Bab 9

4.4K 375 15
                                    

Bagian 9.
(Mohon maaf telat 😅🙏🏻)


Dadaku berdebar tidak keruan. Kupandangi Bang Sasran demi memastikan apakah dia memang tidak tahu jika anggota keluarganya semua berkumpul, namun wajahnya masih saja datar, Kukira aku dibodohi kali ini.

"Ternyata, dua kakakku baru saja datang, Dek,"pernyataan Sasran membuatku merasakan dejavu. Dulu, jika memanggilku dalam situasi tak biasa dia pasti memakai kata Dek demi menenangkanku.

Ada banyak wajah yang tidak kukenali, namun beberapa kutandai sebagai sepupu dari keluarga ini. Ah, kenapa aku harus bertemu mereka di saat seperti ini?

"Kupikir kalau udah jadi artis gak bakalan lagi mau datang, secara sekarang gayanya udah beda banget, iya nggak Irma?"

Kuhembuskan napas perlahan melalui mulut.

"Aku masih tidak percaya, Mbak. Pembantu bisa jadi artis. Calon dokter pula,"tambah Irma.

Aku tak lagi menghiraukan ejekan Irma atau bisik bisik dari beberapa anggota keluarga yang memandangaku dengan segudang tanda tanya. Namun saat aku sadar jika disampingku sudah ada bang Sunan, senyumku seketika merekah.

"Abang.... lama nggak ketemu,"sapaku berusaha ramah. Biar bagaimana aku pernah ikut merasakan judesnya Bang Sunan saat melakukan Co-ass di bagian dia sebelaum akhirnya memustuskan pindah di rumah sakit mata di ibu kota.

"Kupikir nyonya artis gak bakalan mau datang ke tempat ini lagi,"jawabnya datar.

"Datanglah Bang, masa Disa gak datang. Biar gimanapun Disa besar di tempat ini."

Saat menjawab pertanyaan itu aku bertemu mata dengan Sidni yang duduk bersebrangan denganku. Kami sama-sama melempar kode jika nanti akan ngobrol berdua. Ternyata saat benar-benar memperhatikan, dibagian teras samping dan dapur masih ada beberapa paman dan bibi Bang Sasran serta sepupunya yang berkumpul. Kenapa sangat ramai hari ini? Apakah Bu Sinan benar-benar sakit parah?

"Aku baru aja tiba, kamarku udah dipake sama bude dari padang beserta sodara Ibu. Kamar Sasran juga. Satu-satunya kamar yang tidak berani diganggu gugat hanya kamar Sultan."

Aku terkikik. Sejak dulu tidak ada seorangpun yang berani masuk ke dalam kamarnya. Yang berani masuk kamar itu hanya Bu Sinan itu juga karena alasan  membersihkan kamar. Beruntung aku tidak pernah sekalipun melanggar larangan itu. Kembali kuedarkan pandangan menilai situasi dan mengacuhkan beberapa mata yang masih terang terangan memperhatikanku. Sungguh membuatku tidak nyaman.

"Kamu biasain diri, Dek. Mereka gak selalu liat kamu. Biasanya kan liat di podcast atau iklan, sekarang liat langsung jadi beda,"jelas Bang Sasran saat menarik kursi duduk disebelahku. Jadilah kali ini aku diapit oleh dua pria bersaudara ini.

"Ibu ternyata baru aja tidur, Dek. Jadi besok kamu datang lagi. Aku lupa kalau jam tidur ibu jadi lebih cepat sekarang. Ini rumah rame karena besok Silvi Ulang tahun, Ibu maunya dirayain undang keluarga, makanya kemarin sekalian nanyain kamu. Eh ternyata kita ketemu."

"Ketemu dimana? Sunan menyela.

"Di café kampus. Dia lagi reunian."

"Ohh.." mulut Sunan membulat namun dengan tampang datar seperti biasa.

"Bang Sunan kok nggak berubah sih?"

"Kamu maunya aku berubah jadi apa? Satria baja hitam?"

"Yee, itu tontonan jaman kapan bang? Disa masih bayik itu. Mana tahu."

"Umurmu berapa sih?"Bang Sunan Kembali sewot

"Idih, abang jangan tanya umur, noh, cermin. Bang Sunan udah empat puluh, harusnya udah punya anak ABG,"sungutku tak mau kalah.

"Eh jangan singgung soal nikah. Kami semua kecuali, Sastra, Sastri, dan Sidni jadi inceran. Kalau sampai akhir tahun belum dapat jodoh, salah satu dari kami bakalan dijodohin sama Irma,"bisik Sasran di telingaku. Spontan aku melepaskan tawa. Ajaib bagaimana suasana seketika hening dan semua orang melihatku. Saat kulirik Sunan dan Sasran yang belagak cuek seolah tawaku timbul dengan sendirinya, tawaku mengendur, Kembali kuperbaiki posisi dudukku.

"Aku setuju kalau kak Irma sama Bang Sunan aja. Mereka serasi,"balasku ditelinga Sasran. Kali ini Sasran yang tertawa. Semua tamu Kembali melirik tempat kami.

Hah rasakan!

"Emoh. Sebelum aku, tuh, Komandan battalion gak boleh dilangkahi mayatnya,"bisik Sunan ditelingaku dengan mata melirik ke arah sang kakak. Eh ternyata dia dengar.

Tak lama Saat aku melihat jam, suara Langkah Kembali terdengar. Saat itulah aku melihat Silvi. Sejak dulu aku tahu jika dewasa nanti, Silvi cantiknya luar biasa.  Silvi melihatku kemudian tersenyum sumringah. Kami berpelukan selama beberapa detik, lalu saling menanyakan kabar.

Satu jam kemudian saat satu persatu orang-orang pamit istirahat saat itulah aku berniat pamit untuk pulang, namun suara seseorang yang sangat kukenali membuatku segera berpaling padanya.

"Kami mau bicara sebentar, Disa!"Perintahnya. Aku heran, bagaimana bisa kalimat datar dan tanpa intonasi seperti itu memiliki efek mengerikan luar biasa.

Dan disinilah aku, berada duduk dalam putaran meja makan berkumpul bersama enam bersaudara ditambah Silvi. Meja bundar ini entah kapan adanya, namun mampu menampung hingga sepuluh orang.

"Ibu minta kita semua lebih sering menjenguknya. Karena dalam hal ini diantara kita semua, hanya aku yang sulit meminta ijin, maka aku harap kalian berlima bisa lebih sering berada di rumah menunjukkan wajah di depan Ibu, dan menjaganya,
"terang Bang Sultan penuh penekanan. Bagaimana caraku menggambarkan ya? Kalau bang Sultan main film aku yakin dia tidak akan kesulitan mendapatkan pemeran utama dengan karakter keras ditunjang dengan postur tubuhnya, semuanya sempurna. Namun dia bisa juga jadi bos mafia. Menurutku bentuk badannya makin mengerikan.

"Kamu, Dis, ibu mencari kamu beberapa hari ini, jadi, saya mohon kamu bisa datang ke rumah ini sesering mungkin mulai dari sekarang, oke?"

"Eh, anu Pak. Mohon maaf sebelumnya. Tiga hari lagi saya harus berada di tempat tugas, jadi paling banyak bisa datang membantu menjaga ibu dua hari ke depan," jawabku disertai dengan rasa takut yang sulit kugambarkan.

Kulihat dia paham, dan tidak lagi berniat menanyaiku. Selanjutnya dia seperti sedang membagi tugas bersama saudaranya. Yang aneh kenapa aku harus ikut padahal aku sama sekali bukan siapa-siapa di sini. Setelah pembicaraan berakhir, dan aku berjalan menuju mobilku, Sidni berkata jika besok, Bang Sultan harus segera menghadiri pertemuan di Jakarta, sehingga dia hanya bisa berada di rumah ini hingga besok sore. Makanya pembagian tugas dilakukan, lalu Sidni meminta maaf padaku karena harus direpotkan.

Pukul sebelas siang aku sudah Kembali berada di rumah itu dan membantu para anggota keluarga membersihkan dan menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku berusaha menebalkan telinga dari ocehan tidak bermutu lainnya. Namun saat aku meletakkan piring di meja, seorang pria dengan senyum menawan mendekat padaku. Aku mengingat sepertinya pernah mengenalnya di suatu tempat.

"Gladisa, masih ingat sama aku?"

"Siapa ya?"

"Tetangga posko KKN di Lombok, aku koordinator desa,"jelasnya.

"Eh, kamu si Bapak kordes. kok nggak bilang-bilang sih? Datang juga di sini?"

"Sebenarnya sejak ketemu waktu itu mau bilang, kalau saya sepupunya Sidni dari pihak mamanya, tapi ya gak ada kesempatan ngomong."

Aku paham darimana sumber ketidakenakan itu. Aku tahu dia paham jika dulunya aku adalah pembantu. Dia pasti tidak akan mau merendahkan dirinya bercengkrama dengan seorang pembantu, setidaknya itu yang bisa aku dengar dari ocehan beberapa teman-teman jaman aku kuliah saat mereka tahu apa pekerjaanku sebelumnya.

"Besok kalau kebetulan melihatku, panggil aja. Aku pasti balik menyapa kok,"jawabku ramah.

"Mmm...  boleh minta nomor hp atau akun WA-nya Dis?"

Aku mendikte nomor WA ku secara perlahan dan berjanji akan membalas chatnya saat senggang. Namun ternyata, adegan meminta nomor WA berlangsung hingga orang ke enam. Aku akui kali ini aku salah, jika memberikan nomor pada pribadi kepada semua orang, maka ketenanganku pasti akan berkurang. Bayangkan jika keenam pria itu secara bersamaan menghubungiku dan memintaku membalas chat?

"Tenang aja, nanti sebelum pulang aku bilang sama mereka, kalau besok pacarmu bakalan jemput,"umbar Sasran lalu mengambil segelas cola yang sudah kutata di atas meja.

"Apa pengaruhnya?"

"Setidaknya mereka jadi tahu kalau kamu udah punya pacar, si siapa itu? Yang pemain badminton itu."

"Oh dia. Oke deh. Kami juga masih ada projek bareng kok, Bang. Gak papa abang sesumbar deh."

"Nah, gitu lebih aman. Biar kamu gak digangguin. Iya kan?"

Aku mengangkat jempol sebagai jawaban. Lalu beralih melihat ke sudut kamar Bu Sinan, tak lama aku melihatnya keluar dengan menggunakan kursi roda. Saat itulah aku mendekatinya, dan mencium tangannya. Ada sesak di hatiku melihat keadaannya hari ini. Melihat bagaimana waktu begitu cepat merenggut kekuatan seseoang membuatku diliputi kegamangan luar biasa. Aku Kembali sedih memikirkan nasib Bapak.

"Disa, kamu kenapa tidak pernah datang jenguk ibu?"

"Iya Bu. Disa udah datang sekarang,"kataku berusaha tenang tanpa emosi. Namun dadaku membuncah luar biasa haru. Mungkin sebentar lagi air mataku akan menggenang.

"Semuanya lancar, Nak?"

"Iya bu. Semuanya lancar. Disa juga udah hidup sangat mandiri sekarang, udah dapat kerjaan juga. Jadi ibu gak usah kawatirin Disa."

Kutatap mata bu Sinan yang kini makin sayu oleh umur.

"Klinik Ibu juga bisa kok kamu tempetin kerja, Dis. Tinggal bilang."

"Nggak Bu. Disa udah punya rencana sendiri kok, Bu. Disa gak mau repotin Ibu."

Meski akhirnya masih harus menerima berbagai kata sinis dari Sastri dan ditambah pertanyaan pribadi dari pada sepupunya, aku bisa bernapas lega saat sore hari bisa terbebas dari semuanya.

Tiga hari berikutnya aku berkembas dan bersiap menuju Jakarta. Rencananya kami akan dilepas di Jakarta sebelum bertugas di rumah sakit di daerah. Jujur aku bersemangat kali ini karena menemukan alasan untuk Kembali di tempatku tumbuh. Meski masih harus berkendara selama beberapa jam, namun aku yakin bisa sering ke sana dan mendapatkan informasi tambahan yang kubutuhkan.

Malam harinya Randal, teman pengusaha yang diisukan pernah jadi pacarku menelpon jika dia membutuhkan teman untuk menemaninya menghadiri acara penting malam itu, tentu dia membutuhkan pendamping. Yah itulah salah satu gunanya teman. Lagipula kedatanganku dengan Randal akan memicu pemberitaan baru serta peluang kerja baru. Jaman sekarang kita harus mampu memprediksi segala peluang termasuk menciptakannya.

Kami sepakat mengenakan pakaian yang seirama. Randal adalah salah satu pria bujangan yang sering dicari keberadaanya. Perkenalanku dengannya berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba saja kami bertahan dalam status teman dekat hingga lima tahun lamanya.

"Aku gak tahu kalau gak ada kamu Disa, bisa-bisa aku menjadi santapan mereka,"tutur randal ngeri saat melihat pergerakan para tamu dan menyapanya hangat.

"Jangan lupa ya, sponsor buat brand baruku nanti."

"Gampang. Kirim draftnya dulu dong aku cek. Gila aja mau jadi sponsor buta."

"Ya enggaklah, Dal. Saat tiba di lokasi nanti aku kirimin ya, soalnya subuh nanti aku harus terbang. Jadi aku jam sebelas udah harus balik hotel biar bisa istirahat tiga jam sebelaum ke bandara."

"Tenang aja, ini masih jam delapan kok."

Namun ternyata, acara malam itu berakhir lebih lama dari yang aku duga. Saat Randal mengantarkanku hingga di depan pintu kamar hotel, dan membantuku membuka pintu, saat itulah mataku secara tak sengaja bertatapan dengan mata seseorang yang berjalan kearahku. Seharusnya mata itu tidak boleh kutatap terutama pada saat-saat seperti ini.

Kenapa dia bisa ada di sini?

"Oh, ternyata ini kegiatanmu hingga tidak bisa bergantian menjaga ibu?"

Oh tidak. Oh tidak.

"Loh sayang? Bukannya kamu nggak punya Ibu?"tutur Randal mesra, tak lupa merapatkan pinggangnya  pada pinggangku.

Jantungku kembali dalam mode siaga denyut kencang. Seperti ada genderang perang. Andai aku punya pintu doraemon. Kenapa aku harus menyetujui permintaan Randal? 😭

====

Sampai jumpa senin ya.
Di karyakarsa dan KBM app udah sampai bab 21. Tengah malam up satu bab lagi.

Jodoh Beda UsiaWhere stories live. Discover now