48. Hai Janu, Pengakuan Mengerikan Taraka

18 3 0
                                    

Kepala Anjani merebah nyaman di atas meja. Memainkan kaset pita yang Renjanu berikan padanya. Bertuliskan nomor enam, ya sekarang hanya tersisa dua pita tape untuk Anjani kembali ke masa lalu.

Dia ragu akan ke tempat itu lagi atau tidak. Semakin ia ke sana, masa depan malah semakin hancur. Anjani merenung sambil memutar-mutar kaset pita tersebut. Kembali ke masa lalu adalah sebuah keputusan besar, dan dia tahu bahwa konsekuensinya bisa sangat besar. Tetapi dia juga tahu bahwa hatinya masih ingin memperbaiki segala sesuatu. Dilema ini terasa begitu berat, dan Anjani perlu memutuskan dengan bijaksana tentang langkah selanjutnya yang akan diambilnya.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Anjani mendapati Taraka yang telah berdiri dengan baju rapihnya. Entahlah, Anjani yakin dia tidak berteman dengan Taraka di masa ini. Dari percakapannya kemarin dan beberapa potong ingatan dari masa lalu. Harusnya Taraka tidak mungkin muncul di hadapannya sekarang.

Anjani merasa bingung dan heran melihat Taraka yang seharusnya tidak seharusnya ada di hadapannya di masa ini. Ia membuka pintu dan bertanya, "Taraka? Kenapa bisa di sini?" Suaranya penuh kebingungan.

Lelaki itu memandang Anjani datar. Lalu sedikit melihat ke dalam kamar Anjani. "Gue boleh masuk?" tanyanya.

Sebenarnya Anjani sangat bingung sekarang. Bagaimana mungkin ibunya mengizinkan Taraka masuk. Padahal lelaki itu tidak ada di daftar sahabatnya.

Meski Anjani masih merasa bingung, tetapi dia memberi izin kepada Taraka untuk masuk. "Silakan," kata Anjani sambil membuka pintu lebih lebar. Dia ingin tahu apa yang akan Taraka katakan atau lakukan.

Mata Taraka langsung tertuju pada meja Anjani dimana pita tape dan alat pemutarnya berada. Apa Taraka tau kalau Anjani ke masa laku dengan benda itu? Seingatnya dia tidak pernah mengatakan hal itu pada Taraka.

Lelaki itu terus berjalan mendekati benda itu. Tangannya perlahan menyentuh alat pemutar tapi jadul yang Anjani punya. Bahkan benda itu sudah jarang sekali terlihat. Atau mungkin tak ada lagi orang yang menggunakannya.

"Lo tau? Gue denger obrolan lo sama dia waktu itu." Langkah Taraka terhenti dan matanya terus fokus pada alat pemutar. "Lo ke masa lalu pakai benda ini kan?" Ia menunjuk pemutar tape itu dengan matanya.

Anjani terkejut mendengar kata-kata Taraka. Dia tidak pernah berbicara kepada Taraka tentang perjalanannya ke masa lalu dengan menggunakan pemutar kaset. Rasa bingung dan ketidakpastian pun semakin merayap di benaknya.

"Taraka ngga tau semuanya, kan?" tanya Anjani dengan penuh kebingungan. Ia sebelumnya yakin telah merahasiakan hal ini dengan baik.

Lelaki itu tersenyum miring. "Emang gue ga tau semuanya," ia menggeser alat pemutar itu. Menepi jauh dari tengah meja. Hingga akhirnya terjatuh ke lantai dan terpecah menjadi beberapa bagian. Suara menggema dari barang terbanting mengisi ruangan kamar Anjani.

Mata Anjani membulat sempurna  serta rasa kecewa melihat alat pemutar kaset itu hancur. Dia tidak tahu mengapa Taraka melakukan hal tersebut, dan rasa kebingungannya semakin bertambah. "Kenapa Taraka ngelakuin itu?" tanyanya dengan nada kecewa.

Taraka masih tersenyum, tapi tatapannya jelas berbeda. Lebih serius. "Lo harusnya ngga main-main dengan perubahan waktu, Anjani. Lo tau kenapa Renjanu mati?"

Jantung Anjani berdegup begitu kencang. Apa kepergian Renjanu berkaitan dengan Taraka? Terakhir kali Anjani pergi ke sana hidup Renjanu berubah juga bersangkutan dengan Taraka.

Anjani melangkahkan kakinya mundur. Matanya masih menatap nanar pada alat pemutar tape yang sudah hancur lebur.

Taraka berjalan mendekatinya. Menarik kursi lalu duduk di atasnya. "Itu semua karena lo," ujarnya sembari menunjuk Anjani. "Semua hal bisa dia dapat dengan mudah termasuk dapetin lo. Sedangkan gue? Lo aja ngga pernah anggap gue ada."

Anjani terdiam. Dia merasa semakin bingung dengan semua yang diungkapkan oleh Taraka. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya dengan ekspresi bingung. Anjani tidak tahu harus berbuat apa dalam situasi ini.

"Dia ngga bunuh diri." Taraka terkekeh, lelaki itu nampak sangat menyeramkan sekarang. Wajahnya seperti seorang psikopat. "Apa mungkin Renjanu yang hidupnya super bahagia itu bunuh diri?" tanya Taraka mencoba membuat Anjani berpikir.

Anjani semakin merasa tegang mendengar kata-kata Taraka. Sesuatu yang tak wajar terasa dalam percakapan ini. "Apa maksudnya?" ucapnya dengan suara yang gemetar.

"Gue yang bunuh Renjanu. Gue yang dorong dia dari atap. Hahaha, cowo bodoh itu gampang banget buat dibunuh," akunya.

"Ngga mungkin." Gadis itu masih menyangkal. Anjani merasa dunianya runtuh. Dia tak bisa percaya dengan apa yang diberitakan Taraka. "Taraka udah gila," gumamnya dengan nada putus asa dan ketakutan.

"Gue gila? Bukannya lo yang gila karena nyoba buat bantu gue?" cecarnya. "Lo juga yang buat dia mati lebih cepet."

Anjani merasa benar-benar terjepit dalam situasi yang mengerikan. Dia melangkah mundur lagi, berusaha menjauhi Taraka. "Ngga, Taraka berbohong. Taraka pasti berbohong," ucapnya dengan nada yang gemetar.

"Lo kan yang nyuruh dia buat ke atap supaya gue punya temen?" tanya Taraka. Lelaki itu berdiri, berjalan semakin dekat ke arah Anjani.

"Gue bunuh dia tanpa perlu banyak effort. Gue ngga perlu ngotorin tangan gue," ujarnya semakin tak masuk akal di telinga Anjani.

Namun, semua itu nyatanya benar.

Renjanu pergi ke atap sekolah. Mana mungkin ia menolak permintaan dari pacarnya walaupun permintaan itu untuk berteman dekat dengan Taraka. Apalagi setelah pengumuman penerima beasiswa kemarin. Renjanu yakin Taraka semakin membenci dirinya.

"Gue punya permintaan," entah suara Taraka datang darimana. Suara lelaki itu terdengar menyedihkan. "Gue ngga tau, bisa bertahan lagi atau ngga. Bisa tolongin gue buat nulis surat ke Anjani."

Suara Taraka terdengar parau dan menyedihkan. Renjanu mengangguk, "Apa isinya?" tanya Renjanu.

"Anjani, gue sayang banget sama lo. Apapun yang terjadi, gue bakal ada di sisi lo apapun yang terjadi. Tapi hidup ini terlalu cape buat gue jalanin."

Renjanu menulis kalimat itu tanpa memikirkan apapun. Sama persis dengan apa yang Taraka minta. Lalu terdengar seperti suara orang jatuh.

Renjanu menelisik ke pinggir atap sekolah. Hingga tak sengaja kakinya tergelincir membuatnya jatuh dari atas sana. Meninggalkan surat wasiat yang baru saja ia tulis. Yang semua orang percaya bahwa itu adalah milik Renjanu. Padahal itu hanya akal-akalan Taraka untuk menyingkirkan Renjanu.

Lelaki itu terkekeh mengingat kisah lama itu. "Bodoh banget cowo lo percaya sama rekaman suara yang gue buat." Ia tertawa dengan penuh kemenangan.

Tubuh Anjani gemetar. Tangannya melayangkan sebuah tamparan keras ke pipi Taraka. "Taraka gila, Jani bakal lapor ke polisi."

Taraka makin tertawa, "Polisi? Lo punya bukti apa Anjani? Lo ngga punya bukti dan sekarang lo ngga bisa ke masa lalu," ujarnya berbisik membuat Anjani bergidik ngeri.

Lelaki itu keluar dari kamarnya tanpa pamit. Menyisakan Anjani yang telah runtuh pertahanannya. Gadis itu duduk meringkuk sembari menangis. "Jani harus apa, Janu?"

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now