25. Hai Janu, Rindu Serindu Rindunya

33 8 0
                                    

"Kenapa masih nyari Renjanu?" Taraka menatap Anjani penuh heran

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

"Kenapa masih nyari Renjanu?" Taraka menatap Anjani penuh heran. Meski ia melihat gadis itu kini menangis tersendu-sendu tak mengurangi rasa penasarannya.

Anjani mengusap kasar air matanya. Kemudian ia membalas tatapan Taraka. "Jani kangen Janu." Tangisan Anjani kian mengencang setelah mengatakan itu.

Mata Taraka memincing tajam. Ucapan Anjani seperti menggiling hancur hatinya. "Buat apa?" suara Taraka meninggi.

Memangnya ada alasan atas hal itu. Sebuah rasa rindu datang begitu saja, kan? Tidak perlu alasan yang pasti. Terlebih Anjani sudah lama tak bertemu dengan Renjanu.

"Lo benci Renjanu," tekan Taraka. Entah mengapa lelaki itu selalu mengatakan kalimat yang sama. Membuat Anjani seolah-olah benar membenci Renjanu.

"Kenapa? Kenapa Jani benci Janu? Kenapa Taraka selalu bilang kaya gitu tanpa ngasih alesan?" suara Anjani ikut meninggi bersamaan emosinya yang kian memuncak.

Taraka melotot tajam. "Lo ngga amnesia, kan?" Ia menaikkan sebelah alisnya. "Ikut gue sekarang."

Ini terasa tak asing. Waktu Anjani menanyakan dimana Taraka, akhirnya Renjanu memperlihatkan hal yang mengejutkan. Bedanya, Renjanu tetap lembut menuntun tak seperti Taraka sekarang yang penuh dengan emosi.

Anjani siap menerima apapun itu. Sayangnya fisiknya tak sekuat yang dirinya kira. Kepalanya kian memusing. Seperti merasakan bumi ini berputar.

Mana mungkin Taraka memperhatikan Anjani yang sudah melemas. Lelaki itu terlalu di rasuki emosi yang menggebu-gebu. Hingga langkahnya terhenti saat Anjani ambruk. Gadis itu kembali tak sadarkan diri.

"Anjani." Taraka memekik kencang. Paniknya bukan main kembali melihat Anjani lemas bahkan kini sampai tak sadarkan diri.

Buru-buru Taraka menggendong Anjani. Membawanya masuk ke dalam mobilnya. Jantung Taraka berdegup kencang sebab panik. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Menyalip beberapa kendaraan lain yang memperlambat perjalanannya.

Kenapa tubuh Anjani menjadi selemah ini? Sebelumnya gadis itu jarang sekali sakit. Bahkan setahun mungkin ia hanya akan sakit sekali saat pergantian musim. Namun, belakangan ini tubuhnya sering lemas bahkan pingsan.

"Taraka," suara Anjani lemas memanggil Taraka. Lelaki itu menatap Anjani penuh khawatir. Matanya sendu, sayu, menahan air mata yang akan keluar.

"Boleh jangan kasih tau Mama?" Gadis itu memegang erat tangan Taraka. Menatap lelaki itu dengan penuh raut memelas. "Jani mohon."

Kepala Taraka mengangguk meski ia sebenarnya tak ingin melakukan hal itu. "Istirahat ya?" ujar Taraka halus.

Taraka benar-benar menyesali perbuatannya. Apa semua ini karenanya? Apa ia yang membuat Anjani menjadi seperti ini?

"Jani," panggilnya lihir. Matanya makin sayu, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Taraka tak mampu menatap Anjani yang menunggu lanjutan kalimatnya. "Maafin gue, walaupun gue ngga pantes buat dapet maaf dari lo."

Anjani menarik napas dalam. Ia selalu takut kala mendengar suara Taraka yang meninggi, melihat raut Tadaka yang nampak marah. Anjani selalu takut saat itu terjadi. Namun, Anjani tetaplah Anjani. Gadis itu mengangguk, menarik sebuah senyuman kecil.

"Taraka," suaranya lirih memanggil. Perlahan Taraka mendongakkan kepalanya menatap Anjani. "Jani ngga suka Taraka kaya tadi."

"Maaf," pinta Taraka sekali lagi. Hatinya sudah dipenuhi penyesalan. Walaupun, ia tetap membenci Renjanu.

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🆄

Anjani terus merebah di atas kasurnya meski matanya tak dapat memejam. Rasa kantuk pun tak mampu membawanya masuk ke alam mimpi.

Sebuah ketukan pintu membuat Anjani terbangun. Ia hanya duduk membiarkan ibunya membuka pintu kamar. Perlahan masuk ke dalam kamarnya.

Ibunya semakin mendekat, duduk di samping Anjani. Mengusap pelan kepala anaknya. Mamanya menatap penuh rasa kekhawatiran.

"Mama, Jani boleh tanya sesuatu?" Anjani mengumpulkan banyak keberanian. Dia tidak takut dengan pertanyaan, atau jawabannya. Melainkan fisiknya yang kian lama terus melemah. Anjani tak mau membuat ibunya khawatir untuk kesekian kalinya.

"Boleh, mau tanya apa?" Ibu Anjani memberikan senyum kecil padanya. Ia mengusap pelan kepala Anjani. Menyembunyikan besarnya rasa khawatir yang dipendam.

Anjani menarik napas dalam-dalam. Ia ingin sedikit memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. "Mama tau kenapa Jani benci sama Janu?" tatapan Anjani penuh harapan. Ia ingin sekali ibunya memberikan sebuah penjelasan. "Jani ngga ingat apa-apa, Ma. Kenapa Jani lupa semuanya? Kalau Jani benci sama Janu kenapa sekarang Jani kangen banget sama Janu? Kenapa Ma?" Pipi Anjani telah basah. Air matanya menetes tanpa permisi.

Ibu Anjani menarik anaknya ke dalam pelukannya. Memeluk anaknya erat-erat. Ia tidak tau akan menjawab dengan apa pertanyaan anaknya. Ia memberikan usapan lembut pada punggung Anjani. "Mama tau kalau Jani akan kangen sama Janu. Mama tau, Mama tau itu. Mama tau Jani ngga bisa jauh dari Janu, tapi sekarang Jani bisa janji ke Mama buat lupain Janu saja?"

Bukannya mendapat sebuah jawaban. Anjani terus-menerus diminta menjauh dari Renjanu. Ini bukanlah hal yang dia inginkan. Dia tidak mau menjauh dari Renjanu.

Ia tidak langsung menolak ibunya. "Jani ngantuk, Ma," ujarnya menghindar dari pertanyaan ibunya.

Anjani menarik selimutnya sampai menutupi kepalanya. "Jani bener-bener kangen Janu tau!" gerutunya. Ia mengetuk-ngetuk ponselnya yang menampakkan pesannya masih belum dibaca oleh Renjanu.

Berulang kali Anjani mengirim pesan yang sama. Menanyakan keberadaan lelaki itu. Apakah dia baik-baik saja? Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apa Renjanu tidak merindukannya sekarang? Apa Renjanu tidak merindukan rasa nasi goreng gila? Atau tebak-tebakan kecil yang sering mereka lakukan?

"Janu," rintihnya. Air matanya kembali menetes. Ia meringkuk, memeluk lututnya erat. "Sebenarnya kenapa Jani bisa benci sama Janu? Kenapa ngga ada yang bilang ke Jani?" Gadis itu terus merutuki kalat itu.

Di dalam kamar yang dipenuhi oleh keheningan tengah malam, hanya suara getaran hujan yang mengiringi kedamaian. Cahaya remang-remang dari lampu jalanan menyusup lewat jendela, mencerai-berai kegelapan dengan isyarat samar. Di tengah keheningan, isak tangisan Anjani lembut yang merobek malam.

Wajahnya yang dipayungi oleh rambut panjang terlihat pucat dan sayu. Matanya yang pernah bersinar kini memancarkan kesedihan yang mendalam. Lengan selimut memeluk erat tubuhnya, seolah mencari kenyamanan dari dinginnya malam. Lembutnya bantal tempat ia bersandar terasa seperti saksi bisu akan penderitaannya.

Melalui isakan yang terputus-putus, terucap namanya dengan lembut, seperti doa yang terus dipanjatkan. Rindu itu membakar jiwanya, merayapi setiap sudut hatinya. Gadis itu terus mencium bau kenangan, mengisap udara yang pernah dirasakannya bersama seseorang yang dicintainya.

Tatapan kosong melintas di matanya, mencari-cari kehadiran yang sudah menjauh. Mungkin dalam ruang dan waktu yang berbeda, orang yang ia rindukan juga merasakan kepedihan yang sama. Hatinya terasa hampa, seiring rindu yang terus bersemayam dalam dada. Di malam yang sunyi ini, hanya ada kesedihan dan rindu yang menjadi saksi, membaur dalam lagu hujan yang membasahi malam.

"Apapun yang terjadi nanti, Jani bakal cari Janu sampai ketemu." Anjani memejamkan matanya kuat-kuat.

Hai Janu || Enerwon ||Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu