Bagian 52

3.4K 305 13
                                    

Bagi yang mau baca karya ini hingga tamat dan lengkap, ada 2 obsi. Bisa ke Google play, atau cetaknya seharga 250rb langsung kirim sorw ini. Masih ada stok 12. Di google play juga sedang terlaris satu. Silahkan milih sesuai kondisi dompet.

Terima kasih.

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
Bagian 52


Ada angin yang berhembus memasuki sela-sela kaca hingga ikut menerpa wajahku. Malam telah menunjukkan pukul dua belas malam namun tidak dengan para ibu PERSIT yang sedang memeluk dan menangisi kedatangan anggota keluarganya. Ada haru kesyukuran hingga rasa bangga yang tak terkira sampai padaku hanya dengan pandangan mata saat menyaksikan luapan rasa Bahagia mereka.

Langkah para anggota TNI yang menerima pelukan dari keluarga mereka terlihat tegap meski telah menghadapi sesuatu yang hampir mengancam keselamatan nyawa mereka. Aku sulit mendefenisikan perasaanku sendiri. Lalu perasaan berdebar menunggu. Tanganku basah. Aku lumayan salah tingkah. Sebelumnya aku tak pernah merasa seperti ini.

Aku melihat Bang Sultan masuk. Langkahnya tegap, penuh wibawa seperti biasa. Jabatan tangan diterimanya dari berbagai penjuru. Baik dari para ibu PERSIT hingga para tentara yang tidak pergi. Lalu hanya beberapa menit seolah sebuah jalan terbentang untukku. Aku maju perlahan selangkah demi langkah. Bang Sultan juga ikut melangkah menghampiriku. Kami bertemu di tengah.

Tangisanku tumpah tanpa suara. Air mata mengalir melewati sudut-sudutnya. Aku tahu dia melihatnya. Namun tangannya yang kembali mengelus kepalaku berkali-kali membuatku yakin jika perasaanku berkhianat. Tunasnya tumbuh bermekaran hingga memenuhi seluruh rongga juga hatiku. Rasanya ternyata sesakit ini mencintai seseorang yang tidak akan mungkin membalas perasaanmu. Aku kesulitan bernapas dan segera memeluknya. Kali itu tangisku pecah dengan suara. Aku menangis

Butuh waktu semenit bagiku tenang dan menerima pemberian Tisu dari Hans. Karena malu selanjutnya aku memilih menyembunyi wajahku sambil mendengar dia memberikan pengarahan bagi semua orang yang ada diruangan. Suara baritonnya lantang dan penuh penekanan. Namun bagiku menenangkan. Saat diberi kesempatan bicara aku menggunakan itu dengan sebaik-baiknya serta berterima kasih pada para Ibu PERSIT yang tetap tabah dan mau menunggu informasi resmi dari pemerintah.

Aku yang lebih dulu pulang ke rumah Dinas dan berjalan bersama Hanan juga Qodril karena tempat tinggal mereka persis di belakang rumah yang aku tempati bersama Bang Sultan.

"Kalau ibu lihat bagaimana Bapak membawa ibu hamil itu dari lereng yang curam, ibu pasti gak percaya, kami saja tidak yakin bisa sampai di pemukiman penduduk tepat waktu karena perut si ibu sudah sakit."

Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Oh iya Bu, ini tadi dari Bapak, dia minta ponselnya di cas."

Aku menerima tanpa komentar.

"Kalian sudah makan?"

"Sudah bu. Dua kali malah. Besok siang Bapak dipanggil langsung oleh Presiden jadi kemungkinan Ibu juga harus mendampingi."

"Hah? Mendampingi?"

"Loh? Ibu pasti tahu kalau kegiatan resmi apapun sifatnya selain tugas milter Istri diwajibkan mendampingi, penghargaan kali ini tidak main-main karena bapak berhasil membuat peta langsung menuju tempat persembunyian organisasi ini."

Aku tahu tentang itu. Namun mendengar jika besok kami harus bertemu presiden membuatku tidak percaya.

"Semua anggota TNI yang pulang hari ini akan hadir, Bapak adalah pimpinan, aku yakin Bapak akan menerima penghargaan tinggi dan mendapatkan kenaikan pangkat karena sejauh ini bapak sudah banyak menerima Satya Lencana."

Hatiku masih nelangsa. Aku bahkan mengutuk diriku sendiri yang menangis tersedu di dadanya tadi. Saat tiba di rumah aku segera membersihkan tubuhku lalu menyiapkan makanan. Meski aku tahu Bang Sultan telah makan, tetap saja aku harus menyiapkannya, jadi tengah malam ini aku telah menyiapkan dua porsi Mie kuah dengan campuran sayuran serta suiran daging ayam yang telah kuramu sedemikian rupa melalui bahan-bahan yang kutemukan di kulkas.

Jadi saat mi itu telah siap aku lebih dulu mencicipinya, dan sangat tidak menyesal telah memutuskan memasaknya. Jujur aku sulit menikmati makanan selama hampir Sepuluh hari kepergian Bang Sultan. saat porsi mi yang kumakan tinggal separuh aku mendengar bunyi pintu terbuka lalu menutup dari pantri. Aku tahu jika itu Bang Sultan.

"Aku mandi dulu,"ucapnya tanpa ditanya lalu masuk ke kamar.

Aku masih diam di tempat dan merasa aneh dengan atmosfir yang baru saja terjadi. Entah kenapa aku merasa debaran di dadaku makin sulit kukendalikan. Lima belas menit kemudian Bang Sultan duduk di hadapanku dengan hanya mengenakan kaos putih dan celana pendek abu. Tak lama dia lalu mulai menyuap sesendok demi sesendok mie ke dalam mulutnya. Aku lalu menyuguhinya segelas air putih dan jahe hangat.

Perasaanku sangat nyaman saat melihatnya makan dengan lahap hatiku tiba-tiba saja di dera rasa Bahagia yang sulit kujabarkan. Wajahnya masih seperti biasa, namun banyak bekas goresan di pipi hingga di kulitnya. Pasti masih banyak di bagian betis hingga kaki. Aku sempat melihat celana yang dikenakannya memiliki sobekan di beberapa sisi.

"Besok kita ke Jakarta Pagi-pagi."

Ucapnya seraya menghabiskan seteguk demi seteguk air jahe hangat.

"Iya, tadi Hanan sama Qodril bilang."

"Jam enam udah harus siap, pesawat berangkat jam tujuh tiga puluh, balik siangnya."

"Iya Bang."

"Bagaimana keadaan rumah saat aku tiada?"

"Baik. Tidak ada yang serius,"jawabku sambil lalu, kemudian masuk ke kamar lebih dulu. Tujuanku adalah kotak obat di lemari. Saat aku mengambilnya dan membawa ke meja makan kulihat Bang Sultan telah menghabiskan seluruh makanan juga minumannya

Tanpa aba-aba aku langsung menarik kursi mendekatinya dan menyentuh tangannya. Memeriksa beberapa luka kemudian mulai mengolesnya dengan teliti menggunakan cotton buds. Lalu kulanjut berjongkok memriksa kaki hingga wajahnya. Saat wajahnya tepat di dadaku dan matanya menatapku tanpa kedip, hanya Tuhan yang tahu bagaimana rasanya jantungku akan keluar dari tempatnya. Untung aku tidak banyak makan dan sempat mengolesi tangan dan semua tubuhku dengan lotion meski lupa memakai parfum.

"Apa di wajahku banyak goresan? Kamu terlalu lama memeriksa, kenapa? Rindu ya?"

Mulutku membola selama beberapa detik.

"Abang gak usah kegeeran. Siapapun di posisi Disa juga pasti kawatir kalau dihadapkan pada situasi yang sama."kilahku lancar. Kuharap aku bisa menguasai keadaan. Aku hanya berdoa dalam hati semoga kegugupanku tidak terbaca agar aku sedikit bisa memiliki wajah.

"Bajuku sampai basah sama air matamu."

Hah sudah kuduga dia akan membahasnya. Ini memalukan.

"Aku tidak menyangka kamu akan sekuatir itu. Apa yang kamu takutkan?"

Jangan harap dia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan setelah membuatku tidak napsu makan selama berhari-hari. Tidak pernah menghubungiku apalagi menelponku. Dia hanya menghubungi Hans dan Hans. Bahkan saat mau pulang ke sini, Hans juga yang dia cari. Kenapa tidak sekalian Hans saja yang dia kawini?

"Udah bang, Disa capek mau tidur. Besok kita wajib bangun pagi,"elakku kemudian lebih dulu masuk kamar dan membawa kotak obat milikku. Tapi aku benar-benar lelah, mungkin karena beberapa hari terakhir aku habiskan dengan menangisinya.

Setelah aku menaruh kotak obat lalu mematikan lampu dan berbaring, aku melihat Bang Sultan masuk kemudian menutup pintu dibelakangnya, ingatan kejadian Sembilan hari yang lalu sebelum dia berangkat hinggap di kepalaku. Ingatan kami berdebat dan dia menghimpit dan menciumku kuat-kuat. Aku bergidik. Entah kenapa aku merinding. Refleks aku berbalik membelakanginya dan menutup tubuhku dengan selimut.

"Disa...."

panggilannya menimbulkan badai di perutku. Mati aku.

Jodoh Beda UsiaWhere stories live. Discover now