Stupid Girl ! -23

5.7K 265 10
                                    

Langit terdiam dengan nyeri yang menghantam rahangnya, pukulan dari ayahnya tak main-main.

"Jaga ucapanmu! Jangan mendekte orang tua yang selama ini merawatmu, Langit. Mungkin kamu tau banyak hal, tapi kamu gak tau apa yang ngebuat Mama mu seperti ini." Alvin berkata tegas dengan kedua tangan yang mengepal seolah menahan diri untuk tidak menghantam putranya lagi.

Alvin mendekati istrinya yang masih terdiam, wanita itu terlihat pucat. Alvin khawatir apa yang di ucapkan Langit mempengaruhi mental istrinya.

"Sayang, it's oke kamu gak salah. Ayo kita istirahat aja." ajaknya sembari merengkuh kedua pundak istrinya.

Langit menatap keadaan ibunya yang terlihat berbeda. Wanita yang melahirkannya itu terlihat kosong bagaikan cangkang mati.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Sebelum keluar dari kamar Kiara, Alvin menatap Langit dan mengucapkan sesuatu yang membungkam putranya, "Apa yang terlihat belum tentu itu yang sebenarnya terjadi, kamu hanya menilai kami dari apa yang ditangkap oleh matamu."

Langit terdiam, mencerna maksud lain dari ucapan ayahnya.

...

Waktu berlalu dengan cepat, seminggu telah berlalu dari waktu Nabila membujuk Kiara malam itu. Pun, wanita yang telah melahirkan Kenz tersebut akhirnya bisa bernafas lega saat calon menantunya telah bersedia untuk segera menikah.

Dalam kurun waktu yang tersisa, semua keperluan pernikahan segera dipersiapkan. Meski pernikahan di gelar secara sederhana setidaknya masih ada seratus undangan yang di sebarkan bagi para kerabat mau pun kolega terdekat.

Sedangkan dari pihak Kiara sendiri, mereka hanya terima jadi. Konsep atau bahkan biaya pernikahan di serahkan secara menyeluruh pada keluarga mempelai laki-laki.

Kiara pun telah kembali ke kediaman keluarga Aditama sejak kemarin sore, sesuai tradisi keluarga yang mana calon pengantin harus di pingit terlebih dahulu, yang artinya Kiara tidak boleh bertemu dengan Kenz sebelum pemberkatan.

Sebenarnya Nabila adalah orang yang paling enggan melepas Kiara dari pantauannya, terlebih calon menantunya itu harus kembali kerumah keluarga kandungnya yang biadab. Beruntung Gibran berhasil meyakinkan istrinya bahwa keluarga Alvin tidak akan berani mengusik Kiara, sebab semua sudah sesuai perjanjian kedua belah pihak.

Besok sore adalah waktu pemberkatan pernikahan Kiara dan Kenz, dan kini Kiara termenung gugup di tengah hamparan langit malam di kamarnya sendiri.

Bayang-bayang kekacauan yang selama ini ia perbuatan mengusik otaknya yang lamban, ke khawatir begitu nampak dari sorot mata bening yang kosong. Kiara takut, sangat takut jika ia akan menambah beban pada orang lain.

Anak itu selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mengapa ia tak bisa berdiri di atas kakinya sendiri? Mengapa dirinya selalu membutuhkan orang lain untuk memapah kakinya berjalan.

Tak jarang Kiara menyalahkan dirinya sendiri, pikirannya mengakui bahwa ia sangat bodoh, lemah dan tak berguna sesuai apa yang dikatakan oleh orang tuanya selama ini. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Jika bisa Kiara ingin meminta pada Tuhan untuk membuatnya tak terlahir ke dunia saja.

Hatinya menjerit lelah.

"Adek.." suara lembut yang mampu menarik Kiara dari ke kosongannya.

Langit terlihat membawa nampan yang terisi segelas susu dan camilan ringan. Pria itu menyimpan nampan diatas meja balkon.

"Minum susu dulu, Sayang." pintanya sembari menyodorka gelas. Matanya penuh rasa haru dan penyesalan yang tak mampu ia tebus.

Tanpa banyak drama Kiara menerima gelas tersebut dan menghabiskan dalam sekali minum. Tak lupa ia melemparkan senyum manis pada kakaknya.

Melihat Langit membuat perasaan Kiara kian semakin kacau, perasaan tak rela merangkak nyelimuti hatinya. Rasanya Kiara tak mau berpisah dengan kakak yang selama ini merawatnya. Ketakutan pada Langit sebelumya telah sirna terhempas kerinduan, beberapa hari tak bersama, anak itu begitu mendamba perhatian dari saudaranya yang paling terkasih.

Sedang Langit tak jauh berbeda, pria itu kian merasa pias mengingat besok Kiara bukan lagi haknya. Adik tercinta yang selama ini ia jaga telah dimiliki oleh laki-laki lain yang akan menikahinya.

Bukankah waktu berlalu begitu cepat? Rasanya baru kemarin ia memapah langkah Kiara kecil, rasanya baru kemarin Langit bisa mendengar panggilan 'kakak' dari mulut Kiara kecil. Kini, ia telah dihadapkan dengan sosok gadis calon pengantin esok hari.

"Kakak.." panggil Kiara pelan berupa bisikian halus.

"Ya, Sayang?"

"Besok, Kia menikah. Sebenernya Kia," suaranya nyaris tercekat hingga membuat anak itu kesulitan berucap.

Langit yang mengetahui keadaan adiknya yang pilu semakin mendekat, meraih anak itu untuk duduk di atas pahanya. Memeluk erat sosok yang tak akan lagi sering ia temui dalam harinya.

"Kiara bisa ngomong pelan-pelan, Kakak pasti dengirin kok."

Anak itu menghela nafas mencoba mengusir sesak dalam dadanya.

"Kia, gak mau pergi dari Kakak. Tapi kata Bunda Nabila, Kia harus menikah sama Kenz kalo mau bayi hidup dan bahagia." Langit bisa menangkap kesedihan dan sebuah harapan dari ucapan adiknya.

Kiara, remaja lugu yang berhati baik itu harus dihadapkan dengan pilihan yang tak mudah. Bersama Langit yang penuh luka, atau mempertahankan kehamilannya dengan syarat menikah dengan temannya. Semua pilihan itu memiliki konsekuensi yang rumit.

Memilih tinggal bersama kakaknya, maka Kiara tidak akan lepas dari kebencian orang tuanya sendiri.

Memilih menikah, artinya harus siap berpisah dengan Langit dan memulai hidup dalam keluarga baru.

"Gapapa, semua keputusan yang kita ambil memang pasti ada yang harus kita lepas. Manusia gak bisa meraih atau memeliki semua hal yang di inginkan. Hukum alam emang kayak gitu, Dek." ucap Langit mencoba menenengankan kerisauan hati Kiara.

Langit menatap manik bulat adiknya yang kini telah memerah, mengusap pelan pipi halus yang kini terasa lebih kenyal dari terakhir ia sentuh.

"Yang harus Kiara tau, apapun yang terjadi Kakak akan tetep lindungi kamu. Siapa pun yang ngebuat kamu terluka atau pun kecewa kamu bisa pulang ke Kakak lagi. Kakak yang akan obati kamu seperti dulu," suara anak sulung itu pun kini tercekat, seolah ada batu besar menimpa dadanya.

"Tapi nanti.. Kia ngerepotin Kakak." gumam Kiara pelan.

Ucapan pelan itu berhasil mengoyak perasaan Langit, sesak yang tadi ia rasakan kini terasa semakin menghimpit.

"Maaf.. maafkan Kakak yang sempat ngebuat kamu pergi karna ketakutan, maaf atas apa yang pernah Kakak ucapin sama kamu malam itu, Kiara.. Kakak menyesal, sangat menyesal sudah dengan sangat bodoh marahin kamu. Tolong jangan berpikir kalo kamu nyusahin Kakak. Kakak minta maaf pernah bilang kayak gitu sama kamu, delapan belas tahun kamu hidup sama sekali Kakak gak merasa kamu merepotkan. Apa yang selama ini Kakak lakukan adalah kewajiban yang harus Kakak lakukan untuk memenuhi hak kamu dalam keluarga kita." mendengar penuturan dari saudara pertamanya Kiara kembali merasa terharu, seolah ada bagian beban yang terangkat saat mengetahui kakaknya sangat mencintai dirinya.

Keduanya larut dalam perasaan haru, seolah menghabiskan sisa waktu yang masih mereka miliki. Mungkin, bagi sebagian orang Langit bersikap berlebihan terhadap Kiara. Tapi bagaimana jika apa yang ia lakukan adalah kebiasaannya sejak dulu.

Kiara adalah segalanya bagi Langit, meski ia tak bisa menampik bahwa dirinya turut melukai anak itu, tetap saja Kiara adalah kesayangannya. Anggap saja Langit egois, sebab kepada dua adik lainnya ia tak bersikap seperti ini.

Stupid Girl !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang