23. Percaya Pada Insting Sahabatmu

44 12 8
                                    

Halo, gaisss!!! Belum kemalaman kan buat aku up? Anyeay, kalian apa kabar?

Jangan lupa vote dan komennya yaaaaa....

***

Suara pintu yang dibuka membuat tubuh Darva terperanjat. Ditambah lagi begitu ia sadar bahwa orang yang membuka pintu merupakan Kanaya. Irama detak jantungnya berdebar akibat tertangkap basah oleh mamanya sendiri. "Abang?! Kamu ngapain di ruang kerja Papa?"

Sesaat, mata Darva melirik ke bawah dan memikirkan jawaban yang tepat untuk berbohong. "Kenapa memangnya, Bun? Gak boleh ya kalau Abang main ke ruangan ini?"

"Bukan gak boleh, Nak. Bunda kan cuman tanya, kamu ngapain di ruang kerja Papa?" lembut Kanaya mengulang pertanyaannya kembali.

Bahu Darva naik ke atas. Wajahnya terlihat meremehkan pertanyaan tersebut. "Abang kangen sama Papa, jadi main ke sini deh," ungkapnya yang tentu saja merupakan kebohongan.

Kanaya menahan tawa dan mengulum senyuman. "Bunda tau kalau kamu itu lagi bohong, Va," jelas wanita itu.

"Apa ucapan Bunda sama Papa kurang jelas? Kita mau, kamu berhenti mencurigai Papa seperti ini," pintanya kemudian untuk yang ke sekian kali.

Darva membuang napasnya perlahan. Bagaimana ia tidak semakin curiga? Orang tuanya saja terus melarang, tampak seperti ada kecurangan di balik semua ini.

Tanpa Kanaya sadari, di tangan Darva terdapat sebuah kertas cek bank pada tahun 2017. Perlahan, pria remaja berotak licik itu memasukkannya ke dalam saku jeans yang ia kenakan.

"Iya, Bun. Abang minta maaf. Kalau gitu, Abang pergi ke rumah Mahija dulu ya, Bun," pamitnya mengakhiri pembicaraan.

Kanaya mengangguk dengan senyuman. Wanita itu tidak berkomentar apa pun, meskipun ia tahu bahwa Darva tidak akan pernah berhenti mencurigai suami tercintanya.

Mungkin kalian bertanya-tanya. Apakah Kanaya mempunyai rasa curiga seperti Darva? Jawabannya adalah tidak. Kanaya sangat percaya pada suaminya. Ia selalu yakin bahwa segala hal yang dilakukan oleh sang suami semata-mata hanyalah untuk kebaikan keluarganya.

***

Darva kini sudah berada di sebuah rumah sederhana milik keluarga Mahija. Rumah yang tidak memiliki keharmonisan sedikit pun di dalamnya. Rumah seorang remaja yang berusaha menciptakan kedamaian untuk adik-adiknya.

Mata pria itu terus menatap cek yang ia ambil dari loker ruang kerja papanya. Sebenarnya itu bukan cek asli, melainkan hanya sebuah salinan saja. Meski begitu, ia tetap bisa melihat jelas siapa nama penerimanya.

Jihan Amelia.

"Shit! Siapa sih perempuan murahan ini?" gumamnya dengan suara yang kecil.

Pria itu kembali melipat kecil cek yang dipegang dan memasukkannya ke dalam saku. Setelah berdiri, ia mengetuk pintu rumah Mahija. Bukan yang pertama, melainkan ke sekian kalinya.

Sudah hampir setengah jam Darva menunggu Mahija, tetapi pria itu tak kunjung keluar dari balik pintu rumah. Sebenarnya sudah tak aneh lagi, ia tahu bahwa Mahija harus mengurus ibu dan ketiga adiknya terlebih dahulu. Hanya saja, menunggu sendirian seperti ini membuat waktu terasa lebih lama dan semakin membosankan.

Namun mau bagaimana lagi? Saat ini ia hanya mempunyai Mahija saja. Hubungannya dengan Afka benar-benar jauh terpisahkan seiring kedekatan mereka berdua dengan Ivara.

Mahija dan Darva saling bertatap-tatapan. Terbesit sebuah rasa janggal di antara mereka berdua.

"Kenapa lo? Bosan? Batu sih lo!" hardik Mahija.

AFVARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang