Bab 17

3.3K 323 4
                                    

Hai hai.... Terima kasih karena kalian udah mengikuti cerita ini. Bagi kalian yang mau baca cepat dan murah saya saranin ke KBM app aja. Caranya mudah tinggal download aplikasi, cari nama penulis lalu temukan cerita ini.

=======

=======

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagian 17

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagian 17.
Kita hidup di jaman di mana orang lain bebas menilai tanpa tahu kita yang sebenarnya.

Aku berjalan menelusuri jalan setapak menuju rumah petakku. Jalanannya sedikit menanjak dengan rumput liar yang tumbuh di sisi kiri juga kanannya. Mana bisa kita dapat hal seperti ini di ibukota? Sangat Sulit. Hampir tiga minggu keberadaanku di kabupaten ini membuat hatiku bahagia. Suasana dan memiliki teman baru ternyata berdampak positif terhadap kinerjaku. Terlepas dari kejadian minggu lalu yang aku alami, dikejar oleh beberapa pria yang tidak kukenali, tidak membuatku jera keluar rumah. Kini aku tahu cukup menghindari tempat sunyi dan sebisa mungkin tidak melewati jalanan rawan. Jika aku ingin jalan pagi, sebisa mungkin minta ditemani atau memakai motor dan tidak berada di sisi sunyi dermaga.

Seminggu sejak kejadian aku bertemu kanebo lapis kaktus, kami tidak pernah bertemu lagi. Aku tidak juga mencari-cari, lagian buat apa? Buat dihina? Oh tidak. Kehidupanku sudah cukup mencengangkan tanpa harus ditambahi bumbu apapun apapun lagi. Lain hal kalau kami secara tidak sengaja bertemu. Karena biar bagaimanapun dia dan keluarganya adalah penolongku. Aku bukan manusia yang tidak tahu terima kasih, tapi aku juga punya harga diri, buat apa berbaik hati sama seseorang yang merendahkan hingga bikin sakit hati?

Aku bertemu Okta dan melihatnya duduk di teras rumahku, kulihat dia baru saja melempar sapaan pada tetangga depan rumahku. Posisi rumah petak sewa ini selain berhadapan, juga antara sebelah kiri dan kanan hanya dibatasi dinding sekat selebar tujuh sentimeter.

"Aku nunggu Mbak sejak tadi, udah beberapa malam aku gak bisa tidur,"Keluh Okta saat aku membuka pintu. Ini pasti masalah Barata lagi.

"Terus tadi? Ngapain pake sapa senyum lebar segala sama Barata?"

"Ih Mbak Disa perhatian banget ya?"

Kutatapan wajah Okta yang memerah karena salah tingkah.

"Ya aku lihatlah, wong wajahmu berseri gitu habis dadah-dadahan. Jadi apa yang ganggu pikiran kamu?"

Kukeluarkan Jus dari kulkas dan memberikannya pada Okta. Dia meminum tanpa jeda. Luar biasa.

"Enak banget ya Mbak."

"Nah besok-besok kalau kamu gak bisa bobo, datang aja ke sini."

"Jadwal kita gak ketemu, Mbak. Kecuali bulan depan pas aku shift sore sama malam, ini aja aku gak bisa lama-lama, sejam lagi aku cabut balik kos-kosan."

Kedua bahuku merosot. Aku baru sadar kalau frekuensi pertemuan kami selain hari liburku, memang sangat jarang. Waktu-waktu kebanyakan yang kuhabiskan saat itu lebih banyak di rumah sakit atau bertemu dengan teman-teman polisi Barata dan stenly yang datang ke rumahnya lalu dilanjutkan dengan makan-makan di rumahku. Hampir setiap hari hariku penuh tawa dan canda dari mereka. Aku bisa melupakan sejenak niatku mengambil hari libur agar bisa mengunjungi kabupaten tempat bapak meghilang.

"Jadi yang bikin kamu senewen sepagi ini apa sebenarnya?"tanyaku dengan dahi mengkerut.
"Aku stress Mbak, di sini dikit banget hiburan, gak banyak pilihan."
"Harusnya kamu udah tahu sebelum dikirim ke sini."
"Iya. Tapi aku nggak bisa membayangkan kalau bakalan jenuh dalam waktu secepat ini,"keluhnya dramatis. Kali ini Okta berbaring pada karpet ruang tengah dan membiarkan dirinya menatap langit-langit.
"Jadi mau kamu gimana?"
"Minggu depan kita liburan yo Mbak, kemana gitu, kata Barata nyebrang dari pulau ini ada destinasi pulau yang jadi taman nasional, kita ke sana aja. Kalau lewat darat juga hanya tiga jam."

Seketika aku bergeming. Aku tahu persis tempat yang dikatakan Okta. Tempat aku kelilangan Bapak. Apakah saatnya sudah tiba aku kembali ke sana?

"Boleh, aku ikut juga deh, asal kalau bisa kamu milihnya hari kamis, jadi jumat aku libur, sabtu pagi bisa masuk, gimana?"

"Beres Mbak, setelah ini aku sampaikan ke yang lain, ya."

"Masalah biaya, tenang aja. Sponsor makan dan akomodasi Mbak siap,"tuturku memberi info

"Asik. Beneran ya Mbak? Wah berteman dengan artis memang beda ya."


Dua hari sebelum hari yang kurencanakan bersama Okta, Deta juga Stenly beserta Barata dan teman-temannya, kabar kedatangan Randal yang secara tiba-tiba membuatku terkejut. Kusampaikan pada Randal jika waktu liburku tidak banyak. Aku hanya bisa menemuinya pagi hingga siang hari. Namun bisa keluar sejam jika sekedar makan malam. Namun yang membuatku makin terkejut karena ternyata dia tidak datang sendiri, ada dua kawan pengusaha dan juga ibunya yang turut serta.

Sebenarnya aku tidak masalah jika bertemu Randal sendirian. Kami ibarat kawan lama, dia udah kuanggap layaknya kakak bagiku selama lima tahun perkenalan kami. Namun kalau itu tentang teman apalagi ibunya? Aku tahu apa yang ada di pikiran mereka tentang hubungan kami, apalagi jika mereka sering mengikuti berita di infotaimen. Meski Randal bukan dari kalangan artis namun mantannya dan aku adalah publik figure meski aku sebenarnya tidak begitu terkenal amat. Dan yang paling berbahaya dia adalah ketua KADIN. Tahu ketua KADIN? Semua pengusaha se Indonesia pasti mengenal dia, itu yang utama. Lalu di sinilah aku bagai orang asing yang masih mengenakan jubah putih dengan dahi penuh keringat seolah takut ketinggal bus. Aku minta ijin pada pada dokter jaga senior jika harus menemani tamu makans elama satu jam. Untung saja mereka mengijinkan dan tentu sebagai teman yang baik aku tidak boleh pulang dengan tangan kosong.

"Siapa sangka artis hebat dengan banyak kontroversi di media social ternyata sedang bersembunyi dan melakukan pekerjaan mulia di sebuah pulau?"Arman salah satu teman Randal menyambut jabat tanganku. Matanya menatapku lekat dari ujung kaki hingga ujung kepala

"Senang bertemu denganmu Nona," aku menyambut jabat pria Bernama Ditian Sansa Dewa. Entah kenapa jantungku berdebar tidak beraturan saat melihatnya. Auranya lumayan mengancam kesehatan jantungku. Entah kapan kali terakhir aku bertemu pria dengan aura berbahaya seperti ini. Kalau Bahasa Deta dan Okta, jenis pria seperti Ditian Sansa Dewa adalah jenis yang meresahkan.

Saat menatap senyum menawan ibu Randal dan menganguk padaku, saat itu aku bisa merasakan kecemasanku berkurang dan seharusnya tidak perlu berlebihan. Senyum di wajah ibu Randal masih bisa kukategorikan sebagai senyum pertemanan. Bukan jenis senyum yang akan membuatku harus segera pergi saat itu juga.

"Kamu terlambat lima belas menit, Nona. Mama sejak tadi bertanya kapan kami bisa makan,"bisik Randal

"So sorry, aku baru dapat tumpangan, jadi baru datang,"balasku lalu mulai menaruh tas dan jasku di sandaran kursi.

"Jadi, bener kata Randal kamu tugas di sini sebagai dokter?"tanya Ibu Desti, ibu dari Randal.

"Benar tante, saya tugas di sini sampai tahun depan."
"Jadi, kamu benar meninggalkan dunia artis?"

"Tidak benar-benar meninggalkan tante, saya masih sering aktif di media social kalau waktunya cocok, hanya kalau menghadiri kerjaan yang sifatnya On Air, itu yang saya belum bisa, tante," jawabku berusaha sopan. Bener kata orang-orang kalau menjawab pertanyaan wanita yang mencurigaimu sebagai calon istri anaknya sama saja dengan cari perkara. Atau apakah itu hanya kecurigaan yang hanya ada dalam kepalaku saja?

"Mam, Disa datang buat makan bukan untuk ditanya-tanya, dia hanya punya waktu sejam, yuk dimakan Man, dan pak Ditian, Oh iya Dis kamu pasti gak asing sama Ditian sansa Dewa kan? Aku ke sini sebenarnya karena mau ketemu dia di sini, rencananya bakalan buka resort di sini, dan dia adalah tuan tanahnya,"kata Randal dan dihadiahi senyum misterius dari pria itu. Aku yang melihat senyum itu merasakan ada yang tidak baik-baik saja pada kesehatan jantungku. Wahh jantungku ya Tuhan.

Otakku sibuk mengingat-ngingat namun tidak satupun ingatan itu membawaku bisa mengenal pria bernama Ditian Sansa Dewa.

"Yang membuatku bisa jadi ketua Kadin ya, dia. Perusahaan tambang emas PT GAW, jaringan resort Mayapada, dan beberapa asset lainnya di Bali adalah milik keluarganya,"bisik Randal di sela-sela aktifitas makannya

Hah! Mulutku menghembuskan napas. Aku kecewa.  Aku bisa merasakan dadaku mencelos. Lewat lagi kesempatan mendapatkan pria tampan dan mapan. Pria dengan kategori seperti itu tidak akan mungkin  melirik Wanita yatim piatu sepertiku. Case closed. Tidak ada gunanya debaran di dadaku.

"Dia udah nikah sama ibu camat kabupaten sebelah, Dis. Simpan angan-anganmu,"bisik Randal dan itu sukses membuatku tersedak. Cepat-cepat kuminum segelas air putih pemberian Randal.

Ya Tuhan. Kenapa rasanya aku ingin menangis?

"Istrimu mana, yan?"tanya Arman pada pria Bernama Ditian.

"Di rumah, lagi hamil dia, aku gak ijinin kemana-mana."

"Cie protektif gitu, lo Yan. Kapan terakakhir kali lo balik Jakarta?"

Mendengar percakapan itu spontan membuatku mengangkat wajah melihat mereka.

"Bulan lalu gue balik, Kok. Rutin. Hanya saja tinggal di sini bikin otak gue lebih sehat, paru-paru gue juga bisa lebih sehat."

"Ya deh serah elo. Tapi elo tinggal disini apa di Ampana sih?"
"Maksud gue sini ya di pulau sebelah, di Ampana, ke sini ya hanya karena kalian aja mau liat prospeknya, gimana? Bagus kan?"

Tunggu, Ampana? Ditian Sansa Dewa tinggal di Ampana?

"Maaf pak Ditian, nyela dikit. Bapak tinggal di Ampana?"

"Iya, kenapa? Udah pernah ke sana?"

Aku menelan ludah gugup. Semakin banyak orang yang kukenal sebelum Kembali ke tempat itu akan lebih baik.

"Sebenarnya saya besar di sana Pak, hanya saja tiga belas tahun yang lalu ninggalin kota itu karena ikut sodara, bapak saya dulunya tantara yang ditugasin di sana,"jelasku lagi.

Kulihat dia tersenyum. "Ampana banyak berubah sepuluh tahun terakhir. Aku sudah tiga tahun menetap, kalau kamu berkunjung lagi bisa kabari aku, karena kamu pacar Randal untuk akomodasi tidak perlu kuatir."

Aku tersenyum lalu melirik senang ke arah Randal. Ternyata ada enaknya jadi pacar Randal. Deta sama Okta pasti senang saat tahu aku bisa dapetin akomodasi bagus buat kami liburan lusa.

"Rencana lusa, saya dan beberapa teman memang berniat ke Ampana, Pak."

"Oh ya? Kalau gitu ini nomor hotline resort bisa kamu hubungi buat reservasi, nanti saya bantu info ke staf saya kalau aka nada tamu yang menginap. Kalau butuh bantuan apapun kamu bisa kontak saya lewat Randal."

Tanpa sadar aku tersenyum lebar. Ibu dari Randal juga menyetujui aksiku mengambil kartu Hotline resort pemberian pak Ditian.

"Nah kan? Sekarang ada gunanya kamu sering ikut kupanggil makan malam kan? Besok datangnya cepat jangan kelamaan Dis, aku orangnya gak sabaran."

Aku mendelik mendengar penuturan Randal. Kami saling berbalas ejekan saat kulihat Ibu dari Randal berdiri seolah melihat kedatangan seseorang.

"Wah saya akhirnya ketemu anak dari Suardi, masih kenal saya?"

Ibu dari Randal berdiri dan maju menyalamati seseorang yang wajahnya sangat tidak asing. Namun kenyataan bahwa ada kebetulan mengerikan seperti ini sungguh di luar pemikiranku. Kurasa wajahku sudah keki atau seputih jas milikku. Tatapan kami bertemu selama beberapa detik.

"Masih. Siapa yang bisa melupakan Wanita cantik seperti ibu Destiana Anwar?"

Seumur hidup aku tidak akan bisa melupakan senyum yang terpancar di wajah Sultan malam itu. Sial.


Jodoh Beda UsiaWhere stories live. Discover now