29. Hai Janu, Jani Akan Percaya

26 9 0
                                    

"Maaf," lirih Renjanu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf," lirih Renjanu. Suara lembutnya masuk ke dalam telinga Anjani. Lelaki itu memeluk Anjani dengan erat. "Janu kangen banget sama Jani."

Air mata Anjani kembali menetes. Meluncur deras di kedua pipinya. Napasnya terasa begitu berat. "Janu." Ia membalikkan badannya menatap Renjanu penuh kerinduan.

Pelukan mereka semakin erat, seolah-olah ingin menyatukan kembali setiap potongan hati yang sempat terpisah. Di bawah langit biru yang kembali bersinar, mereka merasa bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk memulai kembali cerita cinta mereka. Apakah ini sebuah pertanda bahwa Renjanu kembali kepadanya, setelah hujan menyucikan semua keraguannya?

Tak peduli air mata dan ingusnya akan mengotori baju Renjanu, Anjani ingin melepaskan semua perasaannya kali ini. Mereka berdua berpelukan lebih lama, seolah waktu berhenti untuk memberi mereka kesempatan untuk merasakan kehadiran satu sama lain lagi, hingga semua rasa rindunya hilang.

Renjanu dengan lembut mengusap belakang kepala Anjani. Setiap sentuhan itu seperti pesan bisu yang mengatakan betapa ia merindukan Anjani selama ini. Mereka telah berpisah selama tiga tahun, waktu yang cukup lama untuk merindukan satu sama lain, bukan?

"Jani ngga perlu denger penjelasan Janu. Jani ngga butuh," kata Anjani dengan suara yang penuh dengan kepedihan. Air mata semakin deras mengalir di dalam dekapan Renjanu. Lalu, dengan wajahnya yang memerah karena tangisannya, gadis itu mendongak. "Jani cuma butuh Janu ngga pergi lagi."

Hati Renjanu terasa teriris melihat Anjani menangis begitu. "Maafin, Janu," pintanya dengan penuh penyesalan, lalu membawa Anjani kembali dalam dekapannya, berharap bisa meredakan semua luka yang telah ia sebabkan.

Namun kepala Anjani menggeleng dengan tegas, menolak kuat permintaan Renjanu. "Janu ngga salah, harusnya Jani denger penjelasan Janu waktu itu." Terdengar keraguan dalam suaranya, tetapi dalam matanya terpancar keinginan untuk memahami dan memperbaiki segala yang telah terjadi.

Renjanu membawa Anjani duduk pada sebuah bangku panjang di tepi danau. Lelaki itu menarik napas dalam, meski Anjani tidak perlu penjelasannya. Ia ingin memberikan pernyataan untuk Anjani.

"Janu ngga dorong Taraka waktu itu." Renjanu memulai topik yang menjadi konfliknya tiga tahun belakang dengan Anjani.

Saat itu Renjanu mencari keberadaan Anjani. Sebab gadis itu seringkali menghilang. Tempat yang ia tuju adalah atap sekolahnya. Anjani belakangan ini selalu ke sana sebab misinya yang ingin menolong Taraka. Entahlah menolong dalam segi apa, Renjanu tak tau menahu akan hal itu.

Mata Renjanu membulat sempurna sebab melihat Taraka yang sudah berdiri di tepian atap. Satu langkah kecil saja sudah mampu membuat lelaki itu terjun bebas dari sana.

Dengan langkah sigap Renjanu menahan Taraka untuk tak menjatuhkan dirinya. "Lo ngga perlu nolongin gue," sentak Taraka tetapi tak mengurungkan niat Renjanu untuk menolong lelaki itu.

Mungkin misi penyelamatan ini yang Anjani maksud. Jika memang iya, maka Renjanu akan membantu Anjani menyelesaikan misinya.

"Gue perlu." Suara Renjanu tak kalah tegas dari Taraka.

"Lo pengacau semua hidup gue." Alis Renjanu bertaut bingung. Mengacau? Bahkan Renjanu saja baru mengenal lelaki itu sebab dia menarik perhatian Anjani.

Renjanu tak ingin memusingkan hal itu. Menyelamatkan Taraka adalah misi utamanya. "Gue ngga tau maksud lo, tapi Jani ngga mau kehilangan lo, Taraka." Suara teriakan mereka berdua sampai lantai dasar membuat kerumunan orang berada di sana. Semuanya nampak panik, tak hanya siswa melainkan guru juga berada di sana.

Entah apa yang orang lain lihat dan pikirkan di bawah sana. Namun, Renjanu yakin jika ia mengulur waktu sedikit lebih lama maka orang-orang itu akan menyiapkan pertolongan untuk Taraka.

Raut Taraka menyeringai. Entah terlintas rencana apa di dalam pikirannya. "Lo ngga perlu repot mikirin gue," ujarnya dengan ceringisan di akhir.

"Gue ngga mikirin lo, Jani mikirin lo dan itu bikin gue ikut peduli sama lo." Renjanu menahan kuat kerah Taraka. Meski di bawah sana akan nampak bahwa Renjanu sedang mengancam Taraka.

"Lo harusnya pikirin hidup lo sendiri." Sebentar Taraka menoleh ke arah bawah. Sudah ada matras tebal yang akan menopangnya nanti. Ia mendorong dirinya sendiri, membuat skenario bahwa Renjanu lah yang mendorong dirinya.

Semua terjadi bersama dengan Anjani yang membuka pintu. Raut kaget dan tak percaya nampak jelas di wajah gadis itu.

Anjani mencoba mendengarkan penjelasan Renjanu, tetapi dalam hatinya masih ada keraguan yang mendalam. Meski ia mencoba memahami cerita Renjanu, ia tetap tak bisa mempercayai bahwa Taraka melakukan hal itu.

Renjanu tahu bahwa, meski sudah menjelaskan semuanya, tidak mungkin ia dapat mengembalikan sepenuhnya kepercayaan Anjani. Raut wajah Anjani telah menggambarkan segalanya. Renjanu menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gejolak rasa kecewa yang begitu besar dalam hatinya. "Janu tahu bahwa apapun yang Janu katakan tidak akan bisa mengubah semuanya." Meskipun demikian, ia tetap berharap bahwa dengan waktu, mereka bisa memulihkan hubungan mereka yang terputus selama tiga tahun ini.

"Jani bakal coba percaya sama Janu," ucap Anjani dengan tekad yang kuat. Ia tidak ingin hanya mendengarkan dari satu sisi cerita. Bahkan, saat itu, ia tidak sempat mendengar percakapan antara Janu dan Taraka. Saat ia membuka pintu, Taraka sudah terjatuh dari atas sana.

Kepala Renjanu menggeleng pelan. "Jani ngga perlu memaksakan diri untuk percaya pada Janu," ujarnya dengan lembut, meskipun perasaan kecewa tetap terasa dalam hatinya.

"Jani datang ke sini bukan tanpa tujuan, Jani ingin sungguh-sungguh mencoba untuk percaya lagi pada Janu." Anjani menggenggam erat kedua tangan Renjanu. Meskipun sebelumnya ia sangat percaya pada mata dan ucapan Taraka, kali ini ia benar-benar ingin mendengarkan Renjanu dan bersama-sama membangun kembali hubungan mereka.

"Janu," panggilnya dengan suara halus. "Maaf Jani udah hancurin hidup Janu." Rasa bersalah langsung menghantui Anjani. Melihat penampilan Renjanu yang sekarang membuat hatinya merasa sangat terluka. Lelaki itu jauh dari penampilan rapinya saat SMA. Renjanu dengan topi yang menutup hampir setengah dari wajahnya. Bajunya yang nampak usang. Anjani yakin Renjanu tidak masuk ke perguruan tinggi. Kasus itu pasti merusak nama baik Renjanu.

Tangan Renjanu terulur. Mengusap pelan kepala Anjani. Ia tidak mau gadis itu merasa bersalah. "Janu ngga apa-apa, buktinya Janu masih baik-baik aja, kan?" ujarnya menenangkan.

Sayangnya Anjani tidak bisa mempercayai hal itu. Bagaimana dengan cita-cita Renjanu yang ingin menjadi dokter? Lalu prestasi Renjanu yang sia-sia begitu saja karena ulahnya. Jika Anjani menemukan pita tape itu, dia akan langsung kembali ke masa lalu dan menyelamatkan Renjanu.

Oh, pita tape. Anjani teringat akan hal itu. Bukan seharusnya Renjanu sekarang memiliki barang itu. Hanya sebuah pertanyaan yang bisa Anjani pastikan.

"Ada yang mau Jani tanyain," ujarnya penuh penekanan. Membuat Renjanu menunggunya dengan rasa penasaran.

Hai Janu || Enerwon ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang