14. Hai Janu, Nyebelin Tau

21 8 0
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Beberapa kali Anjani menghela napas. Tiba-tiba ia sudah menjadi mahasiswa semester 3. Padahal ulangan ekonomi saja sering remidi. Dirinya tak mengerti mengapa malah mengambil jurusan ekonomi.

Terasa semakin melelahkan apalagi ia harus pulang sendirian sebab Renjanu masih ada kelas dan tidak bisa mengantarkannya pulang. Jadilah ia naik ojol hari ini.

Siang yang begitu terik. Panas matahari terasa seperti ingin membakar dirinya. "Pak boleh berhenti beli es cekek dulu ngga?" tanyanya.

Motor menepi ke samping sebuah warung. Di situlah Anjani membeli es cekeknya. Minuman yang mampu mengurangi rasa panas yang menyengat.

Ia menikmati minumannya sebelum bapak supir ojol melontarkan sebuah pertanyaan. "Tau ngga mbak kenapa itu dinamain es cekek?" Sebuah pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Renjanu kemarin.

Anjani tak mau tertipu dengan pertanyaan jebakan itu sampai dua kali. "Biar unik aja, kan, Pak?" Ia memberikan jawaban yang sama seperti Renjanu.

"Loh bukan, Mbak," sanggah Bapak itu. "Itu karena plastiknya dipegang kayak dicekek," jelasnya.

Lagi-lagi Anjani menghela napas panjang. Dia tau kenapa es cekek diberi nama itu. Memang jawabannya seperti yang dikatakan Bapak itu. Namun, karena tebak-tebakan dengan Renjanu kemarin membuat Anjani memberikan jawaban yang berbeda.

Rasa kesalnya kembali datang. "Oh gitu ya, Pak," ujarnya menahan semua gejolak emosi.

Bapak supir ojol itu hanya mengangguk sembari tersenyum ramah. "Iya, Mbak gitu."

Anjani berusaha menahan senyumnya. Ia tetap memberikan senyum ramah dan ucapan terimakasih. "Lain kali jangan tanya gitu lagi yaa, Pak?" ucap Anjani sembari mengembalikan helm yang sebelumnya bertengger di kepalanya.

"Kenapa, Mbak?" Bapak itu nampak bingung.

"Ngga papa sih, Pak, tapi kemarin saya udah dapet pertanyaan kayak gitu," jelas Anjani mengingat seberapa kesal dirinya kemarin.

Bapak itu pun mengangguk mengerti sebelum akhirnya melajukan kembali motornya. Sedangkan Anjani masuk ke dalam rumahnya.

"Jani pulang," ucapnya sedikit kencang. Tujuannya hanyalah supaya ibunya yang berada di dapur menyambut kedatangannya.

"Jani udah makan? Gimana kuliahnya hari ini?" tanya ibunya dari arah dapur.

Langkah kakinya membawa dirinya ke arah dapur menyusul sang ibu. Kepalanya sedikit mengintip apa yang tengah ibunya masak. "Mama masak apa?" tanyanya dengan penuh rasa penasaran.

"Mau bikin puding cokelat buat calon mantu mama," jawab Sang Ibu dengan semangat. Tentu itu untuk seorang Gardana Renjanu. Calon mantu Mama Anjani yang punya segudang prestasi.

Wajah Anjani nampak mencibir. "Terus Jani ngga dibuatin?" Rautnya nampak iri dengan perlakuan spesial ibunya pada pacarnya sendiri.

"Aduh, sama pacar sendiri kok cemburu sih anak mama," Ibu Anjani mencubit pipi anaknya dengan gemas. "Nanti makan berdua sama Janu." Ia menuangkan adonan puding ke atas loyang.

Meski masih agak kesal Anjani mengangguk setuju. "Jani ke kamar dulu, Ma," ia mengecup singkat pipi ibunya lalu pergi ke kamarnya.

Ia pun tak tau lagi kegiatan apa yang akan ia lakukan di dalam kamarnya. Menelepon Renjanu juga tidak bisa. Mana mungkin bisa ditelepon kalau pesannya saja sejak tadi belum di balas.

Biasalah mahasiswa kedokteran yang super duper sibuk itu. Apalagi Renjanu harus mendapatkan nilai bagus agar bisa mempertahankan beasiswanya.

Ia pun mengetuk-ngetuk ponselnya. Mencari siapa yang bisa ia hubungi saat ini. Namun, ia menemukan kejanggalan di dalam ponselnya. Bukankan setelah kejadian itu Anjani menyimpan nomor Taraka? Kenapa tidak ada nomor Taraka di ponselnya.

Ia terus mencari nama lelaki itu di ponselnya. Siapa tau ia memberikan julukan atau nama yang berbeda untuk Taraka. Sayangnya ia tidak menemukan apapun. Membuatnya merasakan kejanggalan.

Apa semua berubah dan ia mengalami masalah dengan Taraka? Atau terjadi sesuatu pada Taraka? Tidak ada jawaban yang bisa ia temukan. Malah sekarang ia mendapat panggilan telepon dari Renjanu.

"Bubub udah pulang duluan, ya?" tanyanya dengan nada panik.

Sebelumnya Anjani sudah mengrimkan pesan pada lelaki itu. Pasti Renjanu tidak membacanya dan sekarang tengah panik mencarinya di seluruh penjuru fakultasnya.

"Jani udah pamit tau!" gerutu Anjani yang merasa pesannya diabaikan. "Tau ngga tadi Jani naik ojol, terus bapak ojolnya kaya Janu," adunya pada Renjanu.

"Kok bisa?" Suara Renjanu nampak kebingungan. "Gantengnya mirip Janu ya?"

Kepala Anjani menggeleng kuat. Renjanu melihatnya karena mereka berada di panggilan video. Lalu Anjani memulai ceritanya.

Renjanu mendengarkan cerita Anjani dengan seksama. Menatap lamat mata bulat gadis itu yang terpancar rasa penuh semangat menceritakan hal itu padanya. Sesekali matanya menajam sengit. Lalu pipinya menggembung karena kesal.

Tawa Renjanu datang di akhir cerita Anjani. "Maaf ya, Bubub," ujar Renjanu di sela-sela tawannya.

Pipi Anjani makin menggembung. Ia mencebikkan bibirnya kesal. "Ini semua gara-gara Janu tau!"

Renjanu mengangguk, Anjani nampak sangat menggemaskan. Jika saat ini Renjanu di samping gadis itu, ia pasti akan mencubit pipinya dengan gemas.

"Jani," panggil Renjanu dengan suara berat dan lembutnya.
 
Anjani tak mau membalas tatapan Renjanu. Ia masih memalingkan muka karena kesal.

Renjanu mencoba memanggil Anjani sekali lagi. "Janu kangen," keluhnya. Kini raut mukanya nampak sangat lesu. Ia terlihat seperti terpisah dengan kekasihnya ribuan tahun. Padahal Renjanu baru berpisah dengan Anjani beberapa jam yang lalu.

"Tapi Janu ngga bisa ke sana sekarang." Wajahnya nampak semakin tak semangat. Memang Renjanu ini terlihat sedikit berlebihan.

Anjani terkekeh geli melihat reaksi Renjanu. "Belajar sana yang bener, biar jadi anak yang pinter," titah Anjani.

Kepala Renjanu mengangguk menurut. Seperti anak yang baru dinasihati ibunya. "Jadi pacar yang pinter buat Jani juga," ucapnya dengan senyum. Kini energinya seperti kembali penuh.

Anjani mengangguk-angguk saja meski jantungnya kembali berdegup tidak normal. Renjanu menyebalkan, selalu saja membuat Anjani salah tingkah setiap harinya.

"Udah sana masuk kelas," ujar Anjani. Ia memalingkan mukanya yang nampak memerah. Pipi bulatnya itu kini layak disebut tomat.

"Ngga mau, Janu masih pengen ngobrol sama Bubub tau," ujarnya dengan manja. Apa setiap laki-laki akan berubah jadi bocah ketika bersama pacarnya seperti Renjanu saat ini?

"Janu, ayo ke lab," suara seorang lelaki yang memanggil Renjanu. Lalu ikut masuk ke layar ponsel Anjani. Dia harsa, bisa dibilang satu-satunya teman Renjanu. Sejak SMA sampai kuliah ternyata Renjanu tidak memiliki teman lain selain Harsa.

"Hai, Jani. Janunya tak pinjem dulu ya," ujar Harsa dengan aksen jawanya yang khas.

"Iya itu bawa aja, bye-bye," Anjani mematikan teleponnya dengan sepihak.

Terbayang saat ini ekspresi kesal Renjanu yang tak terima teleponnya dimatikan. Serta bagaimana lelaki itu akan mengomel pada Harsa, karena membuat ia harus menyudahi obrolannya.

Sekarang Anjani memilih mengistirahatkan dirinya. Merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk. Di dalam kamar yang bernuansa lilac rasa kantuk Anjani menyelimutinya. Membuatnya terbawa ke alam bawah sadarnya. Tidur dengan nyenyak dan nyaman.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now