Bab 13

3.7K 316 9
                                    


Bagian 13.
Uji Nyali.

Belasan orang berdesak-desakan mengerubungi anak-anak yang tiba-tiba saja jatuh, mereka kejang. Tak berapa lama beberapa orang dewasa juga ikut tumbang. Aku memerintahkan ajudan agar menyiapkan mobil untuk mengantar para korban menuju rumah sakit. Menunggu ambulance hanya akan menghabiskan waktu. Kuhubungi Hans agar memanggil pemilik catering agar bisa menjelaskan nanti di kepolisian. Tentu aku harus tinggal hingga pihak berwajib datang dan menjelaskan sebab duduk perkara. Kepala stafku sedang mengantar anaknya, sebagai atasan yang bertanggung jawab ini adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.

"Ini terlalu heboh, pak Komandan. Secara keseluruhan kami sudah bisa meraba kecenderungan hasil penyelidikan sementara. Terima kasih atas kerjasamanya, kami akan meminta hasil lab dari sampel yang diberikan rumah sakit, apakah pak komandan juga berniat datang?"

Aku menjabat tangan David, wakil kepala kepolisian sektor luwuk.

"Tentu, salah satu anak Letnan Pungki menjadi korban, setelah mewawancarai petugas catering, aku akan datang."

Kulepas kepergian David dan segera berbalik melihat Kania. Kepala asisten rumah tangga yang sudah bekerja denganku semalam delapan tahun. Selain Hans, Kania adalah orang kedua yang selalu ikut kemanapun aku bertugas. Jujur aku marah padanya, kenapa bisa teledor dalam memilih menu.

"Maaf pak. I-ini di luar kendali saya. Kita pake katering yang biasanya, mereka juga tidak tahu apa yang menyebabkan beberapa orang itu keracunan."

"Saya tidak mau ini terjadi lagi, Kania. Hal ini pasti akan sampai ke atasan apalagi ada warga masyarakat yang menjadi korban. Saya selalu mempercayakan kamu mengurus urusan rumah karena yakin kamu bisa handle dengan baik. Apa jaminan ini tidak akan terulang?"

"Maaf Pak. Sungguh. Saya minta maaf, Pak."

Kuduga dia menjadi ketakutan karena mendengar nada bicaraku yang terlampau tegas. Ini kali pertama aku memarahi Kania. Biasanya dia selalu bisa kuandalkan dalam posisi apapun dan selalu sangat bertanggung jawab.

"Semua korban sudah dibawa menuju rumah sakit Pak, apakah ada perintah lagi?"

"Lima belas menit lagi kita ke rumah sakit, minta anggota yang lain membereskan peralatan, dan menemani keluarga korban jika dibutuhkan, katakan pada mereka jangan sungkan jika membutuhkan bantuan."

Qodril. Salah satu ajudan yang telah menemaniku sejak bertugas di Palu lalu kemudian di tempatkan di Luwuk, memberitahuku situasi terkini.

"Siap. Pak."

"Sampaikan pada Hanan, kita berangkat ke RS beberapa menit lagi."

"Siap. Pak."

Saat masuk ke dalam rumah, saat itulah ponselku berdering. Kulihat nama Sastri tertera di sana. Kupilih mengabaikan dan masuk ke kamarku untuk membersihkan diri. Suasana di rumah dinas adalah suasana yang sangat kusukai. Tenang dan damai. Berjalan ke belakang sejauh serratus meter aku bisa melihat deretan rumah dinas yang lainnya sebelum akhirnya menyaksikan pemandangan ombak yang menggulung dengan kapal nelayan. Pemandangan yang selalu kupilih untuk menemaniku mengakhiri hari. Sebenarnya kebiasaan ini mulai kulakukan sejak mengakhiri pernikahanku dengan Selena. Kadang aku berpikir kenapa dulu aku tidak memiliki kemampuan menentang ayahku dan menentukan pilihanku sendiri? Namun setelahnya aku sadar jika kebebasan adalah harga yang sangat mahal bagiku sebagai anak pertama.

Dulu aku sempat berangan-angan akan seperti apa istriku dan anak-anakku kelak. Apakah akan seberani Silvia atau selucu Sean? Dua ponakan yang sering memanggilku papa. Ternyata pernikahanku tidak pernah dikararuniahi keturunan. Awalnya aku menyesalkan namun seiring berjalan waktu aku bersyukur tidak ada sesuatu yang mengikat kami. Selena cantik, dia menarik, sangat menarik. Siapa pria yang tidak akan menyukainya? Namun mengenalnya makin lama makin membuatku sadar jurang antara kami terlalu besar. Telponku Kembali berdering. Nama Sastri Kembali muncul.

{Halo....}
{Bang, Sasran dan Sunan akhirnya berdebat tentang Disa di depan ibu. Aku harus gimana?} Sastri langsung memuntahkan kekesalannya

{Apa lagi? Aku bilang kamu tidak perlu kawatir. Disa tidak akan berani}

{Abang tahu sendiri bagaimana kehidupan dia semenja masuk dunia hiburan, kan? Sastri tidak akan mau berurusan dengan DIsa lagi, Bang. Apalgi jika dia harus jadi bagian dari keluarga}

{Tidak akan. Sastri. Tidak akan} kurasa aku mulai kehilangan kesabaran.

{Abang harus tanggung jawab. Kalau dulu Disa tidak tinggal di rumah kita, gak akan kejadian kayak begini}

{Bukannya kamu yang keberatan DIsa pergi karena harus membantumu menjaga kedua anakmu?}

{Bang, itu dulu. Pokoknya aku gak mau Sunan atau Sasran rebutin perempuan murahan yang bisa dibawa pria manapun karena uang. Abang liat sendiri gimana murahannya dia di podcast orang-orang, kan?}

Keluhan Sastri membuatku sakit kepala. Meski apa yang dikatakan Sastri memang terbukti kebenarannya karena aku melihat sendiri kelakuannya di Jakarta. Benar-benar malapetaka.

{Aku Sudah bilang, dan berani jamin, jika dia tidak akan lagi berani berhubungan dengan keluarga kita. Aku yang akan menghubungi Ibu dan meyakinkan tentang menghindari hubungan dengan Disa}

{Sasran sama Sunan? abang anggap enteng mereka?}

{Sastri, ini terakhir kali aku mendengar kamu mengeluh tentang DIsa. Aku berani jamin beberapa tahun ke depan dia gak akan muncul lagi di rumah, kecuali untuk acara-acara penting seperti kawinan Sidny nanti}

Telpon diputus tanpa aba-aba. Aku sangsi menatap ponsel dan menimang perkataan Sastri. Aku dejavu, teringat mendidiknya dulu saat masih remaja. Dia masih keras kepala dan penuh kekhawatiran hingga hari ini. Setelah masalah di sini selesai, aku harus menegaskan semuanya dengan Ibu.

Perjalanan menuju Rumah Sakit membutuhkan waktu dua puluh menit. Ada satu iring-iringan yang menemaniku selain Qodril juga Hanan yang bersamaku dalam mobil. David dan pihak kepolisian lainnya mungkin sudah lebih dulu tiba di sana. Babinsa juga kukerahkan agar bisa mengetahui segala informasi.

Saat tiba dan berjalan masuk melalui Lorong IGD. Terlihat kerumunan orang berdiri di depan pintu rumah sakit. Beberapa babinsa dan pihak kepolisian juga ada di sana. Aku berjalan mendekat kemudian disambut hormat oleh beberapa anggota. Setelah bergantian menjabat tangan mereka, aku diarahkan pada salah seorang dokter yang bertanggung jawab.

"Ini dokter jaga yang bertanggung jawab, dr. Dara Hendra, Pak."

Aku menatapnya dengan perasaan marah luar biasa, namun bisa menyembunyikannya dengan baik. Kurasa alisku bertaut berusaha mencerna informasi yang terpampang jelas di depanku. Kujabat tangannya berusaha mendengar penjelasan dari dokter wanita di depanku

"Semua pasien sudah melewati masa krisis. Mungkin beberapa saat lagi bisa diatur jam besuk bergilir."

"Halo Bu Dokter, kita adalah tetangga kalau bu dokter ingat?"

"Eh iya, Pak Barata dan Pak Stenly, ya? Semoga saja saya tidak salah mengenali nama tetangga."

Salah seorang perwira kepolisian terlihat mengobrol akrab dengannya. Namun aku lebih memilih berusaha fokus mendengar penjabaran para BABINSA meski sebelah telingaku juga tetap waspada pada semua hal yang dilakukan wanita licik ini.

Aku memilih pulang satu jam kemudian setelah selesai menjenguk para korban dan mengucapkan keprihatinan. BABINSA kuminta tinggal selama satu jam ke depan untuk memantau situasi dan Kembali besok pagi.

Jam menunjukkan pukul dua belas malam saat tiba di rumah dinas. Masa jabatanku di Luwuk kurang lebih setahun. Aku tidak tahu pasti apa yang dilakukan wanita penuh akal bulus itu di sini, namun jika benar dia bertugas di sini, maka ini adalah kesempatan bagus memastikan dia tidak lagi menghubungi keluargaku selama setahun ke depan.

Subuh hari, saat memastikan kebenaran alamat gadis itu dari Hans. Aku memutuskan mendatanginya setelah lari pagi.
=========

Di KbM dan karyakarsa malam ini udah otw bab 31-32.

Staytune buat baca cepat.
Cari nama emeraldthahir ya.

Btw kalau kalian pengen
Baca murah ceritaku bisa cek di work karyakarsa ada yg seharga 35rb dan 45rb udah sampe habis.

Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang