33. Hai Janu, Kita dan Kenangan

23 9 0
                                    

"Buat apa, Jani?" Suara Renjanu meninggi. Rautnya penuh rasa tak suka dangan apa yang Anjani katakan sebelumnya.

Bagaiman Renjanu akan senang jika Anjani mengatakan ingin kembali ke masa lalu. Memang cerita Anjani terdengar tak masuk akal bagi beberapa orang. Namun, Renjanu penuh rasa keyakinan mempercayai Anjani.

"Emang Janu ngga mau kuliah?" sebuah pertanyaan dari Anjani mampu membuat Renjanu diam seribu bahasa.

Pertanyaan tajam dari Anjani tentang kuliah membuat Renjanu terdiam. Dia ingin kuliah, dia ingin mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang dokter. Namun, situasinya yang kini terdaftar sebagai seorang kriminal telah membuatnya tak bisa melanjutkan pendidikannya.

"Janu ngga bisa kuliah kan karena Jani," ujar Anjani dengan penuh rasa bersalah. Itu adalah satu dari banyak konsekuensi dari keputusannya untuk menyelamatkan Taraka tiga tahun yang lalu. Ia berhasil menyelamatkan Taraka, tetapi malah mengorbankan Renjanu.

Renjanu menarik napas panjang dan mencoba untuk tenang. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia bisa melarang Anjani dengan keras. Anjani adalah pribadi yang keras kepala, dan semakin dia dilarang, semakin dia akan menentang.

Dengan lembut, tangan Renjanu meraih kepala Anjani. "Jangan pernah lagi mikir kaya gitu," ucapnya dengan penuh kehangatan. "Ini bukan salah Jani, ini udah takdir."

Kepala Anjani langsung menggeleng kuat. Takdir sebenarnya tidak seperti ini. Anjani sendiri yang merusak takdir. "Ini salah Jani," gadis itu menitikan air mata. Belakangan ini menjadi seseorang yang sensitif.

Renjanu mengusap air mata yang mengalir di pipi Anjani dengan lembut, mencoba menghibur gadis itu. Senyumnya yang tulus memancar kehangatan saat dia berbicara.

"Jani," panggil Renjanu pelan, membuat Anjani mendongak menatapnya. "Mau tahu apa yang buat Janu bahagia sekarang?"

Anjani mengangguk, matanya terkunci pada mata Renjanu, menunggu untuk mendengar apa yang akan lelaki itu katakan selanjutnya.

Suasana siang yang tidak terlalu panas, angin yang berhembus perlahan, semuanya menciptakan momen yang tenang di antara mereka.

"Jani datang ke sini buat nyari Janu," ucap Renjanu dengan senyum lebar, mengungkapkan kebahagiaannya karena Anjani ada di sana.

Degupan ini yang telah lama hilang dari Anjani. Rasa yang tidak perah ada sedekat apapun dirinya dengan Taraka. Namun, saat bersama Renjanu ia selalu merasakannya.

Memang namanya jatuh cinta. Terdengar tak masuk akal, sama tak masuk akalnya dengan perjalanan waktu Anjani. Nyatanya, semua itu bukan sebuah khayalan belaka.

Renjanu mengusak rambut Anjani. Ada begitu banyak kerinduan pada gadis ini. Senyumnya, tingkahnya yang menggemaskan, dan banyak kebiasaan Anjani lainnya. Lelaki itu menyunggingkan senyumnya karena teringat sesuatu. "Jani masih suka nasi goreng gila?" tanyanya. Menu kesukaan Anjani yang paling sedikit seminggu sekali mereka datangi.

Anjani langsung menyunggingkan senyumnya. "Mau nasi goreng gila," ia menatap lamat mata Renjanu. Mendekap Renjanu dengan erat membujuk lelaki itu.

Renjanu tersenyum bahagia melihat reaksi Anjani yang begitu antusias. Ia merasakan kehangatan dan kebahagiaan dalam dekapan gadis itu. Ketika Anjani mendekapnya erat dan membujuknya untuk makan nasi goreng gila, Renjanu hanya bisa merasa beruntung.

"Sekarang?" tanya Renjanu dengan nada yang penuh kejutan. Matanya menatap Anjani dengan rasa bahagia. Ia pun merasakan hatinya yang berdebar kencang, karena ucapan Anjani tadi yang menyatakan bahwa mereka sedang pacaran.

Anggukan Anjani makin antusias. Ia sangat merindukan rasa nasi goreng gila itu. Rasanya seperti bertahun-tahun tidak memakannya.

Renjanu mencubit gemas pipi Anjani. "Ayo, berangkat," ajaknya. Ia mengulurkan tangannya membantu Anjani berdiri.

Tempat itu tak terlalu jauh dari penjual nasi goreng gila. Mereka pergi berjalan kaki, jika ditanya kemana motor Renjanu. Jawabannya sudah ia jual sebab merasa tak dapat lagi merawatnya.

"Janu mau tau ngga?" pertanyaan Anjani membuat Renjanu penuh penasaran. Gadis itu terkekeh mengingat momen itu. "Janu pernah panggil Jani Bubub," ujar gadis itu diakhiri dengan tawanya yang menggelegar.

Memang panggilan itu sekarang sedang marak di masyarakat. Namun, Renjanu tidak menyangka bahwa dirinya mengikuti trend dan memanggil Anjani seperti itu. Bahkan kini ia mendengarnya saja menjadi geli sendiri. "Jani bohong, kan?" tanyanya tak percaya.

Kepala Anjani menggeleng dengan yakin. "Jani ngga bohong, malah pas Jani nyuruh Janu buat berhenti manggil Bubub, Janu ngga mau." Tawa Anjani makin kencang meledek Renjanu.

Renjanu tidak percaya akan hal itu. Bagaimana mungkin? Dia? Dirinya? Seorang Renjanu? Harapan Renjanu besar bahwa Anjani mengatakan sebuah kebohongan.

"Bubub," panggil Anjani dengan suara yang dibuat seperti anak kecil.

Mendengar itu membuat Renjanu merasakan keanehan di dalam dirinya. Perpaduan antara rasa geli dan sebuah perasaan senang. Membuat perutnya merasa dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu.

"Jani," cicit Renjanu. Rautnya meminta Anjani untuk tidak memanggilnya seperti itu lagi.

Namun, Anjani tetaplah Anjani. Mana mungkin dia mendengarkan Renjanu. Malah ia semakin gencar menggoda lelaki itu. Gadis itu menusuk lengan Renjanu dengan telunjuknya. Membuat wajah yang menggemaskan. "Bubub, bubub," panggilnya berkali-kali.

Renjanu mempercepat langkahnya. Menutup kedua telinganya rapat-rapat sembari bergumam. "Janu ngga dengar, Janu ngga dengar," ujarnya menolak suara Anjani yang masuk ke telinganya.

Tak mau kalah, Anjani ikut mempercepat langkahnya menyusul Renjanu. Ia terus memanggil lelaki itu dengan panggilan Bubub. Sebuah perhitungan sebab dulu Renjanu juga melakukan hal yang sama.

Langkah mereka tak berehenti hingga tiba di penjual nasi goreng gila yang sudah menanti-nanti mereka. Bau harum dari wajan yang panas dan bumbu-bumbu rempah langsung menyambut hidung mereka begitu tiba. Renjanu memesan dua porsi nasi goreng gila dengan topping yang berbeda-beda, seperti dulu kala.

Mereka duduk di tempat yang biasa mereka duduki di masa lalu, tempat yang penuh kenangan. "Janu mau denger pertanyaan ngga?" Kepala Renjanu langsung menggeleng. Pikirannya sudah keman-mana. Pasti Anjani akan mengatakan hal-hal seperti tadi, kan?

Gadis itu memasang wajah murungnya. "Ish, Janu ngga asik," kesalnya. Ada satu hal lagi yang ingin Anjani lakukan untuk balas dendam pada Renjanu.

"Apa Jani?" Renjanu mencoba memasang senyumnya. Meski kedua tangannya kini telah rapat. Membuat wajah Anjani makin nampak murung.

"Janu ngga mau denger ya?" pekiknya kencang. Membuat beberapa orang di sana termasuk penjual nasi goreng gila ikut menoleh.

Renjanu kalah, ia menurunkan tangannya. Menatap Anjani dengan pasrah. Entah apa yang akan gadis itu katakan, Renjanu akan mempersiapkan semuanya.

"Janu tau ngga kenapa namanya nasi goreng gila?" tanya Anjani bersamaan dengan pesanan mereka yang tiba. Gadis itu tersenyum puas sembari menunggu jawaban Renjanu.

Ekspektasinya untuk balas dendam hancur sudah. Jawaban Renjanu membuatnya mencebikkan bibir. "Karena biar unik, kan?"

Anjani menghela napas. Ia langsung menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya. Kemudian tidak mengucapkan apapun lagi.

Tentu Renjanu jadi bingung sendiri. Apa ia mengatakan hal yang salah? "Jani kenapa?" tanyanya.

Anjani menatap sengit Renjanu. "Udah makan aja, Jani ngga mood ngobrol."

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now