Bab 10

4.7K 318 9
                                    

Bagian 10.

Pagi Kembali datang. Begitu cepat waktu berlalu jika aku berada di Jogja. Bangunan rumah tidak banyak berubah. Namun kehadiran keluarga besar beberapa hari terakhir membuat semuanya berbeda. Rumah ini ramai, sangat ramai. Bahkan kamar samping yang terhubung dengan penginapan juga terisi. Samping rumah kami adalah penginapan bintang dua yang dibangun ibu sedikit demi sedikit menyisihkan penghasilannya. Tak banyak tamu yang datang, namun perawatannya memakan banyak biaya hampir tiap bulannya. Beruntung Sunan dan Sasran mau ikut membantu pengelolaannya.

Sebagai anak tertua tidak mudah bagiku mengambil keputusan sejak ketiadaaan bapak. Ya. Dia pergi tanpa meninggalkan tanda. Tidak ada yang bisa aku ungkapkan tentang kepergian beliau. Sedih? Kurasa lebih dari itu. Masih banyak harapannya padaku yang belum mampu kulakukan. Kata ibu aku terlalu idealis, kata Bude sulit bagiku naik pangkat jika mempertahankan sentiment pribadiku. Namun, bagiku apa yang menjadi pendirianku sama sekali bukan sentiment. Aku jelas saat membedakan antara hitam dan putih, benar salah, semuanya jelas di mataku. Jadi, jika para teman bapak tidak ingin menaikkan jabatanku karena idealismeku, silahkan. Aku tidak pernah mau mengejar sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanku.


Selena. Adalah hal kesekian dalam hidupku yang pergi karena ketidakbecusanku mengejar karir, pria kampungan. Itu katanya sesaat sebelum meninggalkan rumah dinas, dan memintaku menceraikannya. Belum termasuk semua yang harus kubayar karena beristrikan seorang Selena. Demi membayar semua hutang-hutang itu, aku terpaksa menjual semua mobil dan semua asetku yang tersisa. Bapak dan ibu akhirnya tahu jika sejak awal kami seharusnya tidak dijodohkan, Ibu menyesal, dan mungkin juga Bapak beserta budeku yang menjodohkan kami turut menyesal.

Apakah sebelumnya Selena tidak sadar, jika seorang perwira sepertiku dengan gaji  satu digit, mampu membelikannya  barang branded seharga belasan juta? Apakah setiap bulan aku berkelebihan hingga bisa membiayai liburannya? Sampai di sini, aku sadar jika cyrkle yang bapak dan ibu bangun harusnya bukan untukku. Aku hanya ingin hidup tenang dan damai. Asal semua keluargaku terpenuhi kebutuhannya, bagiku semua lebih dari cukup.

Kejadian delapan tahun yang lalu masih membuatku menyimpan rapat-rapat memori penyebab berakhirnya rumah tanggaku. Sebagai pria aku selalu berusaha memenuhi keinginan Selena, meski pada akhirnya aku mengalah dan menyerah. Suatu waktu aku sampai mengejarnya dan memohon kesempatan padanya, agar Kembali memikirkan empat tahun yang kami jalani susah payah. Namun, hanya penghinaan yang aku terima. Setelahnya, aku berusaha keras membangun Kembali percaya diriku dan tidak akan lagi memikirkan pernikahan. Kalaupun waktunya tiba, aku harus pstikan jika wanita itu bukan wanita licik dan manipulative. Aku bahkan tidak menghitung beberapa kali menoleransi perselingkuhan Selena. Banyak. Namun Bapak dan ibu tak perlu tahu alasan itu.


"Sebelum ibu mati, kamu harus nikah, Sultan. Ibu paling sedih liat kamu, Nak."

Penuturan ibu membuatku diam saat membantu perawat membasuh tangan dan juga kedua kakinya. Dua bulan lalu aku mencari waktu libur dan kali ini masih sama, aku khusus meminta ijin demi menengok keadaan ibu.

"Sultan udah pernah, bu. Jangan buang waktu. Ada Sunan dan Sasran, juga Sidni yang sebentar lagi menikah."

"Iya, tapi kamu buat ibu Sedih Sultan."


"Sultan baik-baik saja, Bu. Yang ibu pikirin harusnya Kesehatan Ibu, delapan tahun terkahir Sultan Bahagia dengan semuanya. Jadi, ibu tidak perlu menghabiskan energi, kalau saatnya tiba pasti Sultan ketemu, kok."

Aku menemani ibu pagi itu bercerita banyak hal. Berusaha mengalihkan ingatan dan perhatiannya. Dan Kembali mengumpulkan adik-adikku sebelum beristirahat, karena besok siang aku harus bergegas Kembali ke Jakarta menghadiri acara penting.

"Nikahan Sidni, lima bulan lagi, aku mohon kita semua bisa berada di rumah," ucapku sembari melihat wajah ke lima adikku.

"Aku tidak bisa janji, Bang. Jadwal terbangku padat banget sampai akhir tahun, tapi aku bisa sempatin pulang tiap dua bulan kok,"Sasran lebih dahulu menjawab.

"Seperti biasa aku pasti bisa. Istriku juga bisa standbye. Secara selain Sidni, aku yang menetap di kota ini,"Sastra, adikku yang dokter mata menambahkan. Di antara kami bersaudara, Sastra paling mudah mendapatkan pasangan.

"Aku juga bisa. Tidak masalah. Kalau Sidni butuh sesuatu langsung ngomong aja,"Sunan menimpali. Sekarang dia tinggal di Jakarta bersama Sasran.

"Abang Sunanku emang yang paling bae kalau soal duit."

"Maaf ya Sid. Aku gak bisa bantu kamu banyak, Silvi sama Sean kebutuhannya gak lagi ditanggung sama mantanku atau ibu. Jadi, kamu tahulah gimana nasibku sekarang, syukur-syukur kalau tiap bulan dapat kiriman pembagian uang penginapan dari bang Sultan."keluh Sastri

Kuhembuskan napas setengah marah. Ini yang paling tidak kusuka dari Sastri. Seolah apa yang sudah kuatur demi kebutuhan dan masa depan kedua anaknya masih juga tidak cukup.

"Sabar Bang. Jangan emosi dulu. Maksud Sastri, bukan protes, maksud Sastri itu, sederhana. Kalau Sastri udah gak banyak penghasilan lagi, hanya ngandelin kiriman dari bang Sultan juga tiap bulan."

"Suami Thurkiye kamu gimana Sas?"Sasran menimpali

"Yah gitulah, gak selamanya ada terus, jadi aku kudu hemat-hemat, makasih ya setiap bulan masih ngirimin kakakmu ini jajan, Sasran."

"Hmmm, gak bisa sering-sering. Bulan depan aku sama Sunan mau beli rumah, kami mau nyicil rumah, mau di apartemen sampai kapan?"

Aku berdehem saat mendengar perdebatan mereka yang masih berlangsung selama beberapa menit.

"Aku harus bicara tentang permintaan ibu padaku, terutama ke Sasran juga Sunan."putusku setelah melihat kelimanya akhirnya diam.

"Oh tidak. Aku tidak mau dipaksa untuk itu. Aku masih mau bebas. Udah punya ponakan lucu Silvis ama Sean udah lebih dari cukup,"Sasran lebih dulu berujar, seperti paham kemana arah pembicaraan ini. Aku yakin ibu sudah sering menyinggungnya. Tahun ini umur Sasran tiga puluh delapan, sedang Sunan empat satu. Wajar jika ibu mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya.

"Bukan. Aku tidak memaksa. Kalau udah ada calon yang cocok, minimal kamu kenalin ke ibu biar dia tenang." jawabku berusaha meredakan situasi.

"Aku sudah punya calon, tak perlu repot-repot, akan kuumumkan saat waktunya tiba dan orangnya mau, kalian udah kenal juga,"seloroh Sunan santai

Aku tertegun menelaah wajah Sunan selama beberapa detik lalu berpindah pada empat adikku yang lainnya, berusaha menebak isyarat yang dia katakan.

"No. nggak! Bang Sunan udah janji kalau tidak akan bawa-bawa Disa,"Sasran menginterupsi

"Aku tidak pernah janji, Sasran. Dulu aku hanya bilang tidak akan membawa Disa kalau belum pasti. Sekarang udah pasti, aku nggak mau disodorkan calon yang lain, cukup Sultan dalam keluarga ini hasil dari perjodohan."

Ucapan Sunan membuat semuanya diam tak terkecuali aku. Aku sadar beberapa adikku melihatku menundukkan wajah. Ada jeda selama beberapa menit sebelum sebuah suara menimpali.

"Iya, tapi bang Sunan tidak benar-benar suka sama Disa, jangan bikin situasi gini dong, bang,"protes Sasran

"Kamu bukan kasian sama DIsa, tapi, kamu tidak mau jujur kalau dalam pikiran kamu juga memperrtimbangkan Disa, iya kan?,"bantah Sunan lantang.

"ini kalian kenapa sih, bawa-bawa DIsa? Udah cukup dulu. Gak usah bawa-bawa dia lagi, kenapa jadi gini?"Sidni ikut menimpali

"Oh no. aku gak setuju pembantu itu jadi iparku, ya, mau dia sekarang jadi artis dan terkenal. Sekali gak setuju gak bakalan setuju, Titik."

"Tutup mulut sampahmu Satri!"teriak Sunan saat aku mulai berdiri dari kursi.

Pernyataan Sastri malam itu menjadi akhir dari percakapan kami. Aku yang lebih dulu meninggalkan mereka lalu masuk dalam kemarku.

Ah, semuanya salahku.

=======

Link bab 11 dst di karyakarsa

https://karyakarsa.com/emeraldthahir/jodoh-beda-usia-10-11

Bab 12 https://karyakarsa.com/emeraldthahir/jodoh-beda-usia-12

Jodoh Beda UsiaWhere stories live. Discover now