(43) Pamit

28 7 4
                                    



(⁠ ⁠・ั⁠﹏⁠・ั⁠)



Entah sejak kapan wanita paruh baya yang saat ini tengah duduk di sisi ranjang Bervan itu berada di sana, namun kehadirannya membuat Bervan berhasil terjingkat kaget. Ia yang baru saja memasuki kamar setelah seharian berkutat dengan sekolah, jalanan dan rumah sakit itu mendesis marah, semua yang mengikatnya sampai harus pulang selarut ini menguasai emosinya, ditambah lagi kini ia melihat satu-satunya wanita yang paling ia tidak sukai kehadirannya malah menduduki sisi ranjangnya sembari menatap Bervan khawatir.

"Tante ngapain?" Bervan melemparkan tasnya ke atas meja, satu kakinya menekuk ke atas untuk kemudian tangannya bergerak menarik kaos kaki hingga terlepas.

Tante Martha menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. "Kamu benar-benar sedang menguji kekuasaan Ayah kamu, Van?" ucapnya.

"Maksudnya?"

"Mama tahu, kamu pacaran sama Naraya, kan?"

"Oh itu? Jadi Tante juga mau memojokkan aku sekarang?" Bervan mendecih. "Tante mau ngadu?"

"Bervan!" suara Tante Martha sedikit meninggi, "Tidak pernah sekalipun Mama ga belain kamu di depan Ayah."

"Lalu? Tante mau aku bagaimana?"

"Sekali saja. Mama mohon dengerin Ayah kamu." Tante Martha adalah manusia paling lembut tutur katanya yang pernah Bervan temui, jika saja mereka tidak bertemu di saat yang salah seperti ini mungkin saja Bervan akan menghormati Tante Martha lebih dari dirinya menghormati Ayah.

"Aku udah muak sama peraturan-peraturan Ayah selama ini dan jujur Tante adalah orang terakhir yang aku andalkan, tapi sekarang Tante ikut-ikutan mau atur aku?" Bervan menatap kesal dua bola mata Tante Martha yang sendu. "Kenapa? Kenapa cuma aku? Kenapa bukan Javero? Javero juga anak Ay—"

"Sejak tadi siang, Javero mati-matian membujuk Ayah untuk mengecek keadaan Danvilla di Bogor."

"Tante—"

"Javero tahu kamu akan pulang malam karena Ibu Naraya masuk rumah sakit," Tante Martha melanglangkan pandangnya melewati jendela kamar Bervan yang terbuka. Ada semburat sedih di sana, yang sama sekali tidak Bervan mengerti artinya.

"Javero tahu?"

"Javero sangat ingin mendapat perhatian dari Ayah, tapi bahkan dengan hal kecil pun hanya kamu yang ada dalam benak dan pandangan masa depannya."

"Itu karena Javero ga pernah tahu rasanya diatur sebegininya." Bervan muak, benar-benar ingin menghilang saat itu juga.

"Kenapa kamu membenci Javero sebegitunya?" ungkap Tante Martha mengusap satu pipinya yang telah menjadi jalan air mata yang meleleh, "Javero selalu berusaha menjadi kakak yang baik, dia melakukan apapun untuk menghindarkan kamu dari kemarahan Ayah, lalu kenapa susah sekali menerimanya? Mama menahan selama ini hanya demi Javero, dan kamu sama sekali tidak berubah. Tapi jujur Van, Mama lelah."

Untuk pertama kalinya Bervan mendengar  Tante Martha mengutarakan isi hatinya seperti ini, jadi selama ini wanita itu tersakiti? Jadi selama ini ia berbuat baik sekali padanya semata-mata agar Bervan menerima Javero? Mengapa terdengar begitu membuat iri, mengapa tidak ada yang berbuat seperti itu padanya.

"Tante tahu resikonya masuk ke dalam suatu keluarga yang kehilangan nyawanya, tapi Tante tetap masuk? Tante tetap ingin meluluhkan aku, tapi sampai kapanpun Tante tidak akan pernah bisa menggantikan Bunda, Tante harusnya memperhitungkan itu dari awal." Bervan menarik kursi dari meja belajarnya, duduk tepat di depan wanita yang sudah tidak bisa mengatur sesak dadanya. Ditangkupnya dua tangan Tante Martha oleh Bervan, hangat itu menyengat sisi-sisi telapak tangannya, Bervan jadi tahu kenapa Javero tumbuh menjadi manusia yang banyak diminati, ada tangan malaikat yang turut mengusap setiap jejak usianya.

Judes but love 「COMPLETED」Where stories live. Discover now