Bab 14

3.4K 303 5
                                    



Bagian 14.

Badanku remuk luar biasa. Aku baru bisa istirahat jam dua pagi, namun waktu masih menunjukkan pukul enam saat pintu kamar hotelku diketuk. Butuh waktu dua menit bagiku mencuci wajah dan mempersiapkan diriku sebelum membuka pintu. Sayangnya hotel yang ku tempati ini bukan tipe hotel yang memiliki lubang pengintip, andai iya maka aku sudah tahu siapa orang yang membangunkanku sepagi ini.

Saat membuka pintu. Sebuah aroma hinggap di hidungku kemudian berlanjut dengan keterkejutan selanjutnya. Tanpa aba-aba aku memiringkan tubuh lalu mempersilahkan dia masuk. Pria di keluarga Suandi memang terkenal tinggi dan memiliki postur tubuh besar dan juga kekar. Karena aku sudah menganggap pria di depanku ini sebagai orang yang patut kuhormati, sulit bagiku mengenyahkan emosi yang tiba-tiba timbul.

"Kenapa memilih Luwuk sebagai tempat tugas?," sergahnya tiba-tiba. Matanya menelisik isi kamarku lalu berlanjut berjalan menuju balkon dan memlihat kertas-kertas berhamburan diatas meja.

"Aku ditugaskan di tempat ini selama satu tahun jika Pak Komandan butuh informasi. Maka tidak perlu kuatir aku bakalan mengganggu hidup keluarga Bapak yang terhormat, aku sangat teguh memegang janji."kataku lancar.

Kudengar dia tertawa sinis. Auranya lumayan menyeramkan. Orang pasti aneh jika menyukai berada di dekatnya. Bahkan aku bisa merasakan efeknya tanpa berhadapan langsung. Aku masih mempertahankan posisi sejajar dengan pintu balkon sambil melihatnya dari belakang.

"Baguslah, kini aku tidak perlu kuatir. Semoga kita bisa profesional menjalankan tugas masing-masing, aku tidak ingin wanita sepertimu berlagak artis di tempat ini, dan membuat banyak kekacauan dengan menggoda para perwira kepolisian."

Mulutku menganga. Kurasa aku berhak membalas semua tuduhannya. Dia salah kalau mengira bisa mendikte, menuduh, dan menghinaku di sini. Aku bukan lagi pembantunya dan aku tidak punya hutang budi apapun padanya kecuali pada BU Sinan. Dia lalu berbalik menghadapku.

"Di sini punya banyak aturan, jangan mencari mangsamu di tempat ini dan berpikir bisa mempertahankan kehidupan mewahmu, sikap sok artismu bisa berlaku di luar sana, namun kota kecil ini bukan tempat yang cocok bagimu mencari mangsa baru. Kare...."

Aku berjalan mendekatinya dengan amarah luar biasa. Tanganku hampir saja melayang menampar pipinya jika dia tidak menahannya tergantung di udara.

"Keberanianmu patut diberi apresiasi, Disa. Aku tidak menyangka gadis kecil yang pernah kuangkut dan kuselamatkan berniat menamparku seperti ini. Apakah ini sikapmu?"

Kulepaskan cekalan tangannya di udara. Menelan deretan sumpah serapah yang harusnya kumuntahkan saat itu juga. Dadaku berdebar oleh amarah.

"Dulu aku bisa diperintah sesuka hati, bisa menunduk patuh jika disuruh, menerima semua cacian meski aku tidak pernah melakukannya."

"Oh? Kamu dendam? Kamu dendam pada orang yang menyelamatkan hidupmu?"

"Aku berterima kasih karena Bapak pernah menyelamatkan hidupku, namun aku menolak diintimidasi, aku juga punya perasaan dan harga diri, jadi berhenti menilai semua hal sesuai kacamata Bapak. Sekarang juga keluar dari kamar ini!"pungkasku berapi-api.

Pria itu masih tinggal selama beberapa menit mengamatiku sebelum benar-benar keluar dari kamarku. Saat pintu benar tertutup aku merasakan dadaku perih. Aku berjanji dalam hatiku tidak akan lagi berurusan dengan keluarga itu kecuali Bu Sinan.

Proses kepindahanku beberapa hari setelahnya berlangsung lancar. Aku meminta ijin khusus untuk proses pindahan dan berjanji malam harinya akan bertugas jaga hingga pagi hari. Okta, Barata juga Stenly membantuku mengatur barang. Seperti dugaanku, rumah petak ini menjadi lebih nyaman setelah dicat dan ditata. Aroma rumah selepas dicat adalah salah satu aroma favoritku. Aku seolah bisa mengendus semangat dan harapan baru lalu yakin bisa kerasan berada di sini. Aku membeli sebuah karpet dan meletakkannya di ruang tengah  dan merasa puas dengan hasilnya setelah menaruh hiasan sederhana. Siangnya aku memasak ikan bakar dan sayur bening beserta tempe goreng. Beberapa tetangga yang lain juga kuminta masuk untuk makan. Okta terlihat semangat saat berbicara dengan para perwira kepolisian. Ada satu wanita yang juga ikut bergabung bersama kami bernama Deta. Jaksa baru yang juga ditugaskan di tempat ini.

Sore harinya saat rumah petak sewaku mulai sepi, aku meminta Okta juga Deta membantuku mengatur barang-barang.

"Aku masih tidak percaya, kalau seorang Gladisa Dara Hendra benar-benar ada di depanku, rasanya baru akhir tahun lalu aku menonton drama serinya di aplikasi,"Deta buka suara saat melihatku menata dapur mini milikku.

Aku tersenyum meliriknya.

"Jangankan kamu, aku aja waktu ketemu di bandara pangling banget. Aura artis memang beda. Aku yakin banyak yang sadar tapi masih takut buat mastiin, soalnya gak semua orang tahu kalau dia dokter, mereka tahunya pemain film atau pacarnya Atlit peraih Olimpiade,"cerocos Okta.

"Yang kalian liat di media tidak semuanya nyata, dalam berakting di depan kamera maupun wawancara ada skrip yang wajib diikutin, jadi image yang kutinggalkan juga bagian dari peran."

"Termasuk gosip-gosip Mbak pacaran sama Pak Randal? Pengusaha muda ketua KADIN itu Mbak?"

Aku tertawa. Dia pasti mengikuti kolom gossip. Kemarin aku melihat fotoku tertangkap kamera bersama randal saat memasuki lift hotel di puluhan portal gossip media sosial. Wajar jika orang-orang terlihat segan saat melihatku. Well, siapa yang peduli tentang anggapan orang? Hidupku saja udah rumit. Memikirkan apa yang orang pikirkan tentangku hanya akan memakan waktu. Sejauh ini update informasiku di media social selama beberapa hari trakhir hanya pemandangan disertai kata-kata sebagai caption.

"Padahal aku termasuk yang mendukung tagar Randaldis di Instagram lo Mbak, ketimbang tagar dengan atlit badminton Tindis, iihhh.... Liat wajah sok donjuan dia aku kok risih ya, apalagi waktu podcast di Maldieves saat dia cium pipi Mbak Disa."

Aku Kembali meliriknya sejenak sebelum melanjutkan kegiatan beres-beres. Nilai yang  kudapatkan dengan mengikuti podcast Yuda Tinggardi hampir lima kali lipat bayaranku main film. Belum terhitung bagi hasil tiga digit yang kuterima beberapa hari yang lalu. Aku berniat jika semuanya lancar pingin membangun rumah di daerah pesisir dan sekali-kali jalan ke Jogja menjenguk Uti jika liburan. Ini adalah impianku sejak lama. Mungkin aku bisa buka klinik? Atau hal lainnya?

"Kamu ikutin juga ternyata, kenapa baru bilang sekarang?"protesku pada Okta.

"Masih segan Mbak aku kemarin, kan kita baru kenal. Aku juga belum yakin kalau itu Mbak. Sekarang aku baru tahu kalau Mbak Disa orangnya asik."

"Aku aja gak percaya waktu Stenly bilang ada artis yang nempatin bekas rumah Pak Warto yang udah pindah tugas, baru percaya waktu liat sendiri kemarin waktu Mbak datang liat tukang ngecat."

"Terus tanggapan kamu gimana Det?"Okta mencari tau.

"Spechless sih. Namun agak minder karena nyadar diri saingan sama Mbak Disa bakalan kalah sebelum berperang."

"Ngapain mau saingan sama Mbak Disa? Kamu suka juga sama Pak Randal Pangestu?"

"Ihh sembarangan. Apalagi dia. Ketemu dimana?"

"Nah terus? Atau hayooooo perwira tadi ya? Yang mana Det, biar kita gak rebutan PDKT nya."

Aku tertawa melihat antusias Okta dan juga Deta membicarakan soal minat mereka pada perwira polisi.

"Aku naksir Stenly, huhuhu... gimana dong?"tutur Deta yang akhirnya ngaku pada Okta

Wajah Okta tampak lega. Seolah baru saja menelan bongkahan batu besar.

"Aman kalau gitu, kita gak bakalan ganggu teritori, aku naksir Barata, tapi liat dia curi pandang ke Mbak disa bikin aku tengsin, jadi missal gak berhasil aku udah ada target lain di rumah sakit."

Tawaku Kembali menguar. Ternyata tinggal di tempat ini akan mengasikkan. Namun aktifitasku terhenti saat melihat panggilan pada ponselku. Randal.

{Halo...}

{Proposal kamu udah aku cek, tapi, sorry Dis monoton banget produknya. Coba deh kamu browsing saingan-saingan kamu yang mirip-mirip}

{Gitu ya? Jadi belum bisa dapat dukungan?}

{Of course nggak Dis. Kita memang kenal, tapi sebagai pengusaha aku wajib mikiran kualitas produk kamu dan keuntungan yang akan aku peroleh}

{Iya iya aku tau. Tapi aku gak kecewa-kecewa banget sih, makasih ya udah ngabisin waktu baca proposalku}

{Kamu sampai kapan di sana, Dis?}

{Lama. Aku sampai tahun depan. Memang minggu lalu aku gak bilang?}

{Sorry aku lupa, karena yang keingat muka kamu terus}

{Sinting. Ngeres yang ada isi otakmu}

{eh? Eh? Ini kamu bilangin aku ngeres karena kamu tertarik sama aku atau karena sebab alesan lain? Pria kayak aku ini ya Dis, langsung ngomong kalau mau sesuatu, gak pake nunda apalagi manuver, udah gak jaman. Jadi gimana? Mau jadi kekasihku ya? Kamu gak perlu repot bikin proposal atau kerja. Ada klinik kakakku yang bisa kamu tempatin setelah internship}

Aku kembali tertawa saat mendengar ucapan Randal.

{Emoh. Usaha dulu dong. Masa segitu aja usahamu}

{Eh, Dis, usiaku udah tua, udah gak bisa niru ABG atau pria di jamanmu yang ngajak hubungan pake kode kode di sosmed}

{Kamu idupnya di jaman apa emangnya?}

{Gak perlu aku jelasin kamu udah tahu. Intinya gitu. Aku males ribet apalagi menjalani hubungan sama wanita ribet yang hobby ngurus kuku tiap hari selama berjam-jam, kamu bisa bayangin ada wanita normal ngurusin warna kuku dan gonta ganti? Oh tidak. Aku gak bisa Dis.}

Tawaku meledak. Randal selalu enak untuk diajak diskusi.

{Ini baru soal kecil. Kamu bayangin tiap malam aku harus diminta memilih baju apa yang cocok buat mereka pake, jemput salon tiap hari. Aarrggg yang ada aku bukan Bahagia, stress}

Entah apakah Randal sadar dengan ucapannya. Namun aku tahu benar siapa keluarga Randal. Jika keluarga Bu Sinan saja mustahil menjadikanku keluarga, apalagi keluarga seperti Randal. Lain halnya dengan Yuda. Kehidupan kami setara, kami sama-sama berasal dari kaum menengah kebawah yang berhasil bertahan lalu memanen keberhasilan. Akhirnya ku tutup panggilan Randal dan memeriksa pesan lainnya. Kebanyakan pesan spam dan obrolan dari grup alumni sekolah dan kampus. Ada juga grup paguyuban artis yang membuat jadwal ke Thurkiye dalam waktu dekat. Aku menolak beberapa ajakan dengan sopan sebelum akhirnya menyiapkan diri menuju rumah sakit.

Pukul empat sore saat Deta akan membantuku menutup pintu rumahku dan aku bersama Okta bergegas menuju rumah sakit, Barata mencegatku.

"Mbak ada obeng nggak?"

"Ha? Obeng? Gak ada Mas. Maaf ya. Coba di tempat lain."ucapku setengah terkejut

"Oke Mbak. Kalau nomor WA?"

Mataku membola. Kemarin aku memang hanya memberikan nomor WA pada Stenly. Memangnya Barata gak masuk grup penyewa? Deta dan Okta kompak tertawa.



=======•========

Jika ingin baca cepat pilihan kalian ada di dua aplikasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika ingin baca cepat pilihan kalian ada di dua aplikasi. Senyaman kalian aja mau baca di mana.

Apakah di KBM atau karyakarsa.

yours
Emeraldthahir

Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang