Bab 47

2.7K 252 6
                                    

Tersedia di display google playbook malam ini pukul 22.00. Cari namaku : emeraldthahir.
Bab 185 bab plus tambahan 7ribu kata+8 extra Part.
Cetaknya ready minggu depan. Hanya tersisa 20 bijik harga 250rb seribu halaman lebih.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Bagian 47

Malam menjelang saat aku baru saja selesai membantu proses kelahiran normal. Ada tiga pasien yang pecah ketuban dalam waktu bersamaan. Aku harus membagi diri dan memastikan semuanya tertangani dengan baik. Jika Pasien tanpa penyulit biasanya aku bisa menangani dengan baik. Namun saat menyaksikan lagi proses kelahiran normal membuatku selalu takjub. Takjub bagaimana sebuah kehidupan keluar dari lubang kecil lalu kemudian bernapas hingga menangis.

Meski sejak dulu aku selalu bertanya-tanya apakah saat kelahiranku, ibu juga merasakan Bahagia? Apakah ibu menginginkanku? Hingga saat ini aku tidak tahu keberadaan kuburan ibu yang kata ayahku sudah meninggal sejak belasan tahun yang lalu.

Kuraba lagi cakaran pada lenganku yang sudah mengering. Kini menyisakan goresan dengan noda darah yang hampir mengering. Saat malam tiba saat seluruh situasi aman, dan Dr. Angkasa telah pulang, jam dua belas malam aku juga ikut pulang. Ada baiknya menjadi dokter internship senior. Para junior yang melihatku dengan tatapan memuja memberikanku waktu untuk menikmati masa-masa bulan madu.

Berbicara mengenai Bang Sultan aku sampai belum sempat meminta ijinnya untuk bisa melakukan pengambilan konten bersama Yuda. Namun sedikit banyak aku sedikit yakin jika dia pasti mengijinkanku asal ditemani oleh Hanan atau Qodril. Maka saat aku tiba di rumah dan melihat Bang Sultan duduk bersandar di punggung ranjang, saat itulah aku tahu jika saat sekarang ini adalah saat yang tepat untuk meminta ijin. Tumben-tumbenan dia belum tidur padahal udah mau jam dua pagi gini. . Kami bertatapan sekilas saat aku mengganti pakaianku tepat di depannya. Kupikir malu bukan lagi kosa kata yang ada dalam kamusku. Toh dia adalah orang yang seharusnya melihatku dalam keadaan apapun. Lagipula aku sangat yakin mau se seksi apapun. Pria beton itu tidak akan berani menyentuhku.

Apakah mungkin karena hal ini yang membuatku penasaran hingga terus menerus menggodanya? Segera aku masuk ke kamar mandi dan memastikan seluruh tubuhku bersih sebelum naik ke tempat tidur.

"Bang besok pagi Disa ada kegiatan pengambilan konten sama Pebulu tangkis Yuda tinggardi, Disa minta diantar Hanan atau Hanz bagusnya?."tanyaku sembari mengeringkan wajah memakai lotion lalu pelembab wajah yang terletak di atas nakas. Kemudian bersiap tidur di sampingnya.

Tak ada jawaban.

"Bang... besok..Disa mau pengambilan konten. Yuda Tinggardi udah ada di Luwuk. Aku bagusnya pergi sama siapa?"tanyaku sekali lagi

Masih tak ada jawaban.

"Abangg...."suaraku mulai meninggi satu oktav.

"Hmmm...."

"Disa perginya sama siapa besok?"

"Hans."

Kulirik dia yang sibuk dengan buku di tangannya. Sebagus apa sih buku itu. Apa lebih bagus ketimbang aku yang pake baju tidur minimalis transparan begini?

"Kenapa kalau Hanan?"

"Dia besok menemani aku ke Papua."

"Oh...."

Tunggu. Hah? Papua?

"Ih.... Abang ke Papua? Kapan ngapain?." Kurasa aku mulai panik.

"Tugas. Operasi khsus. Hanya empat hari. Jadi kemungkinan resepsi fix mundur minggu depan aja. Aku sudah bilang sama semua keluarga. Namun jelas Sasran karena harus terbang tidak akan bisa datang."

"Kenapa abang baru kasih tahu Disa?"

"Ya ini aku kasih tahu."

"Abang kasih tahu karena Disa yang tanya,"bantahku.

"Hmmmm.."

"Apa seserius itu?"

"Iya. Ada dua dandim yang pergi dalam sekali operasi serta tentara satuan khusus. Kali ini giliranku."

Aneh rasanya bagi hatiku. Karena aku merasakan sesuatu yang membuat dadaku sakit. Aku seolah tidak ingin dia pergi.

"Jam berapa abang pergi?"

"Subuh jam enam udah harus dibandara."

"Itu artinya empat jam lagi bang? ya Tuhan. Abang mau Disa buatin makanan atau teh atau apa sebelum pergi?"

"Gak perlu."

"Barang-barang mau Disa aturin?"

"Udah."

"Makanan, atau butuh apa Bang?"

Aku lupa kalau pria di sebelahku ini sejak dulu selalu mandiri dalam mengurusi dirinya sendiri tanpa bantuan. Bu Sinan selalu memuji kemandirian Bang Sultan dalam berbagai hal. Namun saat mata kami bersiborok aku seolah tahu jika dia ingin mengatakan sesuatu. Apa sih maunya? Sebenarnya kenapa sih manusia ini? Aku sama sekali tidak bisa menebak kemana kemauannya berpijar. Kalau aku disuruh nebak isi pikirannya jelas gak mungkin.

"Gak butuh apapun. Aku hanya menagih janji."

"Janji apa Bang?"

"Apa perlu aku ingatkan?"kali ini suaranya sangat pelan. Seolah dia takut ada telinga yang mendengar. Kenapa sih pria ini?

"Ya perlu Bang. kalau Disa lalai ya ingatin. Coba ingatin Disa."

"Janjimu kalau aku mau live terus kamu akan... apa itu..."

Mataku membola lalu tertawa. Kutatap dia dengan pandangan memicing. Aku lalu turun dari ranjang dan berkacak pinggang menghadapnya.

"Oke. Malam ini Disa bakalan bikin Abang senang puas."kataku sembari mendekati sebuah kardus mini lalu membawanya kemudian menaruhnya di tengah ranjang kami. Aku mendengar dehaman berkali-kali dari bang Sultan.

Kenapa sih dia?

"Itu..itu.. apa..."

"Oh ini bang. beberapa alat yang bakalan bantu abang dan aku main sampai puas."

"Hmm.. apa seperlu itu?"tanyanya namun dengan nada bicara yang belum pernah kudengar

"Oh iya dong. Ini perlu."

"Padahal biasa aja juga bisa kok. Tapi kalau kamu siapnya seperti itu ya, silahkan."

"Pokoknya Abang terima beres aja,"sahutku dengan senyum menggoda lalu mulai naik ke ranjang dan duduk tepat di depan kardus.

Kali ini sikap Bang Sultan sangat berbeda. Dia terlihat salah tingkah. Apalagi beberapa kali dia mencuri pandang. Seolah taku kepergok melihatku.

"Abang suka Hitam atau Putih?"

Kembali tidak ada jawaban.

"Abang...."

"Hmmm..."

"Abang suka hitam atau putih?"

"Terserah kamu saja."

"Oke kalau gitu abang warna hitam ya. Disa putih. Disa atur dulu semua biduk catur-catur ini. Setelah kita main catur baru kita main ular tangga. Ini mainan ular tangga seri terbaru buat pasangan Bang. jadi Abang gak bakalan bosan."

Lalu tiba-tiba Bang Sultan menaruh buku yang dipegangnya diatas nakas hingga menimbulkan suara.

"Yang kamu maksud mainan itu ini?"

"Iya Bang. Abang pikirnya apa?"

"Astaga Disa."

"Kenapa Bang?"

"Ambil semua mainan kamu, aku mau tidur."

Hilang semua suara lembut yang kudengar tadi. Kali ini sikapnya kembali dalam mode beton. Ih... dasar pria. Entah apa maunya. Udah dikasih obsi menyenangkan.

"Bang... padahal nih ya, mainan ular tangga ini kalau abang lihat bener-bener bakalan bikin Abang happy."

"Alah... kamu pikir aku anak kecil? Mainanku saja udah ular beneran DIsa. Bukan ular mainan,"serunya dengan suara tinggi.

"Ini itu... mainan ular tangga buat pasangan pengantin baru Bang. Liat aja kalau kita turun tangga masa yang kalah wajib buka baju, terus kalau ketemu ekor ular yang kalah wajib cium yang menang di bibir, terus kalau lebih dulu sampai di tujuan, yang menang bebas ngapain yang kalah. Ah... karena Abang udah mau tidur, ya udah.... gak jadi kalau gitu. Padahal seru banget permainan ini."

Kataku berpura kecewa. Lalu menurunkan kardus itu dan meletakkannya di tempat semula. Namun saat aku berbalik dan berniat kembali ke ranjang posisi Bang Sultan kembali duduk.

"Bawa ke mari mainan ular tangga itu. Kita main satu putaran."

==========

Terima kasih karena sudah membaca cerita ini hingga sampai di Bab ini ya.

Jodoh Beda UsiaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt