Markas Rahasia

48 20 79
                                    

"Kita harus balik lagi ke hutan itu, kalau hari sudah mulai terang." Ryo masih menghawatirkan Jekey.

"Kemana dia?" gumam Hana dengan air wajah gelisah.

Tiba-tiba Rian mengeluh, "Apa gak sebaiknya pulang dulu Bang? Celana gue robek semua..." dengan irama pelan dan hati-hati, Rian menyuarakan isi hatinya.

"Seharusnya lo bisa profesional dalam bekerja Ian! Gunakan sedikit logika, mana ada hantu yang bisa membunuh!"

"Namanya juga takut Bang... Mana sempat lagi mikirin logika," sungut Rian, "Abang seharusnya menghawatirkan pantat adiknya yang sudah baret-baret ini..."

"Syukur lo gak gue lemparkan ke si Kunti itu! Ah iya, perkara pantat lo, anggap aja itu pelajaran buat lo!"

Rian mengegrutu dengan gumaman, "Giliran gue yang sengsara dia malah nyuruh gue memetik pelajaran. Tapi giliran dia yang diambang kematian gue gak pernah nyuruh dia belajar."

Hana mengikik geli mendengar gerutuan adik iparnya yang diabaikan oleh Ryo.

Sementara Alexa hanya menatap kosong kearah bukit sambil menghisap rokoknya. "Kenapa kamu tega menyemprotkan asap beracun itu Ren?" Dada Alexa mulai terasa sesak.

"Gue merasa pusing..." keluh Doni, ternyata dia juga menerima imbas dari asap tersebut.

"Jadi gimana?" tanya Hana kepada Ryo, mereka berdua tidak terlalu berdampak akibat asap tersebut karena posisi mereka yang lumayan jauh dari pusat semburan.

Ryo menghembuskan napas berat, "Kita pulang aja, gue yakin Ren pasti bakal pulang kerumah." Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang.

Untungnya kondisi itu tidak terlalu parah sehingga bisa diatasi dengan perawatan mandiri oleh Hana. Berdasarkan pengalaman Alexa yang pernah keracunan, Hana memberi air kelapa muda dicampuri lemon yang di ambil Doni dan Cakra dari kebun milik warga sekitar.

"Kok Big Bos belum pulang juga?" Cakra terus memandang ke arah pagar.

"Gue rasa dia bener-bener kelimpungan nyariin Alexa," sahut Doni.

Lalu Cakra kembali bertanya, "Kalau terjadi apa-apaan gimana? Mereka 'kan gak hapal tempat itu?"

Ryo hanya bergumam, "Ren bukan orang sembarangan, hutan itu gak akan mudah menaklukan dia."

"Lo bener, dia gak akan mati di hutan itu!" lirih Alexa, kemudian menyerapah dalam hati, "Tapi dia bakal mati ditangan gue!"

Rasa kecewa Alexa telah melampaui batas melebihi kekecewaan yang pernah dia rasakan terhadap pemuda itu. "Seharusnya gue gak mempercayai dia begitu aja. Apa ini yang dia maksud gue gak pernah melihat seberapa kejinya dia. Sekarang gue bener-bener paham apa maksud dari ucapannya itu." pikirannya terus berteriak.

Dendam yang kini menyelimutinya, melalap habis semua rasa yang baru saja dia hidupkan kembali untuk Jekey.

Sampai malam kembali, Jekey tak kunjung menampakan batang hidungnya. Keadaan itu membuat mereka semakin khawatir.

"Kita harus gimana sekarang?" tanya Doni, "Apa kita kerahkan seluruh warga untuk membantu?"

"Jangan!" jawab Alexa cepat, "Terlalu banyak korban nantinya. Gue yakin dia pasti baik-baik aja...."

Tak lama Abi datang bersama Ayah Ningsih. Mereka tercekat melihat kedatangan pria paruh baya yang tengah mencalonkan diri sebagai Kepala Desa yang baru untuk menggantikan Ayah Cakra.

"Sejak kapan hilangnya, Pak?" tanya Ryo ketika mengetahui Pria itu datang untuk mencari Ningsih.

"Tadi siang, Mas... Dia izin mau ke tempat nak Sandra. Tapi sampai sekarang dia gak pulang-pulang...."

"Kami seharian melakukan penelusuran jadi belum bertemu Ningsih, Pak."

"Gimana ya...?" keluhnya dengan raut wajah sedih.

Doni menyerobot, "Bapak sudah cari ke rumah Wahyu? Biasanya Ningsih suka jalan bareng dia."

"Si Wahyu juga gak ada...."

Alexa hanya terdiam, bibirnya terasa keluh. Dadanya bergemuruh, sorot matanya terjun lurus kebawah. Tubuhnya tersandar di sofa namun pikirannya bergejolak.

"Yang aku tau Ningsih sama Wahyu mau pergi ke hutan nyusul kalian. Tapi aku gak bisa ikut karena harus cari Bapak. Sepertinya mereka memang ke hutan."

"Jadi saya harus bagaimana?" keluhnya, "Penduduk gak ada yang mau bantu saya masuk ke hutan terlarang itu..."

"Begini saja Pak," Ryo kembali menanggapi keluhan Ayah Ningsih, "Besok kami akan melakukan pencarian ke hutan, mana tau Ningsih dan Wahyu tersesat."

Pria itu kembali mengeluh, "Apa gak bisa dilakukan sekarang?"

Alexa menegakkan tubuhnya, matanya mendelik tajam ke pria bernama Jono tersebut. Lalu berkata dengan nada menekan, "Kenapa gak bapak aja yang masuk kesana sekarang?"

Hana bergegas menarik tubuh Alexa, "Ah maaf Pak! Sandra lagi mengalami dehidrasi yang lumayan berat. Jadi kami belum bisa bergerak malam ini."

"Ya sudahlah, saya berharap Ningsih tidak dalam bahaya..."

Alexa bereaksi dengan ejekan sinis, "Ucapan adalah Doa...!"

Ada secarik kebencian di hati Jono melihat sikap santai Alexa, ingin rasanya dia memaki. Tapi dia hanya memiliki mereka sebagai harapan satu-satunya. Dia pun pulang dengan diantar Abi.

Alexa sudah tak lagi memikirkan untuk menghargai perasaan orang lain ditengah gempuran rasa sakit di hatinya saat ini.

Sampai pagi menjelang Jekey benar-benar tidak kembali.

"Kita telusuri sampai ke segala penjuru!" Seru Ryo.

Kali ini Ryo mengerahkan semua pengawal di rumah Jekey. Berbekal persiapan matang, kali ini mereka siap menghadapi berbagai rintangan.

Tak mau membuang waktu Alexa berkata, "Gue tau Ningsih dimana!"

Spontan mereka semua terhenyak mendengar ungkapan Alexa.

"Dimana?"

"Ikut gue..."

Mereka berjalan beriringan mengikuti Alexa, sementara para pengawal di kerahkan untuk mencari Jekey dan yang telah dilaporkan hilang.

Setelah sampai di tempat dimana mereka digempur asap. Beberapa kawanan bandit akhirnya menampakan diri.

"Akhirnya kalian keluar juga bedebah!" Alexa membekuk beberapa bandit dengan tembakan brutal yang telah lama tak dilancarkannya.

Tak ayal Cakra menjerit-jerit melihat kekejaman Alexa. Kali ini gantian dia yang merangkul Rian dengan erat.

"Lo baru tau betapa kejamnya dia?" ujar Rian yang hanya memandangi keganasan gadis yang telah lama vakum dari hobinya membedil bandit.

"Untung aja dia gak sampe nantang Alexa. Kalau gak, mungkin sekarang namanya sudah dikenang sebagai mayat Mister X." Doni menimpali ujaran Rian.

Tak pelak Cakra merasa jantungnya akan meledak, mendengar jerit histeris dari para bandit yang meraung menahan sakit.

Dalam waktu sekejap para bandit amatir itu telah terkapar akibat diterjang peluru Alexa.

"Buang yang mati kelaut!" perintahnya kepada beberapa pengawal yang masih ikut bersama mereka.

Alexa mendekati dua anak buah bandit yang terkapar, "Tunjukan jalan ke markas kalian, kalau kalian mau gue ampuni!"

"Ba- baik..." jawabnya terbata-bata.

Ryo dan Rian menarik kerah baju bandit itu lalu memaksa mereka berjalan dengan kaki berlumuran darah menuju pintu masuk ke markas tersebut. Sementara Cakra memilih menunjukan jalan menuju laut lepas karena takut menghadapi keganasan Alexa.

Pintu masuk telah mereka dapati, "Anjing! Gue sampe hampir mati di jurang. Ternyata pintunya di sini!" umpat Alexa dengan emosi yang membara.

Obsession Of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang