45. Hai Janu, Jani Jangan Di Sini

15 4 0
                                    

"Jani bisa jujur?" Renjanu menatap lamat mata Anjani. "Janu udah percaya semuanya, Janu mau nyoba bantu Jani. Janu cuma pengen tau satu hal," suara Renjanu makin merendah.

Anjani merasa detak jantungnya berdegup lebih cepat saat melihat ekspresi serius di wajah Renjanu. Dia merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk berbicara jujur. "Apa yang Janu mau tanyain?" Suaranya juga lembut dan penuh harap, menantikan pertanyaan penting dari Renjanu.

Matahari bersinar cerah di langit biru yang sejernih kristal. Pepohonan bergoyang perlahan oleh hembusan angin yang sejuk. Suasana siang yang hangat dengan langit yang biru dan cerah. Kantin yang ramai dengan siswa-siswi yang berjejer di meja makan. Terdengar canda tawa dan percakapan antar teman-teman.

"Jani ngga mau cerita apa yang terjadi di sana?" Renjanu terdengar sangat serius. Di sana yang Renjanu maksud adalah masa depan. Tidak mungkin kan jika masa depan baik-baik saja membuat Anjani kembali ke tempat ini?

Anjani merasa berat hati. Ia menatap Renjanu dengan ekspresi yang bercampur antara kebingungan dan kekhawatiran. "Janu, sejujurnya... Ada beberapa hal yang terjadi di masa depan yang ngga bisa Jani ceritakan. Itu mungkin bisa berbahaya, atau bahkan mengubah semuanya."

Ia memejamkan matanya sejenak, mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Apa yang sudah terjadi, terjadi. Dan Jani tidak ingin mengganggu alur waktunya lebih lanjut. Mungkin ada beberapa hal yang tidak bisa diubah."

"Kalau Jani ngga cerita, gimana Janu bisa bantu?" Renjanu menatap Anjani dengan pandangan yang penuh pertanyaan. Wajahnya mencerminkan keinginan tulus untuk membantu Anjani, tetapi juga rasa penasaran yang besar terkait dengan masa depan. Ia ingin mendukung Anjani sebaik mungkin, tetapi terlihat bingung dan sedikit frustrasi karena Anjani enggan berbicara.

Anjani merasa dilema. Dia tahu bahwa Renjanu ingin membantu, tetapi di sisi lain, ada banyak hal yang tidak bisa diungkapkan. "Janu, Jani tau kalau Janu punya niat baik. Gimana kalau masa depan makin hancur?"

"Berarti masa depan udah hancur, kan?" Ekspresi Renjanu berubah menjadi kaget saat mendengar kata-kata Anjani. Ia tidak menyangka bahwa Anjani akan mengatakan hal seperti itu. Renjanu merasa seperti mendapatkan pukulan di perut, terkejut dan bingung dengan apa yang Anjani ungkapkan. Ia mencoba memahami maksud Anjani, tetapi juga merasa semakin penasaran tentang masa depan yang membuat Anjani begitu khawatir.

Akhirnya gadis itu mengangguk. Masa depan sudah hancur berapa kali pun ia mencoba. Namun, ia ingin kembali dengan berhasil kali ini.

"Jani yakin kalau bisa ngubah masa depan jadi lebih baik?" suara Renjanu parau. Campur aduk, antara bingung, sedih, kaget, dan takut. Bagaimana jika Anjani membahayakan dirinya sendiri.

Renjanu terlihat khawatir dan bingung. Ia merasa sedih melihat ketidakpastian masa depan yang dihadapi oleh Anjani. Namun, ia juga merasa takut bahwa Anjani mungkin akan berisiko terlalu banyak dalam usahanya untuk mengubah masa depan. Ia berharap yang terbaik untuk Anjani, meskipun masih penuh tanda tanya.

"Jadi di masa depan ada apa? Jani ke sini ada hubungannya sama Janu dan Taraka. Apa Janu ngga ada di masa depan?" Suara Renjanu rendah tapi terdengar tegas di tiap pertanyaan yang ia lontarkan.

Anjani menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab, "Janu ..." Ia ragu menjawab pertanyaan itu. Keberadaan Renjanu di masa depan seperti ada dan tiada. Renjanu tidak ada, dan Renjanu ada tapi tak pernah dianggap ada. Bagaiamana ia bisa menjelaskan semua itu pada Renjanu.

"Apapun yang terjadi, Janu pengen Jani jujur sekarang." Lelaki itu tetap tenang. Matanya penuh sorot keinginan tahuan. Namun, ia mencoba untuk tidak terlalu menyudutkan Anjani.

Gadis itu menghela napas panjang. Satu-satunya cara adalah memberitahu Renjanu apa yang terjadi di sana. "Janu ngga ada, tapi Jani berhasil selamatin Janu, terus jadi Taraka yang ngga ada. Pas Jani coba buat menyelamatkan Taraka, Janu hilang, Jani jadi benci sama Janu, dan Janu ngga bisa jadi orang biasa," jelasnya meski tak memberi penjelasan rinci.

Renjanu mendengarkan dengan penuh perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa Anjani berbicara tentang perjalanan waktu yang rumit, tapi ia tak bisa benar-benar memahami semua detailnya. Yang ia sadari adalah Anjani berusaha menyelamatkannya dan mengorbankan banyak hal untuk itu.

"Jani..." Renjanu menatap Anjani dengan mata yang penuh pengertian. "Janu ngga mau Jani hilang atau bahkan benci sama Janu. Jani tahu, Janu selalu ada di sini buat Jani. Tapi Jani, masa depan bukan hal yang bisa diubah semudah itu," ujar ya. Ia meletakkan tangannya di atas tangan Anjani, mencoba memberikan kejelasan dan keyakinan kepada gadis itu.

"Jani ngga perlu kembali ke sini lagi," ucap Renjanu dengan nada datarnya.

Mata Anjani membulat. Ia pikir Renjanu akan membantunya mengubah masa depan nyatanya itu jauh dari ekspetasinya. "Kenapa?" pekiknya spontan.

Lelaki itu menatap lamat Anjani. "Semua ada konsekuensinya Jani. Pasti ada yang diambil dari Jani kalau coba ngubah sesuatu. Apa Jani ngga ngerasa aneh sama diri Jani sendiri tiap ngelakuin itu?"

Gadis itu terdiam. Bukan hanya hal aneh, melainkan ia kehilangan ingatan, jatuh sakit berkali-kali, hingga dirinya mengalami trauma sebab melihat hal-hal yang harusnya tidak pernah ia lihat.

"Terlaku sakit buat Jani ke sini berulang kali. Bagaimana jika Jani kembali dan Janu tetap ngga ada? Bukannya Jani jadi kehilangan Janu berulang kali?" Suara Renjanu tetap rendah dan tenang.

Hati Anjani yang seperti tergores oleh pisau kecil. Matanya memerah dan siap meneteskan air mata. "Tapi Jani pengen sama Janu terus," ujarnya lalu ia mulai menangis. Tangisnya pecah di tengah ramainya suasana kantin kala itu.

Tangan Renjanu menangkup wajah Anjani. Dengan lembut ia mengusap air mata gadis itu. "Jani," panggilnya lirih. Gadis itu tak mendongak, tetap menunduk menyembunyikan semua air matanya. "Janu ngga masalah kalau Janu ngga ada di masa depan," ujarnya.

"Tapi Janu pergi karena bunuh diri? Emang Jani bisa terima kalau Janu ngelakuin itu?" sentak Anjani. Mana mungkin ia bisa membiarkan Renjanu pergi seperti itu. Tidak mau, dan tidak akan pernah mau.

Mata Renjanu membulat. "Janu? Bunuh diri?" Ia menunjuk dirinya sendiri. "Ngga mungkin."

Gadis itu menghela napas kasar. "Kalau ngga mungkin buat apa Jani datang ke tempat ini? Buat apa Jani kembali ke masa lalu Renjanu!" Marahnya, hingga ia memanggil Janu dengan Renjanu. Jarang dan bahkan hampir tidak pernah.

"Ngga Jani, apapun alasannya Jani ngga perlu datang ke tempat ini," ujar Renjanu. Ia tetap kukuh tidak ingin Anjani berada di sini.

"Kenapa Janu? Kenapa?" Suaranya serak karena menangis bercampur marah.

"Di sini bahaya dan Janu ngga mau Jani ada di dalam bahaya," ujarnya lirih.

Hai Janu || Enerwon ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang