Bab 26

2.6K 245 1
                                    

Bagian 26.

Semua tidak lagi sama. Aku tahu persis semuanya berubah karena saat sore hari saat aku bangun dari tidurku ada Hanan juga Qodril di ruang tamu yang sedang ngobrol dengan Deta juga Okta.

"Ini bu, Bapak minta ibu kalau bisa senin siang ibu udah balik karena ada beberapa berkas yang mau disiapin dari sekarang."

Deta juga Okta menatapku tanpa kedip. Aneh rasanya panggilan kedua orang ini yang awalnya panggil Mbak, kini berubah menjadi Ibu.

"Iya. Aku balik besok sore kok. Bilang sama Bapak kalau hanya buat ngomong ini kenapa gak kirim pesan?"kataku lalu duduk di depan mereka. Semoga penampilanku tidak terlalu memalukan.

"Mau sekalian ambil barang juga Bu di kamar satunya."

"Oh ya udah. Diambil aja."kataku

"Apa ibu butuh sesuatu? Ini sekalian saya mau kasih nomor saya ke ibu."

Kutatap wajah Hanan juga Qodril yang sedang menahan senyum. Aku sudah tahu pasti mereka sudah habis-habisan menggoda atasannya. Lima belas menit setelah kepulangan kedua ajudan Bang Sultan. Deta serta Okta pamit ingin menyebrang ke pulau sebelah. Hingga besok pagi. Aku mempersilahkan tanpa banyak komentar dan menyuruh mereka pulang cepat besok pagi karena aku tidak mau ditinggal sendiri lebih lama.

Sepertinya kejadian kemarin cukup membuatku waspada. Aku terpaksa meminta Bang Sultan mengirim satu ajudannya agar menemaniku mencari makan. Hanya dua puluh menit setelah aku mengirim pesan, Hanan datang dengan senyumya yang menjengkelkan. Kalau ku ingat-ingat Hananlah yang menjadi orang pertama mendengar saat aku memanggil atasannya dengan panggilan ayang.

"Semoga ibu gak bosan ya liat saya terus,"tegurnya saat aku telah naik di mobil.

"Bosan sih, tapi gak ada pilihan. Ngomong-ngomong kalau aku minta bantuan kamu tanpa sepengetahuan Bang Sultan, bisa ngga Nan?"

"Nah kalau itu agak susah, Bu. Soalnya saya takut sama Bapak. Tapi kalau sifatnya urgen dan demi keselamatan, bisalah saya membantu dikit-dikit."

"Kamu punya teman di kepolisian sini? Aku pengen kamu bantu aku tanpa sepengetahuan atasanmu."
"Oh kalau urusan pelecehan kemarin itu udah diurus kok Bu sama Bapak. Nanti paling pas kalau ada sidang aja baru ibu dipanggil buat keterangan, tapi kalau gak ada masalah juga gak perlu, Kok Bu."

"Bukan. Nan. Bukan. Aku pengen kamu bantu aku cari cara gimana agar surat keterangan kehilangan bisa kudapatkan dari kepolisian, dulu Ayahku tantara di wilayah ini, tapi karena pengurusannya lumayan berbelit-belit, aku minta kamu yang ngurusin."

"Lo? Iya Bu? Sebenarnya kalau ibu ngomong sama Bapak pasti dibantu, apalagi sesama anggota juga. Ibu punya identitas atau tanda pengenal, foto, atau apapun yang bisa membuktikan kalau ibu adalah keluarganya?"

"Nah itu yang aku tidak punya, yang punya data itu satuan tempat Ayahku dulu bertugas, dan atasanmu yang jadi pimpinan di tempat itu."

"Maksud ibu Atasan, atasan saya?"

"Iya siapa lagi?"

"Harusnya ibu bilang langsung ke Bapak, pasti dibantuin."

"Nanti bakalan aku bilang, Cuma belum sekarang waktunya, kamu bisa kan? Urusin di kepolisian nanti? Termasuk surat atau data yang masih tertinggal di ruang arsip Koramil daerah sini, aku yakin pasti masih ada di sana,"yakinku

"Gini ya Bu, kalau memang ibu butuh itu, berarti harus cepat Bu. Karena bapak gak lama lagi akan naik jabatan memimpin di satuan KOREM Tadulako di Palu."

"Maksud kamu?"

"Ibu belum tahu? Di jajaran Bapak, sesama Komandan Kodim, hanya Bapak yang pangkatnya udah Mayor Jendral. Jadi satu-satunya orang yang akan menggantikan posisi pimpinan Korem tadulako sekarang, hanyalah Mayjen Sultan Panembahan. Dan bukan tidak mungkin akan langsung lompat memimpin ke tempat lebih tinggi mengingat harusnya tempat bapak itu udah mimpin KODAM,"tuturnya bangga.

"Yang artinya Bapak di tugasin di sini gak cukup setahun lagi Nan?"

"Benar Bu."

Ini adalah informasi baru. Banyak terima kasih pada Hanan yang telah menjawab banyak pertanyaanku. Jika benar seperti itu, aku harus memastikan urusan ini harus selesai sebelum Bang Sultan tidak lagi bertugas di daerah ini.

Kami tiba di sebuah restoran pinggir laut dan disambut dengan live musik. Bedanya rerstoran ini tidak berdiri diatas air. Namun dibangun diatas pasir putih. Hanan yang lebih dulu berjalan menyusuri jalanan setapak di tengah riuhnya ombak pantai Ampana. Jika bisa memilih aku pasti akan memilih tinggal lama di tempat ini ketimbang kembali ke kota. Cita-citaku sampai hari ini belum berubah. Aku ingin membuka klinik kecil di dekat pantai agar bisa berinteraksi dengan masyarakat sekitar, merasakan udara bersih dan agar bisa mengingat Ayah.

Saat aku kecil, Ayah selalu membuatkanku makanan sebelum berangkat ke sekolah. Ayah paling sering membuatkanku pisang rebus, atau pisang goreng. Untuk siang Ayah pasti membawa nasi goreng ke sekolahku. Masa-masa itu hanya bisa terus menerus kurawat dalam ingatanku. Masa-masa aku sangat bahagia meski hanya memiliki seorang Ayah.

Pernah satu kali aku bertanya siapa sebenarnya Ibuku, atau kemana Ibu sebenarnya. Namun hanya jawaban hening yang kuterima. Ayah selalu diam saat kutanya. Namun aku ingat Ketika aku kecil Ayah sering mengatakan jika Ibu sudah meninggal. Jawaban itu masih sama hingga aku tamat SD. Namun saat aku mulai memasuki jenjang SMP, Ayah tidak lagi menjawab dengan hal yang sama. Entah apa yang disembunyikannya namun aku sadar jika ada yang tidak beres, dan hanya Ayah yang bisa menjawabnya.

Lalu perhatianku sepenuhnya teralihkan saat melihat tiga meja panjang berjejer di pinggir pantai. Cukup jelas kelihatan dari tempatku dan Hanan duduk.

"Nan, bukannya itu Qodril?,"kataku. Saat melihat beberapa orang yang masih mengenakan celana motif loreng, aku tahu jika rombongan itu adalah rombongan TNI.

"Oh itu sedang ada Silaturahmi Bu, sesama pimpinan. Pimpinan Koramil, Dandim serta Korem juga datang. Bahkan ada satu panglima tinggi juga yang datang. Semacam acara penutupan sih, di restoran sebelah malah orang dari kementrian Bu. Hampir semua resto malam ini fuul booked setelah acara peresmian pulau tujuan wisata baru."

Aku lalu menatap perkumpulan rombongan tersebut, namun aku belum bisa menemukan wajah yang kucari. Akhirnya aku bertanya pada Hanan dimana posisi Bang Sultan.

"Nan, bos kamu duduk di sebelah mana?"

"Tuh di sudut. Sewaktu saya tinggalin tadi masih jadi sasaran sesama pimpinan, arisan beliau lagi yang naik."

"Sasaran?"

"Diantara semua pimpinan koramil maupun korem hanya Bapak yang masih sendiri, yaaa... Bapak belum bilang kalau sama Ibu. Paling sekalian nanti baru diakuin. Biasanya kalau sudah begini Bapak pasti diminta nyanyi atau bikin apa gitu."

"Hah? Serius? Atasan kamu nyanyi?"

"Iya Bu. Udah biasa mereka nyanyi. Tapi kalau harapin suara Bapak bagus sih gak mungkin. Yang penting gak jadi bulan bulanan aja sih, kenapa? Ibu mau gantiin Bapak nyanyi?"

"Eh? Emang bisa Nan? Nurut kamu apa kata mereka kalau ada yang gantiin atasan kamu nyanyi? Apa situasinya bakalan gak enak?"

"Emm kalau nurut saya sih, tidak Bu. Ibu beneran mau nyanyi?"

Sepertinya ini akan jadi kali pertama aku menolongnya. Anggap saja ini bagain dari balas budi pertamaku.

"Yukk.. Nan. Kamu temenin ke panggung mini."

"Serius Bu?"

"Iya."

Saat aku berjalan menuju panggung aku sempat bertatapan dengan Bang Sultan. Entah apa yang dia pikirkan. Namun setidaknya dia bisa melihat bakat intertainku.

Jodoh Beda UsiaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora