32. Tak Terselamatkan

32 3 0
                                    

Hai gais, maaf ya, kemarin mau next. Tapi ternyata aku drop dan baru sembuh sekarang. So sorry! :(

***

"What happen? Kenapa semuanya bisa jadi kayak gin–”

PLAK!

Sebuah tamparan hangat menyambut kedatangan Ivara setibanya di gudang bekas belakang sekolah. “Masih berani lo tanya kenapa? Jelas-jelas lo yang ada di balik semua ini! Foto itu cuman ada di lo, Ra! Kenapa media bajingan itu bisa dapat foto kita?” Salvina, si pemilik tangan yang sudah menampar, segera memarahi Ivara.

“Gue gak tau apa-apa, Sal! Lo tau kalau gue juga korban di sini, sama kayak lo bertiga!” elak Ivara. Air yang sudah dibendung dalam kantung matanya kini mengalir dengan deras. Baru saja mereka berbahagia kemarin lusa. Kini harus menerima masalah baru yang mau tidak mau harus mereka hadapi.

Tangan kanan Yashvi naik ke atas. Mengusap air mata dirinya dengan kasar. Setelah itu, ia berjalan mendekati Ivara. “Di antara kita berempat, cuman kita berdua yang tau di mana lokasi kantor Media Remaja Indonesia. Dan di antara kita, cuman lo yang simpan semua barang bukti, termasuk semua foto-foto itu, Ra.”

“Jadi lo bertiga tuduh gue? Ji, lo percaya kan sama gue? Buat apa gue sebar semua itu? Apa itu semua bikin gue bisa ketemu sama Mama dan Papa? Apa itu semua bisa bikin keadaan kita kayak dulu lagi?”

Jiya hanya tertunduk. Kepalanya menggeleng perlahan dengan air mata yang terus bercucuran. “Cukup, Ra! Selama ini gue ngerasa kalau diri gue itu hina luar biasa! Dengan semua berita yang ada, itu semua makin terasa nyata! Apa kata orang tentang semua ini, Ra?”

“Kita bisa tuntut media ini atas pencemaran nama baik, lagi pula berita yang mereka bikin itu judulnya clickbait semua.” Meskipun tidak yakin, Ivara tetap berusaha menenangkan ketiga sahabatnya itu. Walaupun ia juga membutuhkan seseorang untuk menenangkan dirinya saat ini.

Salvina membuang napasnya kasar. Dengan air mata yang sama-sama mengalir, ia berkata, “Duit dari mana, Ra? Lo aja selama ini nebeng di rumah gue, lo kira bayar pengacara itu murah? Kasus kita yang kemarin aja belum selesai! Lo jangan ngada-ngada kalau ngomong!”

Kini, Jiya ikut melangkah ke depan. Ia mendorong Ivara dengan cukup keras hingga terpental pada dinding yang ada di belakang. “Lo jahat, Ra! Jahat! Dibayar berapa lo sama mereka? 100 juta? 200? 300? Berapa ratus juta, Ra?!” tudingnya tanpa mau tahu kebenaran.

Tangis Ivara semakin kencang. Baru kali ini ia dipojokkan oleh mereka. "Harusnya kita kerja sama untuk cari tahu siapa pelakunya, bukan tuduh gue tanpa bukti berdasar kayak gini!" bantahnya kembali.

"Tanpa bukti gimana sih, Ra? Secara logika semuanya masuk akal kok! Lo kenapa gak mau ngaku sih?" Yashvi berdecak dengan kesal. Muak dengan semua elakan yang dilontarkan oleh Ivara sebagai bentuk pembelaan diri.

"Gue capek, Ra. Gue gak butuh semua omong kosong lo itu, kalau emang lo gak salah, buktikan sekarang!" titah Salvina. Kedua tangannya terlipat di dada. Matanya yang sembab memutar dengan sinis. Tidak ada sedikit pun senyuman yang ia perlihatkan pada sahabatnya.

Kepala Ivara mengangguk sekali. "Lo bertiga tunggu di sini, gue mau ambil semua bukti itu di dalam tas." Tanpa banyak berbicara kembali, Ivara segera berlari menuju kelas. Tidak peduli dengan orang-orang yang bingung melihatnya saat ini.

Kondisi ruangan kelas XII IPA 3 cukup ramai oleh desas-desus suara gosip. Namun begitu Ivara masuk, suara itu segera berhenti. Seluruh mata tertuju padanya, melihat bagaimana ia berjalan dan bagaimana ia bertindak.

"Ra, lo mau ke mana?" tanya Darva dengan tangan yang menahan tas Ivara. Tiba-tiba saja, mata Darva samgat memberikan ketenangan. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu sinis dan tajam. "Lo habis nangis? Lo mau pulang? Biar gue antar, ya?" pintanya.

AFVARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang