28. Hai Janu, Jangan Kabur

30 10 3
                                    

"Janu, tunggu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Janu, tunggu." Sudah hampir setengah jam Anjani berlari mengejar Renjanu. Mengitari danau, bahkan ia merasa hampir mati kehabisan napas. Langkah-langkah yang semula bersemangat kini semakin terasa berat, tapi ia tidak bisa menyerah. Renjanu, orang yang selama ini ia cari dengan susah payah, berada di sana.

Apa perlu Anjani berteriak maling agar orang-orang ikut berlari mengejar Renjanu? Rasanya ia tidak kuat lagi mengejar lelaki itu. Setiap napas yang ia hela terasa seperti membakar paru-parunya, dan setiap denyut jantungnya terasa seperti meminta ampun.

Namun, melihat kepergian Renjanu semakin menjauh membuat Anjani menemukan semangat baru. Meskipun kakinya terasa seperti berat, ia mencoba mendorong dirinya untuk mengejar lebih cepat lagi. Tidak semakin dekat, tapi ia terus mencoba. Ia tahu, di balik lelaki itu, mungkin ada jawaban yang selama ini ia cari.

Ia memutuskan untuk tidak berteriak, tapi ia menjerit dalam hatinya. Hatinya yang kacau, campur aduk, tapi penuh dengan penantian yang panjang. Mungkin, Renjanu akan mempertanyakan semua ini, mungkin juga tidak. Yang pasti, Anjani ingin tahu, ingin memahami, dan ingin kembali bersama lelaki itu.

Renjanu menghilang, entah dimana ia bersembunyi. Namun, Anjani yakin bahwa lelaki itu tak jauh darinya. Aroma khas Renjanu masih bisa masuk ke indera penciumannya.

Langkah Anjani terhenti. Napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya terasa lelah akibat usaha keras mengejar Renjanu. Tapi tidak, ia tidak menyerah begitu saja. Ia yakin Renjanu pasti akan kabur jika dia menemukannya. Jadi lebih baik membiarkan lelaki itu bersembunyi dan membiarkannya tahu apa yang ingin Anjani sampaikan.

"Janu, jangan kabur dulu," ucapnya dengan napas berat, suara yang diiringi dengan senyum melemah. Ia memegang lututnya yang terasa ingin lepas, mencoba menahan diri. "Jani mau ngomong sesuatu."

Anjani mendekati pinggir danau, tempat di mana aroma Renjanu paling kuat terasa. Ia duduk di atas batu besar, menatap permukaan air yang tenang. Pikirannya melayang ke kenangan bersama Renjanu, saat-saat indah dan sulit yang mereka lalui bersama.

"Jani mau denger penjelasan Janu, apapun itu. Jani mau coba percaya sama Janu," ucapnya dengan suara lantang, hatinya berkobar dengan harapan agar pesan ini sampai ke Renjanu, di manapun lelaki itu bersembunyi. "Maafin Jani yang ngga percaya sama Janu waktu itu, tapi Jani mau minta satu kesempatan buat ngobrol sama Janu."

Air mata Anjani turun tanpa aba-aba. Seperti hujan yang tiba-tiba mengguyur. Aroma Renjanu menguat, memenuhi udara sekitar Anjani, lalu tiba-tiba hilang bak terbawa ombak, meninggalkan kehampaan yang menusuk.

Tangis Anjani pecah, bercampur antara kerinduan dan rasa bersalah. Dia menyeka air matanya, tapi hujan dan tangisnya sudah tak terbendung lagi. Dia tak peduli dengan basah kuyupnya, hanya ingin mencari jawaban.

"Maafin Jani," bisiknya di tengah hujan, lirih namun penuh penyesalan. Dia menutup kedua wajahnya dengan tangan gemetar. Hujan semakin deras, mencuci setiap perasaan yang tersimpan. Namun, Anjani tidak peduli. Dia hanya ingin mengobrol dengan Renjanu, meski ia yakin lelaki itu telah pergi bersama aromanya yang menghilang.

Tubuh Anjani menggigil. Lelah dan dinginnya hujan menyatu dalam tubuhnya. Ia terlalu lemas hanya untuk berteduh. Lalu, sebuah keajaiban terjadi dalam kegelapan. Diamnya membuat ia kembali merasakan aroma Renjanu bercampur aroma hujan. Suara langkah kaki bersama dengan suara Renjanu yang memanggilnya pelan. "Apa pun yang Janu katakan ngga akan merubah apapun, Jani," ucapnya pelan.

Anjani memandang ke arah suara itu dengan mata berkaca-kaca. Renjanu dengan penuh perhatian membagi payungnya dengan Anjani. Melindungi gadis itu dari air hujan yang semakin deras. "Apapun itu ngga ada gunanya," lanjutnya, nada lembut dan penuh pengertian.

Anjani menatap Renjanu, wajahnya basah terkena hujan dan air mata. Tapi di matanya ada kilatan harapan, ada keinginan untuk mendengarkan. Mungkin memang takkan merubah semuanya, tapi setidaknya memberi kesempatan untuk menjelaskan, untuk mengerti.

"Janu," ucapnya lirih. Suaranya serak akibat menangis. "Pasti ada yang bisa kita perbaiki." Anjani menatap Renjanu penuh harap. Sedangkan lelaki itu lebih memilih memalingkan wajahnya. Memadang danau yang ikut terguyur air hujan.

Renjanu diam membisu, tidak ada yang lelaki itu ucapkan. Bahkan ia tidak memberikan penjelasan yang Anjani minta. "Sekali aja, Janu." Anjani hendak menggenggam tangan Renjanu. Namun, lelaki itu menepisnya lebih dahulu. "Bisa Janu ceritain apa yang terjadi waktu itu?"

Pandangan Renjanu langsung tajam menatap Anjani. Jujur, hati Anjani terasa luka, patah, hancur. Ini pertama kali ia melihat Renjanu menatapnya penuh amarah.

"Untuk apa? Apa yang akan berubah kalau Janu jelasin semuanya?" nadanya terdengar marah tapi Renjanu tak mengganti gaya bicaranya. Ia masih Renjanu yang sama. Anjani hanya bisa menunduk, air mata tak terbendungkan lagi, mencampuri hujan yang semakin reda. Sesak, begitulah rasanya. Tak ada jawaban, tak ada kejelasan. Hanya kerumitan yang semakin menghantui.

Renjanu menarik napas panjang. Menggenggam payung itu pada tangan Anjani. "Jani ngga perlu dengar penjelasan apapun. Anggap aja apa yang Taraka bilang adalah fakta yang terjadi," lelaki itu keluar dari perlindungan payung itu. Berlari menerobos derasnya hujan.

Anjani tidak diam, ia kembali mengejar Renjanu. Meski kekuatannya melemah dan tidak bisa menandingi kecepatan lelaki itu. "Apapun yang Janu jelasin ngga akan merubah keadaan tapi itu bisa mengubah hubungan Jani sama Janu sekarang!" teriaknya. Melengking melawan suara gemuruh air.

Langkah Renjanu terhenti. Lelaki itu terdiam. Membuat Anjani berani mengambil langkah lebih dekat. "Jani kangen banget sama Janu," ucapnya lemah. Suaranya melirih bersamaan tubuhnya yang makin melemas.

Suasana semakin gelap dan mendalam seiring hujan yang semakin reda. Keduanya berlarian di tepi danau, suara langkah mereka terdengar seperti desiran angin. Hujan kian berhenti namun kebingungan dan konflik di hati Anjani masih berkecamuk. Dia ingin mendengar, dia ingin mengerti, namun Renjanu memilih untuk menjauh. Dalam hati Anjani, ada keinginan untuk menangis, kehilangan, dan pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar tak terjawab. Sesekali kilat menyambar di langit, memperlihatkan wajah lelaki yang kini semakin menjauh, meninggalkan jejak-jejak air yang memudar di tanah basah.

Ia tidak mampu lagi melihat Renjanu. Anjani mengambil langkah berlawanan dengan Renjanu. Setidaknya ia bisa bertemu lagi dengan lelaki itu. Entah ini akan menjadi pertemuan terakhirnya atau Anjani akan mencoba untuk bertemu dengan lelaki itu lagi.

Anjani tak yakin tubuhnya akan baik-baik saja sekarang. Ia berhenti dengan tubuhnya yang melemas. Menutup payung sebab hujan tak lagi deras. "Janu," panggilnya lirih. Mana mungkin lelaki itu mendengarnya. Bahkan saat bertemu saja Renjanu lebih memilih kabur.

Suasana semakin sepi dan kelam. Kicauan burung malam mulai terdengar, melengkapi keheningan yang menyelimuti daerah sekitar danau. Anjani merasa putus asa, bingung, dan penuh kebingungan. Rasa takut dan rindu bergulir dalam dadanya. Semua terasa begitu sulit. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Namun, dalam hatinya masih ada sedikit harapan. Harapan untuk bisa berbicara dengan Renjanu, mengungkapkan perasaannya, dan mendapatkan pengertian.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now