10. Hai Janu, Mari Habiskan Waktu Lebih Lama

41 12 2
                                    

"Janu!" pekik Anjani, mencoba menghentikan Renjanu yang tak kunjung berhenti menjahilinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Janu!" pekik Anjani, mencoba menghentikan Renjanu yang tak kunjung berhenti menjahilinya. Dari merebut sebungkus cimol yang Anjani makan dan melahapnya habis dengan cepat. Sekarang lelaki itu bahkan berani membuang sambal dari pecel ayam yang Anjani pesan, tanpa sedikit pun rasa bersalah.

Renjanu hanya terkekeh dengan wajah puas, menikmati reaksi Anjani. "Jani kan bilang nggak mau makan pedas," ucapnya sambil mengingatkan Anjani.

Gadis itu merengut dan mencebikkan bibirnya dengan kesal. Pipinya terlihat menggembung. "Itu kan cuma dikit, Janu," ujarnya dengan nada protes yang jelas terdengar.

"Dari tadi Jani bilang dikit terus," balas Renjanu dengan tawa masih terdengar di suaranya. Dia tidak ingin kalah dalam perdebatan kecil ini. "Kalau hari ini Jani nggak makan pedes, besok Janu bawain sesuatu."

Raut muka Anjani langsung berubah setelah mendengar kalimat Renjanu. Matanya berbinar-binar, dan seketika senyum merekah di wajahnya. Dia tahu betul bahwa Renjanu tak akan pernah mengingkari apa yang dia ucapkan. "Janji ya?" Anjani mengacungkan jari kelingkingnya, dengan ekspresi penuh harap.

Renjanu mengangguk mantap sambil mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Anjani. "Iya, janji," sahutnya dengan senyum hangat.

Keduanya sampai tak sadar bahwa ada orang lain di sana. Taraka dan Riana yang seperti kasat mata.

"Nggak mau lagi deh makan bareng kalian," cicit Riana kesal. Memang dia terbiasa dengan kedekatan Anjani dan Renjanu. Bahkan dirinya sering menjadi obat nyamuk.

Anjani dan Renjanu menoleh Riana dengan wajah memelas. "Maaf ya, Kak Ana," pinta Anjani.

Riana menggeleng, "Nggak Kakak maafin kalau kita nggak makan dulu. Ini Kakak udah lapar tapi nunggu kalian bukannya makan malah debat," ucap Riana. Dia tidak marah, dirinya hanya lapar. "Taraka pasti juga udah laper." Riana beralih menatap Taraka seolah meminta pembelaan."

Dengan ragu Taraka mengangguk pelan tanpa mengatakan apapun.

"Tuh kan, ayo sekarang makan," ajak Riana dengan penuh semangat.

Perjalanan pulang menjadi terasa sangat cepat, dan tak terasa Anjani harus segera turun dari atas motor yang ia tumpangi. "Nggak bisa apa kita jalan-jalan dulu?" rengek Anjani dengan nada manja, seolah-olah enggan untuk pulang.

Rasanya ia masih merindukan sosok Renjanu, dan ingin waktu bersamanya lebih lama. "Muter-muter dulu terus pulang?" pintanya dengan penuh harapan.

Agak terasa aneh bagi Renjanu, karena biasanya Anjani langsung ingin pulang begitu sampai di depan rumahnya. Namun, kali ini, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. "Boleh," jawab Renjanu meskipun masih merasa janggal. Dia merasa senang bisa lebih lama bersama Anjani.

"Emang tadi masih kurang?" tanya Renjanu dengan nada penasaran sesaat setelah melajukan kembali motornya.

Kepala Anjani mengangguk pelan. "Kan jarang-jarang juga Janu bawa motor ke sekolah," ucapnya sambil tersenyum. Memang benar, Renjanu sering berjalan kaki ke sekolah karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah. Itu juga yang menjadi alasan Anjani ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya.

"Mau beli makan lagi?" Renjanu menunjuk pedagang kaki lima yang berjejer di tepian jalan yang mereka lewati. Dia ingin memastikan bahwa Anjani benar-benar merasa puas hari ini.

Anjani sudah tidak ingin makan lagi. Perutnya sudah penuh sebab belum ada 10 menit yang lalu terisi. Lagipula dia juga tidak akan diperbolehkan Renjanu makan-makanan pedas hari ini.

"Aduh," rintih Anjani saat helm yang ia kenakan membentur punggung Renjanu.

Motor berhenti mendadak. Renjanu menoleh ke arah Anjani memastikan gadis itu baik-baik saja. "Maaf, Jani ngga apa-apa kan?"

"Ngga apa-apa Janu. Motornya kenapa?" tanya Anjani penasaran.

Renjanu tidak tau pasti apa yang terjadi dengan motornya ini. Apa dia marah karena jarang digunakan? Entahlah, Renjanu merasakan tak nyaman saat membawa motornya ini melaju.

"Bisa turun dulu?" Renjanu meminta Anjani untuk turun dari motor, sambil ia sendiri turun dan berjongkok untuk melihat apa yang salah dengan motor tersebut.

Ia mendapati ban motornya yang kempes, dan juga sebuah batu yang menancap di sana. Renjanu menghela napas panjang, sedikit frustasi. Meskipun ia tahu ada bengkel di daerah sini, ia tidak ingin membawa Anjani ke sana. Selain jauh, di sana terlalu banyak laki-laki yang tengah nongkrong, dan Renjanu ingin menjaga Anjani dari situasi yang mungkin tidak nyaman.

Renjanu berdiri sembari memikirkan cara untuk Anjani bisa pulang dengan nyaman. "Jani mau pulang sendiri?" Dia tidak bertanya apakah Anjani bisa pulang sendiri, sebab sudah cukup jelas bahwa gadis itu mampu. Pertanyaannya lebih pada apakah Anjani ingin pulang sendiri atau tidak.

Anjani menggeleng kencang sebagai jawaban. "Terus ninggalin Janu sendirian? Nggak mau," tegasnya dengan mantap.

Tangan Renjanu terulur mengusap kepala Anjani dengan lembut. Gadis itu sudah melepas helmnya sesaat setelah turun dari motor. "Kalau Jani nggak mau pulang sendiri, motornya Janu tinggal sini dulu. Kita jalan kaki?" tawarnya dengan senyum hangat.

Sebenarnya itu tawaran yang menarik bagi Anjani, menghabiskan waktu berjalan bersama Renjanu. Namun, ia merasa tidak enak jika harus membuat Renjanu meninggalkan motornya di tepi jalan.

Lelaki itu terkekeh melihat raut wajah Anjani yang nampak kebingungan. "Di situ ada warung. Janu nggak akan ninggal motor di tepi jalan kok," jawab Renjanu seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gadis itu.

Suasana sore yang cukup dingin. Angin yang bertiup menembus baju seragam yang Anjani kenakan. Sebuah earphone sudah bertengger di telinga kiri Anjani. Lagu milik band Oasis itu mulai menggema di telinga Anjani.

"Anjani!" Seketika Anjani langsung menoleh tatkala mendengar suara memanggilnya.

"Oh, Taraka," ujarnya sambil tersenyum ketika melihat sosok Taraka yang memberhentikan motornya tak jauh dari tempat Anjani berdiri.

"Ngapain jalan kaki?" tanyanya dengan rasa penasaran yang terpancar di wajahnya.

Anjani diam sejenak, mempertimbangkan cara terbaik untuk menjelaskan. "Motor Janu bannya bocor terus, jadi kita tinggalkan di sana," jawabnya sembari menunjuk ke arah warung tempat Renjanu menitipkan motornya.

Anggukan mengerti menjadi respon Taraka pada jawaban Anjani. "Terus lo mau pulang?" tanyanya lagi.

Sebenarnya Anjani masih ingin menghabiskan waktu dengan Renjanu. Berkeliling di tempat ini sembari menikmati suasana senja. Sayangnya motor Renjanu malah tidak bisa diajak kompromi. Namun, tak apa, Anjani suka suasana sekarang.

"Lo bisa anter Jani pulang?" Renjanu memotong pembicaraan Anjani dengan Taraka. Lelaki itu sukses membuat Anjani terkejut.

Anjani merasa kaget dan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun setelah mendengar kalimat Renjanu. Matanya membulat sempurna. Dengan penuh amarah gadis itu menatap tajam Renjanu.

"Bisa," respon Taraka singkat. "Ayo!" ajaknya, sementara Anjani masih diam, merenung dengan tatapan mata menusuk Renjanu.

"Anjani!"

"Anjani!"

"Anjani" Suara-suara yang masuk ke indera pendengaran Anjani tidak membuat gadis itu memberikan jawaban apapun.

"Anjani!"

"Anjani." Semakin didengar, suara itu semakin terdengar berbeda. Makin lama suara itu bukan suara Taraka.

"Jani, bangun."

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now