34. Bukan Orang Yang Dikenal

496 65 6
                                    

Di Minggu kedua setelah kepergian Dikta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di Minggu kedua setelah kepergian Dikta. Dipta dan Aya memutuskan untuk memberitahu hal yang sebenarnya pada Ayah dan Ibu yang kebetulan datang ke rumah mereka.

Awalnya Dipta sangat ragu. Namun, Aya selalu mendampinginya dan kini Dipta akan membuka suara.

“Ada yang mau aku bicarain ke Ayah sama Ibu,” ucapnya dengan nada sangat serius. Sorot matanya menyiratkan suatu hal berat. Dan Ibu bisa menangkapnya. Apalagi napas Dipta yang mulai memberat. Ibu mendekat dan memegang tangan putranya.

“Ada yang menganggangu pikiranmu? Cerita aja ke Ayah sama Ibu. Siapa tau kita bisa bantu kamu.”

“Ini tentang Kak Dikta,” ucap Dipta.

“Dan Aya,” sambungnya sambil melirik ke arah istrinya.

Tatapan Ayah dan Ibu mulai serius. “Coba ceritakan,” suruh Ayah.

“Hilangnya Aya waktu itu. Karena Kak Dikta yang culik dia.”

Tangan Ibu yang semula menggenggam tangan Dipta terlepas.

“Dan Sonia datang menyelamatkan Aya. Tapi, Sonia nekat melepas bom bunuh diri agar Aya bisa lari.” Dipta menunduk dan memberikan surat dari Sonia pada Ibu dan Ayah. Surat berisi tentang rencananya untuk membunuh Dikta setelah berhasil menyelamatkan Aya.

“Kenapa kamu tidak beritahu sejak awal?” tanya Ayah dengan suara berat sangat serius.

“Aku udah curiga dari awal. Tapi, aku nggak punya bukti. Sampai kejadian itu terjadi dan aku menemukan Aya di sekitar Villa,” jawab Dipta.

Air mata Ibu mulai turun. Ia menatap Aya dan menangis. Ibu adalah sosok yang tidak suka menyalahkan siapapun. Walau dibenaknya ia sedikit berpikir bahwa kehadiran Aya termasuk penyebab putranya meninggal.

Namun, melihat wajah menantunya sekali lagi. Ia malah menarik wanita itu ke dalam pelukannya. “Maaf,” ucap Ibu.

Ibu yakin, apapun yang telah terjadi maka memang harus terjadi. Ibu juga tidak bisa menyalahkan siapapun lagi, karena orang yang harus disalahkan sudah tidak ada. Ia tidak bisa menyalahkan takdir yang sudah digariskan.

“Kamu pasti ketakutan waktu itu. Ibu minta maaf atas nama Dikta,” ucapnya sekali lagi.

Sementara Ayah hanya bisa diam. Pikirannya bergelut dan mencoba untuk ikhlas. Mereka selalu mengesampingkan ego dan berpikir serta bertindak dengan kepala dingin.

“Ibu jangan minta maaf. Itu kesalahan Aya. Andai Aya nggak-”

Ibu menggeleng dan mengelus kepala menantunya satu-satunya. “Semua sudah terjadi dan berlalu. Mau sekeras apapun kita menolak, yang terjadi akan tetap terjadi.” suara Ibu terdengar parau.

“Begitu pula jika mau sekeras apapun kita memaksa, yang tidak terjadi maka tidak akan terjadi. Kita hanya perlu ikhlas dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Jika memang ini jalan yang sedang kita lalui, maka lalui saja. Walau memang menyakitkan.” Ibu kembali memegang tangan Aya.

Kanagara Ayadipta [Yerin - Younghoon] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang