14. Memori Ingatan

84 14 7
                                    

Halo gaiss!!! Maaf ya baru bisa update lagi, 2 minggu kemarin aku sibuk ujian. Tapi sekarang udah enggak kok.

Selamat membaca semuanyaa!! Jangan lupa vote dan komen yaa...

***

Tangan Kanaya terlipat di bawah dada. Wanita itu berdiri di ambang pintu kamar putra tunggalnya dengan senyuman. Sementara sang putra, masih berguling-guling tidak jelas di atas kasur karena tidak bisa tidur.

“Mau sampai kapan kamu harus dikeloni Bunda dulu sebelum tidur, Bang?” Setelah mendengar suara Kanaya, Darva tersenyum malu.

Kanaya menggeleng berkali-kali sebelum akhirnya ia tidur di samping Darva. “Mau sampai kapan, hm?” tanya balik wanita itu.

Darva bersembunyi ke dalam tubuh sang mama, berusaha untuk mencari kehangatan. “Tunggu sampai Darva menikah, Bun,” jawabnya dengan asal.

Mata Kanaya terbuka lebar. Anaknya memang satu. Namun ia sering kewalahan dengan manjanya. Yang lebih anehnya lagi, meskipun manja Darva bukan tipe anak yang banyak bercerita.

“Enak aja kamu! Lain kali harus bisa dong tidur tanpa dikeloni,” jelas Kanaya dengan sedikit tegas.

Darva membenarkan posisi tidurnya dan menatap wajah Kanaya dengan saksama. “Kalau tidur di rumah Afka atau Mahija kan gak dikeloni, Bun. Lagian Darva gak bisa tidur bukan karena gak dikeloni Bunda. Darva lagi pikirin sesuatu,” ungkap pria remaja itu.

“Mikirin apa sih, Bang?” tanya Kanaya mulai menggoda. “Pasti kamu mikirin Ivara, ya?”

Darva menggelengkan kepala. Sebenarnya Kanaya benar. Ia memang benar-benar tengah berpikir mengenai hubungan Ivara dan juga papanya sendiri. Namun tidak mungkin ia jujur mengenai hal itu.

“Terus kamu mikirin apa?” tanya Kanaya kembali.

Tidak ada jawaban dari Darva. Pria yang hampir tumbuh dewasa itu hanya terdiam selama beberapa saat. “Darva anak tunggal kan, Bun?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutnya

Kanaya mengernyit, tapi tak lama kemudian wanita itu mengangguk sebagai jawaban. “Iyalah, kan kamu tau sendiri Mama sama Papa itu susah untuk dapat kamu,” tegasnya.

“Boleh gak Abang tau, dulu Bunda program bayi tabung di rumah sakit mana?”

Dahi Kanaya mengerut begitu mendengarnya. “Buat apa? Kamu gak percaya lahir dari rahim Bunda?”

“Bukan gitu, Bun. Kan gak ada salahnya Abang tau,” elak pria itu.

Sebuah embusan napas terdengar dari hidung Kanaya. “Gleneagles Singapore.”

Darva terdiam beberapa saat. Sebisa mungkin ia mengingat ucapan Kanaya dan menyimpan di dalam memori kecilnya. Esok pagi, ia akan mencari tahu banyak hal mengenai rumah sakit tersebut. Kali saja, ia bisa mendapatkan jawaban dari sana.

“Cerita dong Bun, kenapa Bunda harus jauh-jauh ke Singapura untuk program bayi tabung,” pinta Darva. Sebelum Kanaya bercerita, pria itu membenarkan posisinya dan siap-siap untuk tertidur.

***

Mata Ivara belum terbuka dengan sempurna. Apa yang dilihat masih buram dan kepalanya terasa pusing.

Gadis itu terus mengerjap-kerjap matanya hingga ia melihat cahaya dengan visibilitas yang sangat rendah.

“Ma! Pa! Kok kamar Vara gelap, sih? Habis mati lampu ya?” teriaknya. Ivara tidak takut gelap, tapi ia tidak pernah terlelap di dalam ruangan yang gelap.

Sebenarnya ruangan itu tidak terlalu gelap. Terdapat sedikit cahaya yang berasal dari luar ruangan masuk melewati kaca jendela.

Udara dingin menusuk ke seluruh kulit tubuh Ivara. Perlahan tangan gadis itu bergerak. Niatnya ingin memeluk tubuh sendiri, namun Ivara sadar bahwa tangannya terikat ke ujung kasur.

AFVARAWhere stories live. Discover now