Bab 54 dunia nyata

527 38 17
                                    

_𝖘𝖊𝖑𝖆𝖒𝖆𝖙 𝖒𝖊𝖒𝖇𝖆𝖈𝖆_

"AAAAAAGH!" Jiwa Natya tersedot, melayang melewati lorong spiral dengan perpaduan warna biru dan merah. Layaknya menaiki prosotan ilusi.

Lorong itu terus menariknya, dan anehnya tidak terlihat ujung dari lorong itu. Seketika, semua pandangannya berubah menjadi hitam, tidak ada warna sama sekali. Satu-satunya yang dapat dia dengar hanya lantunan Al-Qur'an yang dibacakan Omanya.

Suara pintu terbuka terdengar ditelinganya, namun mengapa pandangannya masih gelap? Bahkan Natya tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

"Ma, Bia sudah tidak bisa diobati. Kenapa Mama masih berharap sama Bia?"

Suara lantunan Al-Qur'an tiba-tiba terhenti. "Karena Mama yakin, cucu Mama masih bisa bertahan."

"Sudah tiga bulan ma! Tiga bulan!" Sejenak dia menghentikan kalimatnya, dengan menghela nafas saat kalimatnya tidak mendapat jawaban dari Oma. "Terserah Mama deh!"

Tak lama suara dentingan pintu kembali terdengar, sedangkan Natya masih berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi mengapa tidak bisa? Oh tuhan, tolong!

Lantunan Al-Qur'an yang terhenti kembali terdengar, dan tak lama Natya bisa menggerakkan jarinya, iya! Jari telunjuknya, kemajuan ini tentu membuat jiwanya kegirangan. Dan seketika, lantunan Al-Qur'an itu kembali terhenti.

Tak lama Natya merasakan sentuhan ditangannya. "Nduk?" Suara sendu terdengar ditelinganya.

"Iya Oma, iya." Tapi Natya hanya bisa menjawab dari jiwanya, sedangkan raganya masih terdiam, belum ada perubahan tambahan dari pergerakan jarinya.

"DOKTER!" Teriak Oma sambil menekan tombol didekatnya, guna memanggil dokter maupun suster dirumah sakit.

Tak lama terdengar suara dentingan pintu terbuka. Jangan kaget kalau dokternya cepat datang. Karena Natya sendiri berada diruangan VIP. Jadi wajar, holang kaya mah beda. Beberapa orang memasuki ruangan. Seketika Natya merasakan stetoskop menempel pada dadanya. "Aku sudah sadar! Tapi bagaimana menggerakkan tubuhku? Mengapa aku tidak bisa melihat kalian semua, apa aku buta?"

Saat itu juga dokter Hendrawan, dokter yang merawat Natya selama ini membuka matanya dan meneranginya dengan penlight yang dibawa, guna melihat reaksi pupil dari pasien. Dokter itu melepaskan jarinya dari kelopak mata Natya kemudian meletakkan penlight kedalam saku. "Dia sudah sadar, hanya menunggu beberapa detik untuk melihat perubahan gerakannya."

Tak lama Natya dapat menggerakkan otot matanya, kelopak matanya terbuka secara perlahan. Mendapati warna putih yang mendominasi ruangan. Matanya beralih ke arah wanita tua di samping kirinya. "O-ma." Suara sendu terdengar dari bibirnya.

"Iya nduk ini Oma." Wanita tua itu masih memegang erat tangannya yang tersalur selang kecil.

Dokter dan perawat lainnya pun ikut tersenyum haru. "Oma, sudah bisa saya tinggal?"

"Tapi Bia sudah tidak apa-apa kan dok?"

Dokter Hendrawan tersenyum. "Iya, Bia sudah baik-baik saja. Mari Oma."

Wanita tua itu menjawabnya dengan anggukan, saat itu juga dokter Hendrawan melangkah pergi keluar dari ruangannya diikuti dengan para perawat di belakangnya. Oma mengambil segelas air putih di meja kemudian memberikannya kepada Natya. "Syo duduk! Minum sedikit."

Cahaya Transmigrasi✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang