24. Hai Janu, Kemana?

24 8 0
                                    

Anjani mengetuk-ngetuk ponselnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Anjani mengetuk-ngetuk ponselnya. Setelah mengobrak-abrik isinya, ia menemukan nomor Renjanu ada di daftar nomor yang terblokir. Entah karena apa nomor Renjanu bisa berada di sana. Apa benar ia sebenci itu dengan Renjanu? Tapi mengapa?

Beberapa pesan sudah ia kirimkan ke Renjanu sejak siang tadi. Jangankan sebuah balasan, pesannya saja tak dibaca oleh lelaki itu.

Anjani mulai berselancar di sosial media. Mencoba mencari keberadaan Renjanu. Bahkan ia mengirim pesan pada Harsa. Namun, juga tetap sama. Ia tidak mendapat respon yang bisa menjawab semua pertanyaannya.

Kepala Anjani terasa makin pusing. Mengapa setelah ia kembali dari masa lalu malah membuat masa depan semakin runyam? Apa sebenarnya ia tidak bisa mengubah takdir buruk dan hanya memperburuknya saja?

"Arghh!" geramnya pada dirinya sendiri. Malam yang makin larut, bahkan ini sudah lewat tengah malam. Anjani masih saja terus melihat ponselnya. Siapa tau Renjanu akan membalas pesannya?

Ia menarik napas dalam mencoba menenangkan dirinya. Anjani beranjak dari ranjangnya. Mengelilingi kamarnya mencoba mencari sisa barang dari Renjanu. Ia mencari sampai ke kolong kasurnya pun tak membuahkan hasil.

Tidak ada barang peninggalan Renjanu di dalam kamarnya. Apa Renjanu tidak memberikannya atau ia sendiri yang menghancurkan barang dari Renjanu? Anjani benar-benar tidak paham alur seperti apa yang tengah ia jalani kini.

Gadis itu mondar-mandir di kamarnya mencoba mencari petunjuk. Hingga ponselnya mulai berdering. Nampak nama Harsa tertera di sana. Untuk apa lelaki itu menelponnya padahal pesan yang ia kirimkan dijawab dengan acuh.

Walaupun masih ada rasa kesal pada Harsa. Gadis itu tetap memilih mengangkat teleponnya. Siapa tau Harsa berubah pikiran dan membantunya menemukan Renjanu.

"Gue kasih tau lo sekali lagi," suara Harsa meninggi terdengar penuh amarah. "Lo ngga usah cari Janu, ngga usah ganggu hidupnya. Udah cukup lo rusak hidup Janu," makinya.

Anjani tak mengerti mengapa Harsa sampai setega itu mengatakan kalimat yang sangat kejam. Harsa yang ia kenal tidak mungkin melakukkannya. "Harsa," panggil Anjani penuh keterkejutan. "Boleh ngga Jani tau apa alasannya?"

Decakan kesal Harsa mampu masuk ke telinga Anjani. Lelaki itu benar-benar kehilangan kesabarannya. "Lo udah hancurin hidup Janu, lo lupa? Atau lo pura-pura lupa?" suara Harsa kian meninggi.

Jantung Anjani berdegup kencang. Rasanya ia seperti terhantam rasa ketakutan. "Jani ngga tau apa-apa," ujarnya. Bukan tak tau, tapi tidak ingat.

"Lo pura-pura bodoh apa gimana sih?" Amarah Harsa makin terdengar nyata. "Gue bilang untuk terakhir kalinya, lo ngga usah cari Renjanu lagi."

Telepon tertutup bersamaan dengan tubuh Anjani yang terasa lemas. Kepalanya berdenyut makin menjadi. Semuanya makin berat dan Anjani tenggelam dalam ketidaksadaran.

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🆄

Napsu makan Anjani makin hilang. Ia hanya mengaduk-aduk makan siangnya tanpa ada niat untuk menyuapkannya ke dalam mulut. Ia tidak makan makanan pinggir jalan seperti saat bersama Renjanu. Selama ia dengan Taraka, ia selalu makan di tempat yang bersih dan terkesan mewah.

Anjani tidak yakin spaghetti ini akan cocok masuk ke dalam mulutnya. Dirinya rindu rasa nasi goreng gila langganannya. Campuran antara mie dan nasi serta bumbu rempah yang mengeluarkan aroma harum. Mungkin Anjani akan menikmati makanan itu saat ini.

"Makanannya ngga enak?" tanya Taraka penuh perhatian.

Anjani memilih menggeleng tak ingin membuat Taraka khawatir padanya. Lalu perlahan ia mencoba menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya. Sesaat sebelum matanya terbuka lebar. Rasanya terlalu senang melihat sosok yang nampak dari balik kaca cafe.

"Bentar ya," ujarnya. Ia buru-buru lari keluar cafe menuju sosok yang amat ia kenal. Seseorang yang pasti bisa membawanya bertemu dengan Renjanu.

Ekspetasi Anjani terlalu berlebihan. Hatinya terasa patah saat sosok itu membalas sapaannya dengan tatapan sinis. Banyak hal yang aneh terjadi saat ini.

"Kak Ana," panggil Anjani lirih. Seolah memohon pada Riana untuk tidak pergi begitu saja.

"Apa Jani apa? Belum cukup kamu hancurin hidup Janu?" tanya Riana dengan suara yang menggebu-gebu. Ucapan Riana sama dengan yang Harsa katakan padanya semalam.

Sebenarnya apa yang Anjani lakukan? Apa yang Anjani lakukan sampai menghancurkan hidup Renjanu? Mengapa semua orang menjadi membencinya?

"Kak Ana, Jani ngga bermaksud gitu," ujar Anjani. Entahlah ia sendiri pun tak tau apa maksud ucapannya sendiri. Semuanya spontan keluar daru mulutnya.

Anjani menahan tangan Riana. Ia tidak mau Riana meninggalkan. Anjani ingin Riana membawanya bertemu dengan Renjanu. Apapun reaksi Renjanu nanti Anjani siap menerimanya.

"Gue ngga akan biarin lo ketemu Renjanu. Bahkan sampai gue mati," ucapan pedas keluar dari mulut Riana.

Kalimat itu terasa menyayat hati Anjani. Mencabik-cabiknya sampai hancur berkeping-keping. "Kak Ana, Jani mohon," ia mencoba membuat Riana mau membantunya.

Sayangnya rasa benci sudah memenuhi Riana. Gadis itu tidak akan membiarkan Anjani menemui atau melukai adik tersayangnya lagi. "Udah cukup Jani, udah cukup!" suaranya meninggi.

Riana meneteskan air mata. Gadis itu menangis bersamaan dengan dadanya yang terasa sesak. "Udah cukup Jani, jangan buat Janu makin sakit," kini berganti Riana yang memohon pada Anjani.

Riana nampak sangat tersakiti. Gadis itu sampai memegang erat dua tangan Anjani. "Jangan ganggu Janu lagi. Bukannya udah cukup lo sekarang sama Taraka?"

Kepala Anjani menggeleng kuat. Tidak, ia tidak bisa menerima ini begitu saja. Mana mungkin ia mampu untuk tidak bertemu dengan Renjanu. Bahkan saat ini ia sangat merindukan lelaki itu.

Anjani merindukan semua hal tentang Renjanu. Senyuman lelaki itu, tangannya yang selalu mencubit pipi Anjani dengan gemas, gombalan-gombalan yang membawa gerombolan kupu-kupu di dalam perut Anjani.

Gadis itu menangis kencang. "Sekali aja Kak Ana, ijinin Jani ketemu Janu," Mohonnya.

Sama kekehnya dengan Anjani. Riana tetap melarang Anjani bertemu dengan Renjanu. "Jani selama ini bisa kan hidup tanpa Janu? Tiga tahun ini Jani ngga cari Janu, kan? Jani tetep baik-baik aja? Biarin Janu hidup bahagia," suara Riana tak lagi tinggi. Kini nadanya rendah, lembut, penuh permohonan.

"Kak Ana," lirih Anjani sekali lagi memohon. Sayangnya Riana tetap menolaknya. Riana melepaskan genggaman tangannya.

"Jani dan Janu sekarang hidup masing-masing aja. Kak Ana mohon ke Jani, bener-bener mohon ke Jani. Tolong, jangan cari Janu. Kak Ana sayang Jani, tapi Kak Ana jauh lebih sayang Janu," ujarnya sebelum ia menjauh dari Anjani.

Gadis itu tak lagi mengejar atau pun menahan Riana agar tak pergi. Ia hanya memandangi punggung Riana yang kian mengecil. Air mata membuat pandangannya makin kabur. Namun, ia sudah tidak punya tenaga untuk menghapusnya. Anjani hanya diam, membeku, membisu. Tak tau apa yang harus ia lakukan setelah ini.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now