudah terpatri menjadi begitu berotot membuat Bervan harus berjinjit ketika sopir itu meninggikan posisi cengkeraman tangannya.

"Ga ada yang salah sama omongan gue!"

"Wah nyari mati!"

Dari dalam angkot terdengar penumpang yang semuanya anak laki-laki menyoraki sopir untuk memukul Bervan. Namun belum sempat tinju sopir mengenai wajahnya, Bervan mendengar suara gadis yang berbicara dari kejauhan.

"Satu inci aja dia terluka, kalian bakalan dikenal di seluruh Indonesia," Suara itu bergerak mendekat, dingin penuh kengerian dan seakan selalu ada misteri di setiap kalimatnya.
"Followers gue hampir seratus ribu."

Bervan menoleh, melihat Naraya yang berjalan gontai dengan dengan satu tangan di dalam kantong jaket dan tangan lain yang memegang ponsel dan sepertinya tengah merekam.

"Naraaa," Bervan tersenyum, memberi sedikit salam dengan melambaikan tangannya.

Astaga di posisi ini?

"Lo ngevideoin gue?" Sopir angkot mengendurkan cengkeraman, mengalihkan atensinya pada Naraya.

"Lebih tepatnya siaran langsung sih, udah hampir satu penduduk Jakarta nih yang nonton."

Sopir angkot melirik ke arah Bervan dengan pandangan sinis sebelum benar-benar melepaskan kerah bajunya.
"Awas lo ya!" Ancamnya sebelum benar-benar pergi.

Pria yang sepertinya berada di pertengahan umur tiga puluh itu berlalu, bersama dengan angkot dan beberapa penumpang di dalamnya. Bervan menoleh, menatap Naraya yang masih bertahan dengan posisinya.

"Halo Nara," Sapanya sekali lagi, Bervan memperbaiki posisi kerahnya, mendekati cewek yang masih mengangkat ponsel di udara, Naraya memilih menatap angkot hingga tak lagi terlihat daripada menurunkan tangannya.
"Kan dia udah pergi jadi live-nya bisa kok dimati ..." Bervan berhenti tepat di belakang Naraya, tampak terkejut setelah melihat ponsel Naraya yang dalam keadaan mati.
"Lah mati?"

"Lo ga bisa gitu ga bikin masalah, sehari aja?" Naraya menurunkan tangannya gamang, memasukkan ponsel ke dalam kantong jaketnya.
"Gimana kalau tadi gue ga datang? Lo mau babak belur?"

Judes but love 「COMPLETED」Where stories live. Discover now