32. Hai Janu, Api Cemburu Taraka

17 7 1
                                    

"Lo ketemu Renjanu, kan?" pertanyaan Taraka yang terdengar seperti pernyataan mampu membuat Anjani membuka matanya lebar-lebar. Sekarang, semuanya sudah terkuak, dan ia harus menghadapinya.

Anjani memalingkan wajahnya, kepala tertunduk, dan matanya menatap lantai kamarnya. "Ng ... Ngga kok," jawabnya dengan terbata-bata, tetapi suaranya tidak terlalu meyakinkan.

Taraka mencoba membuat Anjani menatapnya, tetapi gadis itu langsung memalingkan wajahnya lagi. Emosi Taraka sudah hampir mencapai titik batas. Ia merasa frustrasi dan bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi, tetapi saat ini, ia lebih khawatir tentang kondisi Anjani yang tidak baik-baik saja. Ia ingin menjaga ketenangan dan menghindari pertengkaran di saat seperti ini.

Taraka sudah tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan pada Anjani. Ia menghela napas panjang dengan perasaan yang rumit sebelum akhirnya meninggalkan kamar Anjani.

Mata Anjani menatap pintu kamar yang tertutup perlahan, dan saat itu, ia merasa dirinya semakin sendirian dalam kebingungannya. Semuanya terasa rumit, dan ia tahu bahwa ada banyak pertanyaan dan masalah yang harus dihadapinya dalam waktu yang akan datang.

Anjani merebahkan kepalanya di atas bantal, tetapi tidur sepertinya tidak akan datang dalam situasi yang rumit ini. Ia terus bergumam, mengucapkan banyak pertanyaan yang menghantui pikirannya.

"Kenapa Jani ngga bisa? Apa emang Jani harus milih Janu atau Taraka? Emang ngga boleh kalau Jani mau menyelamatkan mereka berdua?" gumamnya dengan suara pelan, mencoba merenungkan berbagai pertanyaan yang terus mengganggu pikirannya. Anjani merasa seperti ia berada dalam persimpangan yang sulit, dan keputusan besar yang akan memengaruhi masa depannya menantinya.

Tanpa disadarinya, kantuk akhirnya mendatangi Anjani. Matanya menjadi berat, dan akhirnya terpejam. Esok hari mungkin tidak akan lebih baik, tetapi Anjani berharap dia akan mampu menghadapinya dengan kekuatan dan ketenangan yang lebih baik. Ia memasuki tidurnya dengan sejumlah masalah yang belum terselesaikan, namun dalam tidurnya, mungkin ia akan menemukan ketenangan sesaat.

Benar saja, pagi hari dia sudah dihadang oleh Taraka. Lelaki itu bersiap menghujamnya dengan banyak pertanyaan. Anjani tau bahwa Taraka memang menunggu jawaban jujur darinya.

"Lo mau ketemu Renjanu, kan?" Mendengar pertanyaan Taraka seperti bertemu dengan Taraka tiga tahun lalu. Lelaki itu nampak dingin dan tak tersentuh. Apa ini sebab Anjani menemui Renjanu?

Kepala Anjani mengangguk, tak ada gunanya lagi ia berbohong pada Taraka. Toh lelaki itu akan terus mempertanyakan hal yang sama dan kemungkinan lebih buruknya, Taraka akan menghalanginya untuk bertemu Renjanu.

Jauh dari ekspektasi Anjani. Nyatanya Taraka hanya mengangguk tanpa ekspresi. "Lo mau gue antar?" pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Taraka, membuat Anjani tersentak kaget. Ada yang salah dengan reaksi Taraka, dan Anjani merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam terjadi di balik tawarannya ini.

Mulut Anjani terbuka lebar, dan dia menatap Taraka dengan penuh keheranan. "Hah?" ucapnya spontan, kebingungannya terpancar dari wajahnya.

Taraka mengulang pertanyaannya sekali lagi, "Lo mau gue antar?" Meskipun Taraka sudah mengucapkan hal ini dua kali, ia masih terlihat tidak percaya dengan tawarannya sendiri. Ada sesuatu yang sangat aneh dalam reaksi Taraka, dan Anjani merasa bahwa ada lebih banyak yang harus ditemukan.

"Gue mau mastiin lo baik-baik aja di sana." Ia memberikan penjelasan. Lalu Anjani mengangguk mengerti.

Sayangnya, Anjani menolak tawaran Taraka. Bukan curiga adanya niat lain. Anjani hanya ingin menghabiskan waktu bersama Renjanu. Lebih tepatnya menghabiskan waktu berdua.

"Kenapa?" Taraka tak mengerti kenapa Anjani menolaknya. Dalam pikirannya membiarkan Anjani bertemu Renjanu adalah hal terburuk yang pernah ada.

"Gapapa, Jani cuma pengen ketemu Janu aja," jawab Anjani dengan polos.

Perubahan raut Taraka langsung terlihat nyata. Mata lelaki itu berubah menajam. Tatapannya yang penuh dengan rasa kebencian. "Jadi lo ngga mau ada gue di sana?"

Entah Anjani yang terlalu bodoh, atau ucapan Taraka yang terlalu tinggi. Gadis itu tak mengerti maksudnya dan mengangguk saja. Memang itu kan alasannya?

"Oke," jawab Taraka singkat. Tentu Anjani langsung berangkat tanpa mengatakan apapun. Hanya melambaikan tangan pada Taraka dan tersenyum penuh.

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🅸

K

aki Anjani terus melangkah, tetapi dia mulai mendengar langkah kaki lain yang terus mengikutinya. Langkah-langkah itu seolah-olah beriringan dengan langkah Anjani, dan bahkan semakin mendekati ketika Anjani mempercepat langkahnya.

Rasa takut mulai memenuhi pikiran Anjani. Jantungnya berdegup kencang, dan kakinya terasa seperti ingin berlari tanpa henti, meskipun napasnya hampir putus. Situasi ini membuatnya merasa sangat terancam dan cemas. Apakah ini seseorang yang mengikutiinya, ataukah hanya khayalan belaka? Kakinya seperti terus ingin berlari tanpa memberikan jeda meski napasnya terasa hampir putus.

"Jani." Suara Renjanu yang tiba-tiba muncul membuat Anjani terhenti. Rasa cemas yang melandanya segera digantikan oleh rasa aman saat ia merangkul Renjanu.

"Janu," bisik Anjani dengan suara lembut, membuat Renjanu menundukkan kepalanya untuk mendengarkan. "Ada yang mengikuti Jani," ia bisikkan lirih. Anjani tak ingin mengambil risiko jika memang ada seseorang yang mengikutinya.

Renjanu mengedarkan pandangannya di sekitar, mencari tanda-tanda keberadaan siapa pun yang mungkin mengikuti Anjani. Namun, ia tidak melihat apa pun yang mencurigakan, hanya suasana taman yang tenang dengan pengunjung yang nampak biasa.

Ia mengusap kepala Anjani dengan lembut, mencoba menenangkan gadis itu. Kemudian, ia mengajaknya untuk duduk di rerumputan di tepi danau, menciptakan suasana yang lebih tenang. Renjanu berada di sampingnya, siap menjaga Anjani.

"Oh iya, ada satu yang mau Janu tanyain," ujarnya memecah keheningan. Anjani menatapnya penuh rasa penasaran. Menunggu apa yang akan Renjanu tanyakan. "Jani ke sini naik apa? Ini jauh banget loh dari rumah?" tanya Renjanu heran.

Anjani mencebikkan bibirnya kesal. Bisa-bisanya Renjanu meremehkan dirinya. "Jani udah besar tau!" gerutunya. "Jani bisa ke sini naik bis, 2 kali transit lagi." Anjani menyombongkan dirinya yang mempu ke tempat ini sendirian.

Nyatanya kali ini Anjani tidak benar-benar datang ke tempat ini senndirian. Perasaan Anjani ada yang mengikutinya memang benar. Pasalnya kini seorang lelaki tengah mengepalkan tangannya penuh emosi. Bersembunyi di balik pohon besar dengan memakai topi yang menutupi setengah wajahnya.

Siapa lagi kalau bukan Taraka. Jawabannya memang membiarkan Anjani berangkat sendiri tapi ia tidak melakukan itu. Anjani dan Renjanu bahagia dalam pertemuan mereka, tidak menyadari bahwa mereka tengah diamati oleh Taraka. Cemburu yang membara di dalam hati Taraka semakin terbakar oleh pandangan mereka yang mesra.

Teriknya siang ini menjadi metafora sempurna bagi api cemburu yang berkobar dalam dada Taraka, melihat Anjani bahagia bersama Renjanu.

Tangan Taraka yang tengah mengepal kuat, menghantam pohong tak bersalah di hadapannya. Perlahan ia menjauh, menghindari pemadangan itu semakin lama.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now