28. Pulau Samar

32 8 0
                                    

Halo gaisss!! Apa kabar?!!

Sorry banget aku baru bisa up ya:(

Anyway, jgn lupa vote dan komen! <3

Love, you.

***

“Lo gila?!”

“Yakin lo, Ra?!”

Omelan itu dilontarkan secara bersamaan oleh Yashvi dan juga Jiya melalui sambungan telepon video setelah Ivara menceritakan hal yang dilakukan Darva kepadanya. Jangan tanya soal Salvina, gadis itu sudah bosan mengomeli Ivara sejak satu jam yang lalu.

Mereka semua percaya pada Ivara, tapi tidak kepada Darva.

“Kalau mereka tau gimana? Kita punya banyak rahasia sampah yang mereka gak tau. Sal, lo kasih tau Ivara dong,” protes Jiya kembali.

I think, that’s the craziest idea i’ve ever seen from you,” timpal Yashvi setelahnya.

Ivara tidak menggubris semua ocehan mereka berdua. Ia memilih untuk beranjak dari atas kasur. Membiarkan Salvina dengan laptop merah muda yang masih menyala karena masih terhubung dengan Jiya dan juga Yashvi.

Anyway, Yash. Selama ini kan lo yang ungkap satu per satu rahasia kita,” bantah Salvina memberikan tanggapan.

Dari layar laptop, terkihat memutar bola matanya dengan malas. “Really? You wanna talk about that right now?

Stop!” tegas Ivara menghentikan mereka semua. “Gue gak bego, gue gak akan suruh mereka masuk ke ruangan yang akan kita tuju. Mereka bakalan tunggu di luar. Terserah lo semua mau ikut atau nggak, yang jelas gue sama Salvina bakal ada di dermaga besok pagi!” pungkas Ivara.

Tanpa menunggu jawaban, ia langsung memutus sambungan telepon tersebut dan mengambil laptopnya dari hadapan Salvina. “I know what i’m doing, Sal. Just trust me,” mohon Ivara dengan mata yang penuh harap.

***

Sebuah tas backpack berwarna putih tulang dengan motif bunga matahari di sepanjang kainnya ditarik oleh Ivara dari atas kasur. Kini ia hanya tinggal turun ke ruang makan untuk menemui Salvina yang ternyata lebih semangat dari dirinya.

“Hai, good morning!” sapa gadis itu dengan senyuman.

Rengganis yang baru saja akan duduk membalas senyuman gadis itu dengan anggukan kecil. “Kata Salvina, hari ini kalian mau ke Ancol, ya?”

Mata Ivara melirik ke arah Salvina hingga kedua mata gadis itu saling bertemu satu sama lain. Salvina membuka mata lebih lebar dari sebelumnya, mengisyaratkan Ivara untuk menganggukkan pertanyaan dari ibunya saja.

“Iya, Tante. Kita mau main ke Ancol,” kekeh Ivara dengan canggung sekali. Terlihat menutupi sesuatu. Untung saja Rengganis tidak menyadari itu.

“Tante titip Salvina, ya? Jangan lupa, dia kan punya riwayat penyakit paru-paru, jadi jangan dibawa naik wahana ekstrem, ya?” pintanya memberi nasihat.

“Apaan sih, Bu? Salvina juga tau, gak perlu kasih nasihat sama Ivara segala,” protesnya tidak suka.

Ivara hanya tertawa pelan mendengarnya. Tangan gadis itu sibuk mengambil sebuah amplop berwarna coklat yang ia simpan di saku depan tasnya. “Tante, ini gaji pertama aku kemarin, anggap aja untuk bayar uang bulanan aku selama di sini,” ujar Ivara seraya mengulurkan amplop tersebut.

Tanpa menolak sedikit pun, Rengganis mengambil amplop tersebut dengan senyuman lebar yang menunjukkan kebahagiaan. “Nah, kalau kayak gini kan enak. Jadi Tante juga gak pusing cari uang tambahan untuk uang jajan kamu,” cetusnya.

AFVARAOnde as histórias ganham vida. Descobre agora