47. Hai Janu, Jani Capek

14 4 0
                                    

"Kita ketemu lagi Anjani." Jantung Anjani terasa hampir berhenti berdetak. Matanya menatap lamat lelaki yang kini berdiri di hadapannya. Sepertinya sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan lelaki itu.

Banyak sekali perubahan yang nampak jelas dari wajah lelaki itu. Banyak hal yang ia capai tetapi tak ada sedikitpun kebahagian terpancar dari wajahnya. Kenapa? Anjani sendiri juga ingin tau.

"Taraka," panggilnya suaranya lirih tapi terdengar jelas kekagetannya. "Apa kabar?" Satu kalimat singkat yang ia lontarkan.

Nyatanya kembali ke masa lalu malah membuat semuanya semakin buruk. Tak hanya kehilangan Renjanu. Ia rasa hubungannya dan Taraka sangat buruk. Asing, dan bahkan Taraka nampak seperti membenci dirinya.

"Seperti yang lo lihat," jawabnya. Semuanya nampak baik-baik saja. Seperti melihat Taraka yang dulu. Sifatnya yang dingin dan acuh terasa semakin kental.

Anjani merasakan rasa penyesalan yang dalam dan kekosongan yang tiba-tiba memenuhi hatinya. Dia merasa telah dikhianati oleh janji-janji Renjanu yang tak pernah terlupakan. Segala pengorbanan dan usaha yang telah dilakukannya merasa sia-sia.

Dia merasa begitu terdampar di antara masa depan yang tidak pernah berhasil ia ubah dan masa lalu yang sepertinya semakin suram. Air mata terus mengalir, dan ia merasakan kehampaan yang tak terkira. Yang tinggal hanyalah kenangan yang pahit dan nisan di makam Renjanu.

Anjani merenung, mencoba merasakan getaran waktu yang berlalu. Ia tidak tahu apakah masih ada harapan atau kesempatan untuk mengubah nasibnya. Yang ia tahu hanyalah, saat ini dia merasa benar-benar sendirian di antara kenangan masa lalu dan impian masa depan yang terenggut.

"Makasih udah bertahan," suaranya lihir hingga Taraka sendiri tak mendengar apa yang gadis itu ucapkan.

Taraka mencondongkan tubuhnya. Berharap Anjani mengulang kembali kalimat yang dia ucapkan.

Lalu gadis itu menggeleng. "Seneng deh lihat Taraka sukses," ujarnya sembari memberikan senyum terbaik yang ia bisa.

Taraka masih sama dengan wajah datarnya. "Makasih," ucapnya. Ia menatap manik mata Anjani melihat ada sebuah kesedihan besar di dalam sana. "Lo ngga balik ke tempat itu lagi?" tanyanya. Tempat yang Taraka maksud adalah masa lalu. Dimana Anjani ingin mengubah semuanya menjadi lebih baik,  tetapi malah menghancurkan masa depan.

Anjani menggeleng perlahan. "Jani ke sana juga ngga ngerubah apapun. Semuanya makin hancur, ngga ada yang berjalan sesuai yang Jani mau."

Ia tahu bahwa terlalu banyak campur tangan dalam waktu dapat berakibat buruk. Anjani ingin berfokus pada hidupnya sekarang dan membuat keputusan terbaik untuk masa depan yang baru ia bina, tanpa mengubah sejarah yang telah terjadi.

"Lo yakin?" Suara Taraka terdengar kaget. Ia tidak akan percaya semudah itu. Mana mungkin Anjani membiarkan Renjanu berada di bawah tanah itu. Lalu melanjutkan hidupnya sekarang.

Anjani sendiri kembali ragu. Ia tidak ingin semakin menghancurkan semuanya. Tapi ia juga tidak ingin kehidupan seperti ini.

"Ngga seyakin itu," ujarnya. Kepalanya menunduk. Menatap tanah berbatu yang menjadi pijakannya sekarang.

Taraka mengerti bahwa keputusan Anjani tidak bisa diambil begitu saja. "Lo harus mutusin itu sendiri."

Anjani merenung sejenak. Dia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit. Mengubah masa lalu atau membiarkannya dan membangun masa depan yang lebih baik. Kakinya bergerak memutar membentuk jejak di tanah. "Ya, Jani masih butuh waktu," ujarnya.

Keduanya sejak tadi mengobrol di depan pemakaman.  Anjani tahu bahwa setiap keputusan membawa konsekuensi, dan saatnya dia harus memilih bagaimana dia akan menjalani hidupnya tanpa mengubah masa lalu.

Ia melangkah perlahan makin jauh dari tempat itu. Bersama Taraka yang ikut berjalan di belakangnya. "Lo tau seberapa benci gue sama dia?" Anjani yakin sekali dia yang Taraka maksud adalah Renjanu.

Gadis itu menggelengkan kepala. Bahkan ia tidak ingin mendengar apapun alasan Taraka membenci Renjanu. Apapun itu, Anjani tidak mau mendengar.

Namun, Taraka tidak paham akan maksud gelengan Anjani. "Renjanu selalu jadi nomor satu," ujarnya. Taraka menatap langit siang itu yang terasa begitu terik.

Siang terik menyinari jalan raya yang memanjang, menciptakan bayangan panjang dari dua sosok yang berjalan kaki. Jalanan yang terlihat begitu panjang dan terbuka, dengan kendaraan yang sesekali melaju di sekitar mereka. Suara kendaraan dan klakson di sekitar menciptakan kesibukan di tengah cuaca yang cerah. Langit cerah tidak selaras dengan isi percakapan mereka.

"Apapun itu gue selalu kalah sama dia," lanjutnya. Ingin rasanya Anjani menutup telinganya rapat-rapat. Apa Taraka akan marah jika Anjani melakukan itu?

Anjani melangkah makin cepat. Dia ingin sekali menghindari pembicaraan ini. Apa sebegitu bencinya Taraka pada Renjanu hingga lelaki yang sudah berada di alam lain masih ia taruh rasa dendam.

Anjani merasa situasi semakin tegang. Dia tidak ingin terlibat dalam pembicaraan yang mempertanyakan perasaan Taraka terhadap Renjanu. Keduanya terus berjalan, mencoba melupakan hal tersebut dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Suasana jalanan yang sibuk dan terik matahari membuat perasaan mereka semakin tidak nyaman. Keringat turun dari dahinya. Anjani ingin kabur dari sini.

"Termasuk buat sama lo," ujar Taraka. Lalu Anjani tak mendengar lagi suara langkah kaki Taraka yang mengikutinya. Anjani berhenti, entahlah hatinya merasa bahwa ia harus menoleh ke belakang memastikan lelaki itu baik-baik saja.

Mata Anjani menangkap punggung Taraka yang makin menjauh. Lelaki itu pergi tanpa menjelaskan maksud ucapan terakhirnya. "Taraka." Anjani berteriak berharap bahwa lelaki itu akan mendengarnya. "Kita teman, dan selamanya akan begitu."

Anjani berteriak dengan harapan bahwa Taraka akan berhenti atau membalikkan tubuhnya. Namun, lelaki itu terus berjalan menjauh, meninggalkan Anjani yang merasa bingung dan cemas. Mereka telah menjalani banyak perubahan dalam hidup mereka, dan Anjani merasa khawatir kehilangan satu-satunya teman yang selalu ada di sisinya.

Anjani menyerah, ia menghela napas panjang. Berbalik ke arah yang berlawanan dengan Taraka. Berjalan menuju entah kemana. Anjani tidak ingin pulang. Kepalanya terlaku runyam untuk berada di kamar sendirian.

Anjani melanjutkan langkahnya sendirian, tidak memiliki tujuan pasti, hanya berusaha untuk menjernihkan pikirannya yang kacau. Masalah-masalah yang terjadi dalam hidupnya, khususnya mengenai Renjanu dan Taraka, telah membawanya ke dalam pergolakan emosi yang sulit dipahami. Ia merasa kebingungan dan bingung mengenai langkah selanjutnya dalam hidupnya.

"Jani yang salah, semua ini karena Jani," gerutunya sembari menendang batu-batu kecil di tiap langkahnya.

Anjani terus merenung dan merasa bersalah atas segala kebingungannya. Ia menggali dalam-dalam untuk mencari jawaban dan solusi. Kebingungannya semakin meresap dalam setiap langkahnya, dan ia berharap bisa menemukan jalan keluar dari labirin emosinya yang rumit ini.

"Jani capek," keluhnya bersama dengan air mata yang menetes tanpa permisi dari pelupuk matanya.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now