Bab 19

3.4K 298 6
                                    

Bagian 19.

Kukira aku sudah meninggalkan beban ini lama sekali. Lama setelah aku meninggalkan rumah itu. Keluarga Bu Sinan bagaikan oase baru bagiku. Aku tidak lagi ingat bagaimana rupa ibu, aku bisa melupakan sebab hilangnya Bapak, aku senang karena ada Bu Sinan dan anak-anaknya. Aku senang karena dianggap ada dan dihargai, namun aku juga Bahagia saat bisa lepas dari rumah itu meski beban hutang budi masih mengikatku. Suka tidak suka, terima tidak terima, meski aku berkerja dirumah itu dan digaji layaknya asisten yang lainnya, ada beberapa perlakuan istimewa yang aku terima. Tiap bulan selain diberi gaji oleh bu Sinan, Sasran secara rutin selalu memberiku uang saku. Uang saku yang membuatku bisa mengikuti beragam les dan extrakurikuler. Hidup keluarga Bu Sinan memang tidak berlebihan namun semua hal tertata dengan baik. Bu Sinan mendidik semua anak-anaknya dengan baik meski Sastri selalu menjadi bulan-bulanan penyebab masalah. Hal yang paling aku ingat adalah hampir tiap minggu aku selalu dengan rajin membersihkan penginapan yang letaknya di sebelah rumah. Penginapan bintang dua dengan tiga puluh kamar itulah yang menopang hidup mereka sekelurga karena jika mengandalkan gaji seorang Jendral saja maka hanya akan cukup membiayai hidup dan sekolah dua hingga tiga anak saja, sedangkan Bu Sinan punya banyak tanggungan anak bahkan juga cucu.

Pengelolaan penginapan itu sepenuhnya di sekarang dibawah pengurusan Sultan. Sultan yang membagi secara adil keuntungan kepada adik-adiknya lalu sisanya dimasukkan dalam kas tabungan untuk keadaan tidak terduga. Jumlahnya hampir separuh dari keuntungan. Kata Bu Sinan kala itu penginapan miliknya memang tidak seramai penginapan lainnya, namun pengahasilan bulanan penginapan yang lebih sering jadi kost ekslusif itu setara dengan tiga kali gaji suaminya, dan dua kali lipat gajinya jika masih aktif sebagai dokter estetik. Sudah lama sejak klinik milik Bu Sinan di serahkan pengelolaannya pada sepupunya, hingga secara tidak langsung pemasukan dari klinik itu tidak ada lagi.

Tinggal selama hampir empat tahu di sana sedikit banyak memberiku pelajaran berharga bahwa kita bisa saja kehilangan apapun, uang, harta, bahkan teman, masalah akan selalu datang silih berganti namun kepribadian yang baik, kejujuran, dan pendidikan yang cukup akan membuat semuanya lebih mudah. Bu Sinan berulang kali menjelaskan hal ini padaku. Aku sangat menghormati beliau hingga tidak sampai hati memutus semua hubungan dengan keluarga itu. Aku bisa memutus kontak dengan semua anak-anaknya tapi tidak bisa jika berkaitan dengan Bu Sinan.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit aku berusaha sebisa mungkin mengurangi rasa sesak di dadaku dengan menarik lalu menghembuskan napas perlahalan-lahan. Angin malam menerpa wajahku saat kaca jendela mobil kubuka. Angin malam adalah salah satu dari sekian banyak hal yang membuat perasaanku bisa membaik dalam hitungan menit. Entah apa sebabnya. Randal sesekali melirikku. Kulihat ia mulai menyalakan musik. Mobil yang dia sewa selama beberapa hari di luwuk ini bukan tipe mobil mewah seperti miliknya di ibukota. Namun ini adalah pilihan terbaik.

Tanpa kuminta dia turun membelikan beberapa cemilan dan martabak manis buat teman-teman di rumah sakit. Sambil menunggu dia mulai menginterogasiku dengan sesuatu yang selalu kujawab dengan abu-abu.

"Kalau kamu mau beneran nikah sama aku, Dis, setidaknya kamu gak akan lagi menjadi batu dalam keluarga angkatmu."

"Mereka bukan keluarga angkatku Dal. Mereka penolong. Aku sulit jelasinnya."

"Iya mau sampai kapan? Kamu sendiri yang bilang tempo hari kalau keluarga itu mencurigai kamu mau gaet salah satu anggota keluarga, memangnya dia nggak tahu kalau penghasilan kamu jauh lebih besar dari mereka?"

Aku tersenyum miris. Randal lupa satu hal. Dalam beberapa golongan masyrakat ada tipikal keluarga yang mengharusnya bibit dan bebet seseorang yang akan masuk bergabung dalam keluarga haruslah berasal dari keturunan yang jelas serta setara atau diatasnya. Hal ini bersinggungan langsung dengan lingkung pergaulan, kebiasaan, Pendidikan hingga pola pikir seseorang. Aku paham betul tata krama yang masih keluarga itu pegang teguh. Apalagi mengingat saudara dari Bu sinan pernah menjadi pejabat sekelas Mentri. Kata Mbok Mira, asisten yang masih mengabdi di keluarga itu, Selain perdebatan malam dimana Sultan diminta menikah dengan cucu dari wakil presiden, Sultan juga pernah mengancam Ayahnya akan keluar dari satuan. Namun berkat bujukan berbagai pihak Sultan mengalah dan mengikuti pilihan keluarganya meski yang terjadi yang aku dengar mereka akhirnya berpisah ditahun ke tiga pernikahan.

"Mereka bukan menakutkan penghasilanku Dal, tapi latar belakangku, kamu tahu kan? Bapakku tidak ada. Dia menghilang. Ibuku? Aku bahkan tidak ingat wajahnya. Keluargaku sampai hari ini tidak ada yang mencariku."

"Kuno sih, tapi kamu gak ada kewajiban buat menuruti apa yang mereka mau kan?"

Aku menghembuskan napas lelah. Sorot mata Randal tak dapat kubaca. Aku teringat perkataan Arman tadi. Apakah aku harus memberitahu Randal?

"Dal, temen kamu si Arman itu orangnya gimana sih?"selidikku

"No no no no... kamu harus jauhin dia. Penjahat kelamin sebutannya. Kalau dia ganggu kamu gak usah digubris, kadang dia gila. Acuhin aja. Dia temenku yang sering kumintai pendapat soalan bisnis, aku percaya insting dia dalam menilai suatu produk dapat dikembangkan atau tidak."

Aku diam. Dalam industri yang aku geluti sudah hal biasa terjadi tawar menawar seperti ini. Setiap orang berhak mengatakan mau atau tidak mau atas sebuah ajakan. Aku tidak berniat menemuinya pagi nanti namun jika dia menelpon aku harus bisa menggunakan semua cara. Tak lama setelah pesanan martabak selesai, lima kantongan Martabak manis telah bertengger di kursi belakang kemudi. Luar biasa makanan yang di beli Randal. Semua petugas jaga pasti dapat kalau gini ceritanya.

"Tawaranku buat pernikahan masih berlaku Dis, habis selesai masa Intership ya?"Randal berucap tenang. Seolah yang dia katakan sama halnya dengan menanyakan kabar seseorang

"Nikah bukan perkara main-main. Meski umurku udah tua, tapi soal nikah aku pasti mikir seribu kali, kamu tahu kan kalau banyak hal yang harus aku pastikan dulu di tempat ini?"
"Oke darling, take care. Kalau butuh sesuatu aku selalu siap ya, aku balik dulu ke resto."

Kupandangi kepergian Randal dan memastikan mobilnya hilang dari pandanganku sebelum aku masuk ke ruang IGD. Pagi harinya setelah jam jagaku selesai dan aku berkeliling di pasar ikan, ponselku bergetar dari nomor tidak dikenal. Perasaanku mengatakan jika dia adalah Arman. Dan perasaanku terbukti benar.

"Halo Dis, aku jemput kamu dimana nih?"

"Halo pak. Ngapain jemput saya Pak?"

"Pembicaraan kita semalam, apakah kamu lupa atau pura-pura lupa karena mau menolakku?"

Jantungku Kembali berdebar. Kini murni karena rasa takut.

"Saya ingat Pak, tapi bisa nggak kerjasamanya apapun itu bicaranya sama Manager saya? Soalnya sekarang saya kan lagi tugas Pak. Gak enak kalau saya langkahin wewenang dia, nah kalau udah deal waktu dan tawaran kerjanya seperti apa, apakah bapak mau saya diatas atau dibawah itu gak jadi soal, Pak,"jawabku dan spontan mendapatkan pandangan sinis dari beberapa wanita dan ibu-ibu berdaster yang kebetulan mendengarku.

"Ouhh kenapa harus seruwet ini, Dis? Apakah Yuda juga pake jalan ini buat bawa kamu ke Maldivies dua minggu?"

"iya Pak, sama. Namun jadwal kerjaku baru bisa disusun lagi tahun depan, itupun dibulan pertama aku udah siap nerima casting peran baru, jadi gimana Pak?"

Sambungan terputus. aku tersenyum melihat ponselku lalu Kembali berjalan menuju rumah. Kali ini aku memilih jalanan ramai agar dapat melihat aktifitas warga.

Saat sampai di halaman kontrakan, lambaian tangan Deta juga Okta membuatku bergegas, mereka pasti sudah menungguku memasakkan ikan kesukaan Bapakku. Namun aku tidak mungkin salah lihat. Tidak mungkin.

Kenapa bisa dia ada disini? Bukannya dia kemarin sedang terbang?

========

Baca cepat di aplikasi karyakarsa atau aplikasi KBM app. Jangan baca lompat lompat yak agar paham isinya.

Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang