59. End

47 4 0
                                    

Perlahan Anjani membuka matanya. Jantungnya berdegup kencang. Apakah kesempatan terakhir yang dia gunakan berhasil? Atau kah sia-sia seperti sebelumnya.

Gadis itu menarik senyum begitu lebar. Matanya menangkap sosok Renjanu yang duduk di tepi ranjangnya sembari tersenyum. Air mata Anjani lolos, dia langsung menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Renjanu.

"Pasti mimpi kejadian itu lagi?" ujar Renjanu sembari mengusap lembut belakang kepala Anjani.

Anjani tak ingin ambil pusing berapa kali ia memimpikan kejadian itu. Hal yang penting baginya sekarang adalah semua usahanya berhasil. Ia bisa menolong Renjanu hingga lelaki itu berada di sini.

Anjani merasa seperti terbang di awan kebahagiaan. Semua usahanya telah membuahkan hasil. Ia berhasil menyelamatkan Renjanu dan merasa begitu bersyukur melihatnya kembali di sampingnya.

"Iya, Jani mimpi itu lagi," ucap Anjani sambil tersenyum lebar. Dia merasa begitu lega, dan seolah semua beban yang pernah ada sebelumnya telah terangkat.

Renjanu tersenyum penuh cinta pada Anjani. "Janu ada di sini, Jani."

Anjani hanya bisa membalas senyuman dan memeluk Renjanu dengan erat. Ia merasa begitu bahagia karena bisa bersama lagi dengan lelaki yang sangat dicintainya.

Renjanu menangkup wajah Anjani dengan kedua tangannya. Menatap lamat wajah gadis itu. Anjani masih nampak sama, wajahnya yang menggemaskan membuat Renjanu selalu ingin mencubit pipi gadis itu. "Mandi ya? Jani ada kelas pagi," ujarnya sembari berbisik di telinga Anjani.

Mata Anjani terbuka sangat lebar. Ucapan Renjanu merusak momen romantisnya. Baru saja ia merasakan bahagia sebab bertemu Renjanu. Malahan dia disuruh bersiap untuk pergi kuliah.

"Huh," keluhnya. Ia kembali menjadu mahasiswi fakultas ekonomi lagi. Tapi tak apa, asalkan ada Renjanu. Anjani siap menghadapi semuanya.

"Bolos sehari ngga boleh?" tanyanya dengan wajah penuh belas kasihan. Sayangnya Renjanu dengan tegas menggeleng menolak permintaan Anjani.

"No no ya Jani." Tangan Renjanu menepuk-nepuk kepala Anjani pelan.

"Janu ngga panggil Janu Bubub ya?" tanya gadis itu penasaran. Dia tidak tau apakah hubungannya sekarang dengan Renjanu berbeda atau mereka hanyalah sebatas sahabat.

Renjanu mengernyitkan kedua alisnya. "Bukannya Jani ngga mau? Maunya di panggil nama aja?" tanya Renjanu penuh heran. Sejak awal mereka pacaran Renjanu selalu menanyakan panggilan sayang untuk mereka. Namun, Anjani selalu menolak dengan dalih lebih nyaman dipanggil dengan nama.

Kepala Anjani mengangguk dengan antusias. Meski panggilan Bubub atau yang lain terdengar menggemaskan, Anjani sudah terlalu nyaman dengan Renjanu yang menyebut namanya.

"Jani siap-siap, ya. Janu keluar dulu," ujar Renjanu. Sebelah tangannya mengusak rambut Anjani. Lelaki itu tersenyum sebelum meninggalkan kamar Anjani.

Anjani melompat kegirangan di dalam kamarnya. Semua usahanya akhirnya terbalas. Tidak ada perjuangannya yang sia-sia.

Langkah kaki Anjani membawa gadis itu mendekati pemutar dan kaset pita dari Renjanu. Semuanya tertata rapi dengan beberapa hiasan berwarna ungu. Cantik dan tampak menggemaskan.

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🆄

"Janu mau tau ngga?" tanya Anjani. Mereka berdua duduk di tepi danau. Tempat Anjani menemukan Renjanu kala itu. Anjani mengingat semua kejadiannya. Tidka dengan Renjanu sebab semuanya telah berubah.

"Apa?" tanya Renjanu, manik matanya menatap dalam Anjani. "Jani sayang banget sama Janu?" tebak Renjanu.

Ucapan Renjanu membuat Anjani mencebikkan bibirnya kesal. Tebakan Renjanu tepat sasaran dan itu lah yang membuat Anjani super kesal.

Gadis itu memukul-mukul lengan Renjanu melampiaskan semua emosinya. Tidak ada rasa sakit yang di rasakan Renjanu. Lelaki itu malah tertawa kencang. Matanya ikut menyipit kala tertawa.

"Janu nyebelih!" pekik Anjani hingga suaranya melengking kencang. Beberapa orang yang berada di sana pun ikut menoleh heran.

Renjanu mencoba meredam tawanya. Tangannya terulur mengelus kepala Anjani. "Iya, Janu salah," bujuknya.

Bibir Anjani makin monyong. Gadis itu memalingkan wajahnya tak ingin menatap Renjanu. Bukan tanpa alasan, jika ia menatap Renjanu maka hatinya akan luluh sekarang juga tanpa Renjanu harus mengeluarkan usaha.

"Maafin ya." Renjanu menggoyangkan lengan Anjani. Ia memasang wajah sememelas mungkin hingga terlihat seperti anak kucing.

Anjani masih bersikap acuh. Ia bahkan hanya diam tak menjawab ucapan Renjanu. Menggeser tempat duduknya sedikit menjauh dari lelaki itu.

Suasana senja saat itu sangat tenang dan indah. Cahaya matahari yang berwarna jingga melintas di langit, menciptakan panorama yang mempesona. Suasana tenang dan damai berkebalikan dengan Renjanu dan Anjani saat ini.

"Mau jalan-jalan? Night riding? Nasi goreng gila? Bakso Pak Agus?" tanya Renjanu. Ia menyebutkan hampir semua hal yang Anjani suka.

Mata gadis itu berubah berbinar, seolah memancarkan sinarnya sendiri. Nasi goreng gila? Bakso Pak Agus? Mengapa Renjanu membujuknya dengan hal seperti itu?

"Bakso Pak Agus," jawab Anjani lirih. Ia sangat rindu dengan bakso kuah bening beserta sambal khas racikan Pak Agus.

"Berangkat," ujar Renjanu sembari berdiri. Ia mengulurkan tangannya pada Anjani.

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🆄

Bukan berada di kantin sekolah dimana dulu Pak Agus menjual bakso. Melainkan di sebuah restoran yang cukup terlihat fancy. Anjani tak yakin akan ada bakso Pak Agus di dalam sini.

"Jani kenapa?" tanya Renjanu hingung sembari berbisik.

"Mana ada bakso Pak Agus." Anjani berbalik tanya sembari menelisik tempat ini.

"Kita udah sering ke sini, Jani. Ngga mungkin, kan Jani lupa?" tanya Renjanu. Bahkan hampir seminggu sekali Anjani ke tempat ini. Selain demi kesehatan, harga bakso Pak Agus sekarang sudah berbeda dengan saat di kantin.

Anjani hanya memberikan sebuah cengiran. Lalu kepalanya terlintas beberapa potong ingatan tentang tempat ini. Anjani sendiri heran mengapa ia tidak merasakan sakit kepala seperti sebelumnya saat mendapat ingatan. Apa itu sebuah pertanda bahwa Anjani benar-benar berhasil.

"Pak Agus," sapa Anjani dengan ramah kala melihat Pak Agus dengan apron dan topi koki. Pak Agus terlihat seperti chef premium.

"Mbak Jani, bakso biasa?" tanya Pak Agus tanpa basa-basi.

Gadis itu mengangguk dengan penuh semangat. Ia sudah tidak sabar merasakan bakso buatan Pak Agus. Ternyata, tak ada yang berubah dengan rasanya. Semuanya masih terasa otentik seperti saat itu.

"Jani sambelnya," omel Renjanu.

Anjani makin melebarkan senyumnya. Ia bisa mendengar omelan Renjanu lagi. Renjanu yang selalu melarangnya makan terlalu pedas.

Ingin rasanya Anjani menangis saat ini. Namun, jika ia melakukan itu Renjanu akan terheran-heran. Dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan air matanya.

"Nyenyenye," cibir Anjani sembari menuangkan semangkok kecil sambal ke atas baksonya.

"Jani?" panggil Renjanu dengan nada Rendah. "Mana janjinya?"

Anjani seolah menutup rapat telinganya. Ia malah menyuapkan bakso itu ke dalam mulutnya sembari memamerkannya pada Renjanu.

Renjanu mencubit pipi Anjani padahal gadis itu masih mengunyah makanannya. "Nakal banget, ya, sekarang!"

Senyum lebar Anjani nampak sangat jelas. Gadis itu benar-benar bahagia. Akhirnya ia bisa mendapatkan ending yang ia mau dan yang ia usahakan.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now