22.Hai Janu, Jani Mengkhawatirkan

24 7 0
                                    

Tangannya penuh, satu berada di genggaman Taraka dan sebelah kanannya memegang gagang kembang gula kapas berbentuk karakter bintang laut pink favoritnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tangannya penuh, satu berada di genggaman Taraka dan sebelah kanannya memegang gagang kembang gula kapas berbentuk karakter bintang laut pink favoritnya. Gadis itu berjalan dengan gembira. Dia sudah naik rollercoaster yang harus tertunda sepuluh menit sebab pusing kepalanya.

Matahari tak seterik siang biasanya. Mereka berdua memutuskan makan di sebuah restoran yang berada di sana. Sayangnya tak ada nasi goreng gila yang dapat Anjani pesan atau bakso seperti yang Pak Agus jual.

Ia memesan ayam goreng beserta nasinya. Lagi-lagi Anjani merasa aneh pada dirinya sendiri. Ini bukan hal yang dia sukai, tetapi ia terus menikmatinya tanpa komplen.

Dirinya tetap menikmati makanannya. Namun, sejak tadi raut muka Anjani tak menunjukkan hal itu. Ada banyak hak yang mengganjal dalam benakknya.

"Ngga suka, ya?" tanya Taraka bingung. Selama bersamanya, Anjani selalu memesan menu itu dan gadis itu selalu menyukainya. "Apa ada yang aneh?" bisiknya. Ia berbicara dengan lirih sebab tak ingin menganggu kenyamanan pembeli yang lain.

Gadis itu menggeleng. Makanannya terasa biasa saja. Namun, lidahnya seperti sangat menikmati makanan itu. "Abis ini pulang yuk," ajaknya.

Nampak raut kecewa di wajah Taraka. Bahkan masih banyak waktu sebelum malam yang bisa mereka habiskan seperti biasanya. Mengapa hari ini gadis itu mengajak pulang lebih awal?

Tak mau pusing sendiri dan banyak bertanya. Taraka lebih memilih mengangguk mengalah. Bisa jadi karena keadaan gadis itu yang kurang baik hari ini, hingga ingin pulang lebih awal.

Tangan Taraka terulur menyentuh dahi Anjani. Mengecek suhu tubuh gadis itu. Memang tidak ada tanda demam sama sekali. Namun, melihat Anjani yang lemas beberapa waktu lalu membuat Taraka tak tega memaksa gadis itu untuk tetap bersamanya.

"Sebelum pulang kita beli obat dulu," ucapnya.

Anjani yang tak merasakan dirinya sakit lebih memilih menolak ajakan Taraka. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Jani cuma butuh istirahat aja kok," bujuknya. Ia tidak mau lagi berurusan dengan dokter sebab perjalanannya ke masa lalu.

Memangnya ada orang normal yang akan percaya dengan perkataannya? Bagaimana bisa seseorang kembali ke masa lalu dan mengubah takdir? Itu adalah hal yang sangat tidak masuk akal.

Anjani sendiri awalnya juga tidak percaya bahwa ia bisa melajukan hal itu. Ia pikir semua sejak awak hanyalah mimpi. Hingga ia sendiri tidak ingin terbangun.

"Jani," suara panggilan pelan Taraka mencoba membuyarkan lamunan Anjani. "Jani," panggilnya sekali lagi sebab belum mendapat respon.

Lelaki itu mengibaskan tangannya di depan wajah Anjani. "Anjani." Hari ini ia terlalu sering melihat gadis itu melamun. Seperti ada beban berat yang tengah gadis itu pikirkan.

"Kalau ada apa-apa cerita aja," ujar Taraka dengan senyumannya.

Anjani mengangguk sembari tersenyum juga. Ia mengingat dirinya juga pernah mengatakan kalimat yang sama pada Taraka beberapa tahun lalu. Walaupun jika di dalam ingatan Anjani hal itu baru terjadi kemarin.

"Jangan dipendam sendiri, ya?" Taraka menatapnya penuh permohonan. Tangannya terulur mengusak pelan rambut Anjani. "Ada aku, Janu."

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🅸

Anjani mengetuk-ngetuk layar ponselnya. Jika saat itu ia tidak menemukan kontak Taraka di ponselnya. Kali ia tidak dapat menemukan kontak Renjanu di sana. Rasanya aneh tapi lebih aneh lagi Anjani tidak ada keinginan mencari lelaki itu. Bahkan tak ada sedikitpun hasrat memastikan lelaki itu baik-baik saja.

Kamarnya tidak ada satu pun barang yang bersangkutan dengan Renjanu. Hanya kamar bernuansa lilac dengan hiasan kecil di dindingnya. Tak ada fotonya dengan Renjanu. Hanya ada satu buah foto di sana.

Foto pada sebuah frame kecil yang dipajang di atas meja belajarnya. Foto kelulusannya bersama Taraka. Anjani memandang foto itu dengan seksama.

Matanya menangkap sosok Renjanu dibelakangnya. Hatinya terasa panas penuh amarah. Tangannya gemetar hingga tak sengaja membuat foto itu terjatuh.

Pecahan kaca dari frame foto itu berceceran di lantai. Suara jatuhnya pun terdengar sampai ke kamar ibunya. Membuat wanita itu dengan panik masuk ke kamar Anjani.

"Ada apa Jani?" tanya mamanya panik.

Anjani menggeleng pelan, tak ingin membuat ibunya khawatir. Ia mencoba membereskan pecahan kaca itu. "Jani gapapa, Ma," ujarnya dengan senyuman.

Mamanya menghela napas lega. Lalu membantu Anjani membereskan ke kekacauan itu. Untungnya Anjani tidak mendapatkan luka sebab kejadian.

Saat tengah membersihkan, Anjani memegang erat foto itu. Matanya menyalang penuh rasa tak suka. Ia sendiri heran dengan dirinya. Mengapa terlihat sebenci itu dengan Renjanu? Sebenarnya apa yang terjadi denganhya?

Tangan mamanya dengan cepat merebut foto itu dari Anjani. Lalu wanita itu ikut terkejut melihat orang yang ada di belakang foto Anjani.

Mama Anjani menyembunyikan foto itu di belakang punggungnya. Benar-benar mencoba untuk menyembunyikan foto itu dari Anjani.

Tentu saja hal itu mengundang bingung di benak Anjani. Hingga gadis itu tak fokus sampai melukai dirinya sendiri. Jarinya tak sengaja menyentuh ujung lancip dari pecahan kaca.

"Ya ampun, Jani," mamanya langsung panik kalang kabut.

Bagi Anjani itu buka sebuah luka besar. Hanya sebuah goresan kecil yang meneteskan darah. Ibunya saja yang memiliki reaksi yang berlebihan.

"Sebentar, mama carikan obat sama plaster." Mamanya keluar dari kamar Anjani. Wanita itu juga membawa foto yang membuat Anjani terus merasa bingung.

Gadis itu menghela napas panjang. Ia terus mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Namun, yang ia temukan terus-menerus adalah jalan buntu.

Memang ada yang salah dengan dirinya dan tentu pada hubungannya dengan seorang Gardana Renjanu. Apa hal yang membuatnya sampai melihat lelaki itu seperti membakar hatinya?

"Ini Jani kenapa sih?" gerutubya sebab tak menemukan jawaban di dalam kepalanya. "Jani kenapa ngga suka lihat Janu? Kenapa ngga mau nyari Janu? Kenapa?"

Ia terus merenung hingga darah pada jarinya sudah tak menetes lagi. Baru mamanya datang dengan beberapa obat luar beserta plester luka.

"Hati-hati dong, Jani. Mama itu khawatir banget sama kamu," ujar mamanya. Ia merasa jantungnya seperti akan berpindah dari tempatnya saat melihat anak semata wayangnya terluka.

Anjani terkekeh, ia menganggap reaksi ibunya terlalu berlebihan. "Jani gapapa, Ma," ucapnya lagi berharap mengurangi rasa khawatir pada ibunya.

Sayangnya tidak bisa semudah itu. Mama Anjani masih merasa khawatir pada anaknya bahkan tak kurang sedikit pun. "Gimana kalau tadi mama ngga kesini? Pasti kamu kenapa-napa," ujarnya.

"Ngga mungkin, Ma," jawab Anjani. "Lagian ini cuma luka kecil kok," lanjutnya sembari memperlihatkan luka pada ibunya.

Itu benar-benar hanya sebuah goresab kecil. Bukan sebuah masalah besar untuk Anjani.

"Lain kali Jani harus hati-hati, kalau ada apa-apa bisa panggil mama," ujar mamanya dengan penuh kekhawatiran.

Apa semengkhawatirkan itu keadaan Anjani sekarang. Tadi Taraka dan sekarang ibunya. Gadis itu memasang senyum lebar lalu mengangguk. "Siap, Mamaku sayang."

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now