09. Hai Janu, Makin Dekat Ya?

32 13 0
                                    

Kepala Renjanu merasakan hantaman yang sangat keras

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kepala Renjanu merasakan hantaman yang sangat keras. "Kenapa buka pintunya kenceng banget, hah?" marah Riana pada Sang Adik. Dia memang sangat khawatir pada keadaan Anjani yang terhantam oleh pintu yang terbuka dengan begitu tiba-tiba.

Renjanu merintih kesakitan, tangan lembutnya segera mengusap bagian belakang kepalanya yang terkena pukulan. "Sakit, Kak," rintihnya pelan, masih merasakan sensasi sakit yang menyebar di kepala. "Ya, mana gue tau kalau Jani ada di situ," jawabnya dengan nada sedikit merengek.

"Harusnya tau lah," ujar Riana tegas, tak mau mendengarkan penjelasan Renjanu. Kemudian, perempuan itu beralih pandang pada Anjani dengan raut yang penuh kekhawatiran. "Jani gapapa kan? Kenapa tadi nggak manggil Kak Ana? Kenapa Jani malah berdiri di depan pintu? Tapi Jani nggak salah kok. Ini salah Janu yang buka pintu nggak hati-hati." Riana melanjutkan dengan berkomentar panjang lebar, seperti biasa. Dan Renjanu, selalu menjadi sasaran kesalahan abadi di mata kakaknya.

Dengan ekspresi lesu, Renjanu mengangguk tanpa banyak berkomentar. "Iya, Janu yang salah," ujarnya dengan nada pasrah, merasa bertanggung jawab atas insiden tersebut. Setidaknya, dia telah bertanggung jawab dalam mengobati luka Anjani.

Anjani, sambil tersenyum lebar, memperhatikan pertengkaran kocak antara kakak dan adik tersebut. "Jani gapapa, Kak Ana. Cuma lecet dikit kok," ujarnya sambil menunjuk plester yang melekat di tengah dahinya.

Namun, tanggapan Anjani malah semakin memicu kekhawatiran Riana. Gadis itu mendesak Renjanu menjauh dari Anjani dan kini berada di hadapan gadis itu. "Ih, kalau ini sampe ada bekasnya gimana? Janu nggak hati-hati banget," komentar Riana dengan nada khawatir.

Renjanu mendapat omelan lagi dari Riana. "Maafin Janu ya, Jani," pinta Renjanu dengan lembut, mendekati Anjani.

Tatapan Anjani berpindah dari Renjanu ke Riana dengan perasaan campur aduk. Meskipun situasinya agak kacau, dia merasa senang karena mereka semua begitu peduli padanya.

Di belakang Riana, Taraka hanya berdiri diam. Meskipun dia tidak banyak berkomentar, dia juga merasa khawatir dan ingin tahu bagaimana keadaan Anjani sekarang.

"Gue juga minta maaf," ucap Taraka tiba-tiba, mengundang pandangan bingung dari ketiga orang yang ada di sana. "Gue nggak tau kalau lo biasanya langsung manggil mereka tanpa perlu ngetuk pintu. Kalau aja gue nggak ..."

"Nggak perlu ngerasa sebersalah itu. Lo juga nggak tau kalau pintunya bakal gue buka," potong Renjanu dengan cepat, ingin menghentikan perasaan bersalah yang mungkin sedang dirasakan oleh Taraka. Dia tidak ingin Taraka merasa bertanggung jawab atas kejadian ini. "Itu Jani juga gapapa," tambahnya lagi, mencoba meredakan situasi.

Ucapan Renjanu mendapat anggukan setuju dari Anjani. "Taraka nggak salah kok. Jani sendiri juga kurang hati-hati tadi," kata Anjani dengan senyuman kecil, memberikan dukungan pada Taraka agar tidak merasa bersalah.

Setelah beberapa saat, suasana menjadi lebih hening. Ketiganya saling menatap, mungkin merenungkan situasi yang baru saja terjadi dan rasa kekhawatiran yang masih melingkupi mereka.

Suasana di ruang UKS terasa hangat di sore hari yang semakin beranjak menuju senja. Anjani sedikit melompat dari kasur di ruangan tersebut, senyum penuh semangat menyapa wajahnya. "Ayo pulang, udah sore," ajaknya dengan semangat yang kembali menyala.

Kini, Anjani terlihat seperti dirinya yang biasa. Tidak lagi terlihat seperti saat di halaman depan tadi, saat dia tampak seperti kehilangan semangat hidupnya.

"Lo pulang arah mana?" tanya Renjanu pada Taraka, memecah keheningan. Pertanyaan ini menyebabkan senyuman aneh terbentuk di wajah Anjani. Senyuman yang menggambarkan rasa senang karena dua orang yang sering dianggap sebagai rival bisa saling berbicara dengan santai.

Taraka menunjukkan arah yang sama dengan jalan pulang mereka bertiga. "Lo sendiri?" tanya Taraka pada Renjanu, dengan rasa penasaran yang jelas terpancar di wajahnya.

"Sama," jawab Renjanu, kemudian dia melirik Anjani. "Lo mau pulang bareng kita? Sekalian nyari makan?" tawar Renjanu dengan ramah.

Ajakan dari Renjanu membuat Taraka merasa bingung. Dia berada dalam dilema antara menerima atau menolak ajakan tersebut. Ini adalah kali pertama Taraka mendapat ajakan untuk bergabung dari teman sebayanya.

Anjani tak mau ketinggalan untuk memberikan suaranya. "Taraka ikut aja," ucapnya dengan senyuman, berharap Taraka mau bergabung dengan mereka.

Riana pun ikut mengangguk setuju, menambahkan suaranya. "Iya, ikut aja deh biar tambah rame."

Perjalanan mereka terhenti tatkala Anjani menepuk-nepuk pundak Renjanu penuh energi, memberi isyarat untuk menghentikan motornya. Dengan senyuman, Renjanu langsung mengerti apa yang gadis itu inginkan. Dia menghentikan motornya persis di depan penjual cimol, salah satu makanan kesukaan Anjani.

Sama seperti bakso Pak Agus, cimol ini menduduki urutan ketiga dalam daftar makanan favorit Anjani. Dan seperti biasa, dia memilih rasa pedas yang sama untuk cimol yang akan dia pesan.

Renjanu melihat Anjani dengan penuh makna saat dia menyadari apa yang sebentar lagi akan terjadi. Gadis itu pun memasang wajah yang memelas, menunjukkan ekspresi yang tak tertahankan, berharap Renjanu akan mengijinkannya memasukkan cabai bubuk dalam jumlah yang melimpah ke dalam cimolnya. Meskipun begitu, Renjanu tetap menggeleng, menolak dengan lembut permintaan Anjani.

Walaupun kecewa tergambar jelas di matanya, Anjani tetap patuh dan menuruti ucapan Renjanu. Dia tidak ingin melanggar kata-kata Renjanu, terutama setelah melihat wajah marah Renjanu tadi siang.

"Padahal cuma mau makan pedas dikit," gumamnya dengan bibir yang berkerucut, walaupun kata-katanya tidak sampai didengar oleh Renjanu. Dia tampak begitu menggemaskan di mata lelaki itu.

Riana menyenggol lengan Taraka dengan penuh arti. "Mereka lucu ya," ucapnya dengan nada meriah, menjadi penonton diam kemesraan yang terjadi antara Renjanu dan Anjani.

Taraka hanya mengangguk singkat. Dalam hatinya, dia merasakan gejolak rasa iri yang mendalam terhadap Renjanu, yang bisa memiliki seseorang seistimewa Anjani. Ekspresi di wajahnya tidak bisa disembunyikan, memperlihatkan perasaan iri yang dalam.

"Mereka udah begitu dari kecil," Riana tertawa mengingat bagaimana mereka bertiga sudah dekat sejak usia kecil. Matanya tetap mengawasi dengan antusias interaksi antara Renjanu dan Anjani. Kemudian, dia meregangkan otot-ototnya dengan santai. "Mau beli sesuatu?" tanya Riana pada Taraka, menawarkan untuk membeli makanan.

Mereka tidak hanya berhenti di depan penjual cimol, melainkan di deretan pedagang kaki lima. Zona ini memang dikenal sebagai pusat kuliner kaki lima di kota tersebut.

"Mungkin," jawab Taraka atas pertanyaan Riana. Sejujurnya, dia sendiri tidak tahu apa yang ingin dia beli. Namun, dia merasa lebih baik menjauh dari tatapan Renjanu dan Anjani, sebelum perasaan iri dalam hatinya semakin tumbuh dan mengganggu.

Lelaki itu hanya mengikuti langkah Riana yang semakin menjauh dari kedua insan yang tengah bergurau di depan gerobak penjual cimol. Taraka mencoba menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar tawa dari kedua orang itu.

♩✧♪●♩○♬☆

List kesukaan JaniNomor 1 tetep Janu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

List kesukaan Jani
Nomor 1 tetep Janu

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now