34. Dunia Tidak Adil

29 3 1
                                    

Hai gais! Untuk menebus rasa bersalah aku, malam ini aku up 2 bab sekaligus!!! Hope you like it, yaa!!!

***

Suara knop pintu terdengar dari arah kamar terdekat dengan ruangan televisi. Ivara terus mengedarkan pandangannya pada ruangan yang terlihat sepi. Seperti tidak ada satu orang pun di rumah pada saat ini.

Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi. Ia tertegun beberapa saat sebelum menyadari bahwa ini merupakan hari Rabu dan tidak ada yang membangunkannya untuk berangkat sekolah.

Kakinya melangkah berjalan menuju dapur. Berharap ada Naya atau pun asisten rumah tangga Darva di sana. Namun ternyata, ruangan itu sama saja sepinya seperti ruangan yang lain. Akhirnya, ia pun berinisiatif untuk memanggil mereka, "Vaaa??!! Tante Naya?! Mbak!!"

Ivara terus memanggil mereka berulang-ulang sembari mengelilingi beberapa ruangan di dalam rumah. "Apa semuanya di lantai 2, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Saat ini ia sudah berada di ujung tangga dan siap untuk naik ke atas.

Ivara terdiam sejenak. Berpikir apakah yang ia lakukan saat ini sopan? Tapi jika tidak melakukan ini, ia bingung harus apa. Tidak mungkin berdiam diri di rumah orang tanpa ada pemilik sebenarnya.

Satu per satu anak tangga mulai ia naiki. Sesekali juga, ia terus memanggil para penghuni rumah.

Begitu kedua kakinya menapak di lantai dua rumah tersebut, matanya terbuka dengan lebar dan langsung berkaca-kaca begitu melihat sebuah foto keluarga dengan ukuran besar terpampang jelas di depan matanya.

Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawah bagian dalamnya. "P-papa?" Tidak perlu waktu lama, air matanya mulai mengalir membasahi pipi. Bengkak di kelopak matanya saja masih terlihat, dan kini ia harus menambah penderitaan itu dengan luka baru yang tak pernah ia duga sama sekali sebelumnya.

Tidak ada sepatah kata pun yang kembali ia ucapkan. Semuanya tercekat di kerongkongan. Foto-foto keluarga yang ada di ruangan tersebut sudah menjelaskan semuanya. Ia berlari menuju sebuah meja panjang di ujung ruangan yang dihiasi oleh kumpulan kenangan dari masa kecil Darva hingga lulus SMP.

Ivara memanjangkan tangannya dan mengambil sebuah foto yang berisi 2 orang pria. Satu pria di sana merupakan papanya di masa muda, sementara satunya lagi merupakan seorang pria kecil. Begitu melihatnya, Ivara ingat, bahwa pria itu merupakan seorang anak kecil yang sempat hadir di masa lalunya.

"Vara–"

"Sejak kapan?" potong Ivara dengan cepat. Ia tidak mendengar suara langkah kaki Darva yang menaiki anak tangga, tetapi ia tahu persis bahwa itu merupakan suara pria itu.

Darva berjalan mendekat. Tubuhnya berdiri tepat di belakang Ivara. Menatap punggung gadis itu dengan sangat dalam. Ada sebuah rasa kecewa, kesal dan bersalah yang tersirat di wajahnya pada saat ini. "Gue bisa jelasin semuanya, tapi jangan di sini. Bunda belum tau soal ini, Ra," jelasnya dengan singkat.

Perlahan, Ivara membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah Darva. Ditatapnya wajah pria yang tengah tertunduk malu di hadapannya. Dalam isak tangis, Ivara tersenyum miring. "Belum tahu? Tante Naya gak tahu kalau selama ini dia jadi selingkuhan Papa?"

"Belum tentu Bunda yang selingkuh di sini, Ra! Lo gak tahu apa-apa! Bunda sama Papa udah nikah lebih dari 10 tahun, sebelum gua ada di dunia ini!" elak Darva.

"Jelas-jelas, di sini nyokap lo yang rebut Papa dari Bunda!" tambahnya dengan nada yang sedikit naik.

Ivara tidak bergeming. Ucapan Darva ada benarnya. Kini dirinya jadi takut jika harus menerima fakta bahwa ia merupakan anak dari seorang wanita penggoda.

AFVARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang