57. Hai Janu, Janu Dimana?

20 3 0
                                    

Paramita mencekal tangan Anjani lalu mendorong kasar gadis itu hingga terduduk di lantai. "Jauhin Renjanu!"

Bisa saja Anjani marah sekarang. Namun, ia memilih untuk tidak melakukan itu. Marah hanya akan membuatnya terjebak lebih lama dengan Paramita.

Anjani mencoba untuk berdiri. Sebelum, ia bisa berdiri Paramita mendorongnya kembali. Gadis itu mencoba menahan emosinya yang hampir meledak. Menarik napas dalam dan menatap Paramita penuh penasaran. "Jauhin Janunya harus hari ini banget, ya?" tanya Anjani santai.

Paramita mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia serius dengan ucapannya tetapi malah mendapat tanggapan seperti itu dari Anjani.

Anjani mampu mengendalikan diri dan menjaga keadaan tetap tenang meskipun situasinya tidak menguntungkan. Terdengar ketenangan di suaranya, seolah ia bermain-main dengan kata-kata. Tindakan ini tampaknya membuat Paramita lebih frustrasi.

Namun, Paramita tidak menyerah. Ia mendorong Anjani lagi. "Gue serius!" Gadis itu mencengkram kuat kerah baju Anjani.

Anjani kembali terjatuh ke lantai, tetapi ia masih menunjukkan ketenangannya. "Oke, oke, tapi bisa ditunda besok aja ngga?"

Paramita makin mencengkeram kuat kerah Anjani. "Gue gak bercanda," ujarnya menekan setiap kata ucapannya.

Anjani tetap tenang meskipun Paramita semakin marah. "Baiklah, kita atur saat yang tepat. Tapi bukan sekarang," ujar Anjani dengan bijak.

Paramita akhirnya melepaskan cengkramannya dan meninggalkan Anjani dengan ekspresi kesal. Setidaknya Anjani berhasil menunda pertemuan tersebut hingga waktu yang lebih tepat.

"Gue pegang kata-kata lo." Paramita berdiri dengan tatapan sengit.

Anjani tersenyum membalas tatapan Paramita. "Oke, bye-bye," ujarnya lalu melambaikan tangan pada gadis itu.

Tentu Paramita sudah mencak-mencak di belakang Anjani. Namun, Anjani lebih memilih untuk menghiraukannya.

Anjani dengan mantap menghindari konfrontasi lebih lanjut dengan Paramita. Ia memilih pergi dari situasi tersebut, meninggalkan gadis itu dengan rasa frustrasi. Dengan hati lega, ia melanjutkan persiapan perlindungan untuk Renjanu.

Sekarang, ia hanya perlu menemukan Renjanu. Ia menyusuri aula sekolah. Anjani berjalan menuju ruang OSIS yang sepi. Ruangan ini biasanya ramai dipadati oleh para siswa yang memiliki rapat atau kegiatan ekstrakurikuler. Saat ini, suasana ruangan begitu hening dan kosong. Kursi-kursi diatur dengan rapi di sekitar meja panjang tempat pengurus OSIS biasanya berkumpul.

Namun, sekarang hanya ada Anjani yang berdiri sendirian di tengah ruangan yang sunyi ini. Cahaya redup lampu-langit-langit menciptakan atmosfer yang agak suram. Anjani merasakan kesepian dan kegelapan di dalam ruangan yang sepi ini, sambil mencari-cari tanda-tanda keberadaan Renjanu.

Tujuan selanjutnya adalah aula, semua siswa berada di sana, tentu dengan kostum proper sesuai dengan tema malam ini. Sedangkan, Anjani masih menggunakan seragamnya sore tadi. Entahlah, ia sendiri tidak tau mengapa masih menggunakan seragamnya.

"Harsa!" Anjani tersenyum lega kala melihat Harsa. Pasti lelaki itu akan tau di mana keberadaan Renjanu. "Harsa, lihat Janu ngga?" tanyanya dengan napas yang tersengal-sengal.

Kepala Harsa menggeleng. "Bukannya dia sama lo?" Harsa berbalik tanya dengan nada bingung.

Setelah mendengar jawaban Harsa, Anjani yakin dimana Renjanu sekarang. Dia segera berlari meninggalkan aula. Kembali ia menuju gedung sekolahnya.

Malam itu, koridor sekolah terendam dalam kegelapan seiring dengan penurunan matahari. Hanya sedikit cahaya remang-remang dari lampu jalan yang menyinari koridor tersebut. Suasana tenang, tetapi juga sedikit misterius dengan bayangan-bayangan yang terlihat panjang di dinding koridor. Suara langkah kaki Anjani bergema saat ia melangkah menjauh dari koridor, menciptakan efek yang kontras dengan keheningan malam.

Tangga sekolah mengarah ke lantai atas, terbuat dari beton polos dengan pijakan-pijakan yang telah terkikis oleh jejak kaki siswa-siswa yang naik turun setiap hari. Cahaya neon pucat dari langit-langit koridor menciptakan bayangan-bayangan yang panjang di setiap anak tangga.

Anjani tiba di depan pintu rooftop. Mencoba membukanya berkali-kali, tetapi nihil. Pintu itu terkunci dengan rapat. Anjani mengerutkan kening saat menemukan pintu rooftop yang terkunci. Ia merasa sedikit bingung dan frustrasi karena pintu tersebut biasanya tidak terkunci.

Tenaganya tak cukup kuat untuk mendobrak pintu itu. Semua tenaga yang ia kerahkan hanya membuat suara benturan. "Janu! Janu!" Ia memanggil lelaki itu. Sangat-sangat berharap bahwa Renjanu berada di sana dan mendengarnya.

Tak ada jawaban dari dalam sana. Air mata Anjani jatuh lebih dulu. Perasaannya campur aduk, sedih, takut dan khawatir semua bercampur menjadi satu.

Anjani merasa semakin khawatir saat ia memanggil Renjanu namun tak mendapatkan jawaban apa pun. Ia mencoba sekali lagi mengecek pintu rooftop itu, tetapi tetap terkunci. Air matanya semakin deras, dan perasaan cemasnya makin kuat.

"Janu!" panggilnya dengan suara serak. "Janu ada di sana?" panggilnya sekali lagi.

Pintu itu tak setebal pintu-pintu yang ada di sekolahnya. Harusnya Renjanu tetap mendengar suaranya. Kecuali, Renjanu sekarang tidak sadarkan diri.

Apa Taraka telah mengubah rencananya? Atau rencana awal Taraka memang seperti itu?

Tangis Anjani makin pecah, ia terus menggedor pintu rooftop dengan sisa tenaganya. "Taraka," panggilnya. Ia yakin kalau di sana ada orang. Anjani terus mendengar suara langkah kaki sejak tadi.

"Taraka!" Teriak Anjani berharap bahwa lelaki itu akan menjawab suaranya.

Hai Janu || Enerwon ||Donde viven las historias. Descúbrelo ahora