34. Hai Janu, Ayo Kembali Bersama

22 7 1
                                    

Senja telah tiba, dan matahari perlahan tenggelam di cakrawala. Warna langit beralih dari biru terang menjadi kombinasi ungu, merah muda, dan oranye yang memukau. Awannya membentuk gugusan lembut seperti kapas yang tersapu oleh matahari terbenam.

Cahaya senja yang lembut memancar di antara pepohonan, menciptakan bayangan yang panjang dan misterius di tanah. Suasana senja penuh dengan kehangatan dan ketenangan, seolah-olah alam sedang bernyanyi lagu perpisahan untuk hari itu.

Angin senja berbisik lembut melalui daun-daun, membawa aroma segar dari alam sekitarnya. Semakin lama, langit semakin meredup, dan bintang-bintang mulai muncul satu per satu di langit, menciptakan pemandangan malam yang indah.

Anjani belum pulang. Meski ia tidak memberitahukan kepada ibunya kemana ia akan pergi. Setidaknya kali ini dia pamit dan tidak menghilang begitu saja.

"Boleh ya, Janu?" pintanya pada Renjanu. Namun, lelaki itu dengan tegas menolak.

Sejak tadi, Anjani terus memohon pada Renjanu untuk memberikan pita tape itu pada Anjani. Dia tidak akan rela membiarkan gadis itu kembali ke masa lalu.

Renjanu bersikeras menolak permintaan Anjani. Matanya penuh dengan kekhawatiran dan rasa takut akan konsekuensi yang bisa terjadi jika Anjani benar-benar kembali ke masa lalu. Renjanu tahu bahwa meskipun Anjani memiliki alasan kuat, perjalanan waktu adalah hal yang berbahaya dan tak terduga.

"Janu baik-baik aja, ngga ada yang perlu Jani perbaiki lagi," ujar Renjanu dengan lembut. Mencoba memberikan pengertian pada Anjani. "Kita cuma perlu jalani apa yang udah terjadi sekarang, Jani."

Anjani menggigit bibirnya, merasakan konflik dalam dirinya. Dia tahu bahwa Renjanu benar, tapi juga sulit baginya untuk merasa tidak apa-apa. Mana mungkin Anjani tidak punya rasa bersalah. Merusak masa depan Renjanu hingga lelaki itu kini tidak dapat merasakan bangku kuliah.

"Tapi Janu ... " Anjani belum menyelesaikan kalimatnya. Namun, Renjanu sudah membungkam mulut gadis itu dengan permen.

"Apa seperlu itu?" tanyanya dengan penuh kehangatan. "Janu rasa Jani ngga perlu sampai kembali ke sana lagi."

Renjanu tidak begitu peduli tentang perkara bisa kuliah atau tidak. Yang paling penting baginya adalah melihat Anjani baik-baik saja dan bahagia. Bahkan, hanya bertemu dengan Anjani yang tidak membencinya saja sudah membuatnya merasa sangat bahagia. Renjanu berusaha memberikan Anjani rasa nyaman dan kepercayaan bahwa masa depan yang mereka jalani sekarang sudah cukup baik.

"Jani, Janu senang banget bisa ketemu kamu lagi," ucapnya dengan senyuman hangat. "Dan buat Janu, ini udah cukup kok."

Renjanu mencubit pipi Anjani yang menggembung. "Jani pasti capek banget, kan karena itu?" tanyanya.

Tentu Anjani merasa sangat lelah. Bolak-balik ke masa lalu, kembali lagi ke masa depan. Melihat hal-hal yang tidak ia harapkan. Terlebih ia selalu ambruk kala mengingat setiap potongan kejadian yang terlupakan.

Kepala gadis itu mengangguk kecil. Ia memeluk erat tubuh Renjanu, entahlah dirinya selalu merindukan hangatnya pelukan lelaki itu. "Janu," panggilnya lirih. "Tapi boleh ngga sekali, dan buat terakhir kali Jani balik ke sana?" Ia mendongak, menjadiatanya yang penuh permohonan menatap langsung ke mata Renjanu.

Lelaki itu masih tetap teguh pada pendiriannya, mencoba melindungi Anjani. Ia menolak permintaan Anjani dengan kekhawatiran yang jelas terlihat di wajahnya. "Jani sakit kan tiap kali ke sana?"

Mata Anjani memejam, ia mengangguk pelan, meskipun ada sedikit rasa ragu dalam hatinya. "Tapi Jani baik-baik saja kok," jelaskannya, mencoba membujuk Renjanu untuk setuju.

Terlalu banyak tapi yang Anjani katakan. Membuat Renjanu semakin mengkhawatirkannya. "Kalau Jani ke sana cuma karena Janu, jawabannya tetap ngga," kekeh Renjanu dengan mantap, walaupun mendapat tatapan kecewa dari Anjani.

Gadis itu mencebikkan bibirnya, mencoba membuat raut muka yang paling manis dan memelas yang bisa ia tunjukkan. Dalam usaha terakhir untuk membujuk Renjanu, dia meraih lengan baju lelaki itu dengan tangan kecilnya, menggengamnya perlahan, sambil menatap lelaki itu dengan mata yang berkedip-kedip. "Boleh ya?" pinta Anjani, berharap Renjanu bisa luluh.

Terdengar helaan napas panjang dari Renjanu saat ia masuk ke dalam ruangan yang Anjani yakin sebagai kamar Renjanu. Beberapa saat kemudian, lelaki itu keluar dengan membawa barang yang sangat dinantikan oleh Anjani.

Kardus berisi pita tape milik Renjanu diletakkan di atas meja, dan senyum bahagia menghiasi wajah Anjani. Akhirnya, Renjanu setuju untuk memberikannya kesempatan untuk kembali ke masa lalu.

Namun, Renjanu memberikan peringatan, "Ada syaratnya," ujar lelaki itu, membuat Anjani menatapnya dengan penuh tanda tanya. Gadis itu mengangguk, siap untuk mendengarkan syarat apa pun yang diajukan oleh Renjanu. Yang penting, ia bisa kembali ke masa lalu dan menyelamatkan nama baik Renjanu.

Anjani terkejut mendengar syarat dari Renjanu. "Janu bakal ikut kembali ke sana," ucap lelaki itu, sambil duduk di samping Anjani.

Mata Anjani membulat sempurna, tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. Bukan karena ia tidak ingin membawa Renjanu, tetapi ia merasa ragu apakah hal itu akan berhasil.

Mereka berdua duduk di ruang tamu dengan pencahayaannya redup, menciptakan suasana malam yang tenang. Hanya cahaya lembut dari lampu meja yang menerangi ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang samar di dinding. Di sudut ruangan, suara lembut deru kipas angin memberikan latar belakang yang sejuk dan menenangkan.

Anjani duduk di sofa dengan pandangan kosong, memikirkan tawaran Renjanu yang belum lama ini ia terima. Sedangkan Renjanu duduk di sebelahnya, menatap Anjani dengan penuh harap dan kekhawatiran. Atmosfir malam itu penuh dengan ketegangan dan rasa ingin tahu akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Anjani perlahan meraih pita tape milik Renjanu dan mencari tape yang belum pernah ia putar sebelumnya. Ia memilih pita tape yang bertuliskan angka lima, yakin bahwa itu adalah urutan yang benar. Ketika suara Renjanu mulai terdengar dari alat pemutar itu, pipi lelaki itu memerah malu, mendengarkan suaranya sendiri.

Gadis itu terkekeh melihat tingkah Renjanu. Biasanya Renjanu lah yang gemas melihat tingkah Anjani. Kini menjadi terbalik, lelaki itu nampak sangat menggemaskan. "Janu harus tutup mata," bisik Anjani. Gadis itu sudah lebih dulu memejamkan matanya.

Renjanu tak tau seperti apa alur menuju masa lalu yang Anjani maksud. Jadi, ia hanya mengikuti apa yang gadis itu katakan. Tanpa memberikan pertanyaan, Renjanu menaruh penuh kepercayaannya pada Anjani.

Suasana kian menghening. Hanya ada suara Renjanu yang keluar dari alat pemutar. Anjani menggengam erat tangan Renjanu, merasa sedikit cemas tapi juga penuh harap.

Harusnya sekarang Anjani merasakan kantuk. Namun, setelah memejamkan matanya ia tidak merasakan apapun. Suara rekaman Renjanu pun telah usai, membuat malam itu makin sepi. Matanya terus memejam, merapalkan harapan semoga ia bisa kembali ke sana lagi.

Hai Janu || Enerwon ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang