(44) Sesal

24 6 1
                                    



🥀🥀🥀

Ratusan daun kering jatuh berguguran, menghujani setiap kepala yang kini mulai menguraikan diri, menjauh dari tanah basah yang menggunduk dengan taburan berbagai bunga, puluhan buket camelia merah jambu dan juga kucuran air mawar. Ada wanita ringkih yang menatap kosong tanah yang menelan anaknya, wanita itu duduk bersimpuh, membelai kayu yang baru saja dikucuri air mawar.

"Elenaa," panggilnya lirih seperti biasa, hanya saja kali ini bisa dipastikan ia tidak akan mendapatkan jawaban.

Katanya, alasan kenapa seorang orang tua yang kehilangan anaknya tidak pernah memiliki julukan layaknya seorang anak yang ditinggal ibunya menjadi piatu atau ditinggal ayahnya menjadi yatim, itu karena rasa sakitnya tidak bisa digambarkan, tidak ada julukan apapun yang bisa mewakili sakit atas kehilangan orang tua terhadap anaknya.

Begitu pula apa yang saat ini tengah Naraya saksikan, rasanya hatinya diiris-iris melihat bagaimana seorang ibu yang air matanya masih menetes-netes itu menebarkan bunga di atas pusara anaknya sekali lagi.

"Selamat jalan sayang, Mama tidak akan membangunkan mu lagi." Bisiknya sembari menata kelopak yang ditabur terlalu jauh. "Tidur yang nyenyak, Elena."

Elena meninggal.

Ternyata selama ini, sebuah penyakit menggerogoti tubuhnya, membuatnya perlahan kehilangan rambut-rambut di kepalanya, membuatnya harus banyak berdarah lewat hidungnya. Elena mengidap kanker otak, yang mirisnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri selama empat tahun sebelum akhirnya benar-benar pergi.

*****

Mengusap kayu yang tertancap di atas tanah, menapak basah yang masih melumuri setiap jengkal tanah, Bervan bersimpuh di samping pusara Elena, air matanya jatuh deras hingga berhasil membasahi pundak Naraya, sosok yang sejak tadi menjadi tempat Bervan menyembunyikan isaknya.

Adalah sesuatu yang pasti akan terjadi, namun selalu memberi kesan yang menyakitkan ketika saat itu datang. Itulah Kehilangan. Bervan membiarkan seseorang pergi dengan membawa permintaan yang belum sempat ia tepati, tentu saja saat ini ia merasa memiliki hutang besar.

"Kita pulang ya, Van." Naraya ikut bersimpuh di sisi Bervan, satu tangannya naik mengusap pundak cowok itu pelan. "Udah mau maghrib."

"Jangan nyalahin diri sendiri sampai sebegininya!" Hanung ikut meremas pelan pundak Bervan. Sebenarnya ia muak sekali dengan bau tanah kubur yang sejak tadi ia tapaki.

Sejak kabar Elena menyebar dan membuat Sekolah terpaksa memulangkan cepat semua siswanya siang tadi, lima orang yang selalu bersama itu belum terpisah hingga langit berubah gelap. Semua orang menguraikan diri satu persatu, namun mereka belum beranjak dari sana.

Tanu berjongkok di sebelah Bervan, satu tangannya melingkar di pundak Bervan lalu perlahan menepuk-nepuknya.

"Lo ga kasihan sama Naraya? Dia belum makan apa-apa dari pagi." Tukas Tanu yang berhasil membuat Bervan segera mendongak menatap Naraya nanar.

"Kamu belum makan, Ra?"

Naraya ingin berbohong, ia tidak ingin seseorang menaruh simpati padanya, namun ia tahu pasti bukan itu yang Tanu maksud. Jadi, ia mengangguk, memberikan kesan paling memelas yang bisa ia perlihatkan.

Bervan buru-buru berdiri, tangannya terulur menarik Naraya agar turut bangkit. Mereka dalam keadaan yang buruk, sudah berlumuran tanah merah yang basah.

"Kita ga mungkin makan pakai baju begini kan, Ra?" Sisa tangis itu ada, mata Bervan masih merah, lengkung di bawahnya menandakan ia banyak mengeluarkan air matanya.

Judes but love 「COMPLETED」Onde histórias criam vida. Descubra agora