Bab 33

2.8K 273 8
                                    

Bagian 33

Aku sampai di rumah disambut dengan begitu banyak perhatian dari seluruh kerabat yang telah memenuhi rumah. Sudah sejak lama jika di rumah akan diselenggarakan hajatan maka para keluarga yang berasal dari luar kota pasti berdatangan. Tak terkecuali keluarga Bapak dari padang. Sebagian tinggal di penginapan yang berada persis di sebelah rumahku, Sebagian lagi memilih tidur di lantai dua. Ada tiga kamar kosong di atas termasuk kamar Sunan juga Sasran. Namun hanya kamarku dan kamar Sunan yang tidak tersentuh.

Anehnya saat aku datang keadaan Ibu membaik. Ia jadi bisa menyambut dan memelukku. Senyumnya seperti wanita yang sedang menunggu berita bahagia dariku.

"Mana dia? Kenapa tidak sekalian kamu bawa?"Ibu langsung menanyaiku saat aku berada dalam kamarku.

"Besok, Bu. Dia juga pasti akan datang. Akad nikahnya kan di rumah ini. Kata Hans semuanya sudah siap kan? Akan ada saksi dari instansi juga yang datang besok. Aku hanya mengundang beberapa kolega, gak sampe dua puluh yang datang. Sultan harap Ibu menjamu sekadarnya saja. Namun soal berapa orang yang Disa undang, entahlah. Aku belum diberitahu. Coba ibu telpon dia ya."

"Ibu udah siapin jamuan buat seratus orang, termasuk dengan semua keluarga kita. Orang KUA juga udah diurusin, besok datang jam Sembilan pagi. Kapan kamu mau beritahu adik-adikmu?"

"Malam ini Bu, tunggu Sasran sama Sunan, mereka datang sejam lagi. Tadi Sasran udah bilang kalau dia udah di bandara. Sunan juga udah Klaten berkendara dari Jakarta,"jelasku pada Ibu.

"Tengah malam nanti, bagian dekor kamar juga akan mulai merias kamar kamu. Mau yang gimana Nak? Atau coba telpon Disa, dia mau dihias gimana kamar ini?"

"Tidak perlu Bu. Dia nurut kata Sultan. Cukup seperti biasa aja, seprei putih dengan hiasan sederhana. Tidak perlu berlebihan, lagipula resepsi di Luwuk persiapannya juga pasti kurang lebih sama, jadi tidak perlu berlebihan di sini,"jelasku beralasan.

"Tapi yoo... tetap saja ibu nggak enak kalau dibandingkan dengan persiapan nikahan Sidni, kalau bude-budemu komentar, tante dari pihak bapakmu pie?"

"Ya ibu bilang aja, kalau Sultan dan Disa yang mau, biar mereka tdak banyak koreksi."

"Ya udah kalau gitu. Kebaya putih semuanya udah siap, Disa tinggal datang saat akad di laksanakan. Seperti arahan kamu dan penjelasan Hans. Yang utama akad nikahnya aja."

"Nah ibu udah paham, jadi mulai sekarang hilangkan kekhawatiran ibu yang berlebih, serahin semua sama Sultan. Ibu cukup fokus pikirin Sidni. Di panggung nanti pakaian Sultan saat dampingin ibu udah disiapin? Minta asisten rumah kita bawa ke kamar biar Sultan coba beskapnya, jadi missal ada yang gak cocok bisa dituker."

"Uwis aman. Kamu istirahat aja, biar besok fit. Nanti setelah kamu ngomong sama adek-adekmu, kamu langsung istirahat ya, tidak perlu begadang dan segala macam."

Ibu pergi setelah menyelesaikan waktu tiga puluh menit dengan ceramah panjang. Aku hanya bisa mendengar dengan sabar sembari memeriksa lemari besar milikku yang ternyata separuhnya sengaja dikosongkan. Ternyata Ibu menyuruh ART untuk mengaturnya sedemikian rupa agar masih menyisakan space kosong untuk baju Disa. Aku tertawa dalam hati. Entah apakah ini keputusan yang tepat namun yang aku sadari sebenarnya ini adalah tindakan nekad. Andai Sasran dan Sunan tak perlu terpikat sama wanita itu tentu semuanya tidak perlu seperti ini.

Pukul delapan lebih saat semua keluarga berkumpul. Kecuali Sastri yang baru tiba dari Turkiye besok siang karena baru bisa mendapatkan rute penerbangan yang kosong di hari itu. Aku masih berdiri di depan para saudara dan semua keluargaku yang sedang menunggu pengumumanku saat Sunan mulai bicara.

"Sepertinya ini keputusan yang sangat berat sampai Abang sendiri terlihat tidak yakin dengan keputusan Abang."

Ah. Apakah aku pernah bilang jika Sunan memiliki kemampuan membaca layaknya pakar ekspresi? Dia seolah bisa menerka sesuatu hanya dengan menebak ekspresi wajah seseorang. Apakah sejelas itu?

"Ayo Pi, Silvi udah gak sabar,"Potong Silvi.

Dalam ruangan ini hanya Sidni yang terlihat diam dan mengangkat jempol untukku. Seolah dia mendukung apa yang akan aku katakana. Terlihat Ibu sibuk dengann sesuatu di tangannya saat Sastra adikku yang ke dua berbisik padanya. Ya Tuhan, semoga ini keputusan yang benar. Tampak beberapa sepupuku juga ikut serta dalam pertemuan keluarga malam ini. keluargaku yang lain memilih dapur dan ruangan belakangan sebagai tempat bergosip sembari menyiapkan menu untuk besok hari.

"Besok seperti yang kalian tahu, abang akan menikah dengan wanita pilihan Abang. Memilih dia bukan tanpa alasan. Abang membutuhkan dia mendampingi dan melakukan banyak kegiatan social. Profesi dia cocok dengan kriteria abang dalam mencari istri, Ibu menyetujui, jadi tidak perlu pikir panjang."

"Cantik Bang? kenapa gak dikenalin ke kita dulu, jauh-jauh saya ijin ninggalin Qatar, jadi kapan? Fotonya juga bisa,"Sasran menyela

"Kalau cantik sudah jelas, gak mungkin pria kayak Sultan mau wanita jelek," Sastra adikku yang kedua menyeringai. Dasar iblis. Masih untuk boroknya tidak saya buka di depan ibu. Kuhadiahi dia kepalan tangan dari jauh sebagai tanda keberatanku.

"Jangan fokus ke cantik, mari fokus ke orangnya, dia gak akan begini kalau orangnya bukan orang yang kita kenal, jadi jawabannya calon yang membuat wajah kakak tertua kita kusut seperti ini, adalah....."Sanggah Sunan.

Aku menarik napas. Melirik Ibu yang sedang tersenyum padaku. "Jadi.... Wanita yang akan mendampingiku besok adalah wanita yang sebenarnya sudah kalian kenal. Aku yang pertama membawanya ke rumah ini. ya.. Dia Disa. Gladisa Dara Hendra adalah wanita yang besok akan kunikahi."
Suasana sunyi. Hanya Sean, si anak yang kini telah remaja itu yang terlihat meloncat kegirangan dan kemudian kelauar melalui pintu samping. Sunan terlihat menunduk. Sastra mengacungkan dua jempol padaku. Lalu? Sasran? Dia menatapku tanpa kedip. Jangan tanya ekspresi semua sepupu dan beberapa tanteku yang melihatku dengan pandangan tidak percaya. Namun Sidni memasang senyum bahagia untukku kemudian berjalan memeluk serta mendoakan kebahagiaanku.

Hingga beberapa menit berlalu tak ada sanggahan maupun bantahan. Satu persatu mereka pamit permisi dan mengatakan memiliki pekerjaan lain. Irma dan tiga sepupu lainnya berdecak dan seketika sibuk dengan ponselnya. Entahlah. Aku tidak mau tahu apapun. Lalu tersisa tiga adikku dan Silvi yang menunjukkan gelagat jika mereka masih perlu penjelasanku lebih lanjut.

"Abang tidak mungkin serius,"Sunan menyela.

"Ini tidak mungkin,"Sasran mulai berdiri dan menahan sebelah tangannya dipinggang.

"Im serius....."Sastra bersenandung.

"Aku suka Disa. Kalau Papi Sultan kupanggil Papi or Daddy, artinya besok dia kupanggil Mami dong ya?."celutuk Silvi sambil menunjukku

"Of course. Terserah kamu Silvi,"jawabku tenang.

"Coba jelasin ke kami Bang, kenapa bisa ini kejadian? Belum dua bulan aku berkunjung dan kamu masih menasehatiku tentang pilihanku? Ini... ini apa sebenarnya?"

"Hhmmm ini keputusan kami berdua, Sasran. Aku juga tidak tahu kenapa semuanya bisa seperti ini, hingga kami kemudian mengambil kesimpulan untuk membangun rumah tangga,"jelasku. Lalu kulihat wajah Sunan menatapku intens. Dengan kacamatanya aku tahu jika dia sedang menilaku.

"Apakah Abang menghamilinya?"Suara Sunan terdengar nyaring. Hingga membuatku menutup mata. Sudah pasti telinga orang yang lalu Lalang mendengarnya.

Whats? Ingin rasanya aku tertawa mendengar lelucon menyedihkan malam ini.. Namun saat aku akan menyanggah, terjadi keributan di dapur. Lalu terlihat Sean keluar dari sana membawa sebuah piring dengan berbagai macam kue tradisional di atasnya lalu kemudian mengambil salah satu kuenya lalu memakannya di depanku. Namun kalimat selanjutnya yang dia katakan membuatku serasa ditampar.

"Om Sultan beneran making love sama Mbak Disa? Gimana rasanya Om?"

Ya Tuhan Ampuni aku.

Jodoh Beda UsiaWhere stories live. Discover now