Bab 41 √

7.3K 530 20
                                    

Kedua tangan Ruby mengepal kuat, manik biru lautnya menatap tak suka wanita dengan pakaian pink muda yang terkesan mewah disamping Andrian, Salfa.

Sejujurnya Ruby pun tak tau mengapa ia begitu tidak menyukai Salfa. Entah sejak kapan rasa tak suka itu berubah benci. Hati Ruby juga selalu panas dan sedih bila bertemu Salfa.

Ruby juga memastikan, ia membenci Salfa bukan karena statusnya. Bukan pula karena kejadian sewaktu Salfa melempar Zaza. Rasa itu muncul tanpa alasan jelas.

Alister tentu menyadari gelagat Ruby. Naluri nya mengatakan untuk segera membawa Ruby pergi.

"Pah, Ruby kayaknya ngantuk. Alister bawa Ruby ke kamar dulu" tanpa menunggu jawaban Andrian, Alister menggendong putrinya dan membawanya pergi.

"Tidak sopan!"

Netra Andrian melirik tajam istrinya membuat sang empu mendengus malas seraya melirik ke arah lain.

"Jaga perkataanmu, Salfa. Dia putraku!" Peringat Andrian tajam. Salfa menelan saliva nya, hawa tak mengenakkan terasa jelas hingga membuat bulu kuduk salfa berdiri merasa merinding.

Di sisi lain, Alister memangku tubuh putrinya di tepi kasur. Netranya dengan jelas memandang wajah Ruby yang memerah dengan mata berkaca-kaca. Bibir mungilnya juga bergetar.

"Sayang, kenapa hm? cerita coba sama, papa"

Liquid bening mengalir mulus dari pipinya. Ruby menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang ayah, mengeluarkan isakan tangis yang amat memilukan.

Telapak tangan Alister mengusap surai coklat Ruby lalu di susul dengan usapan di punggung menggunakan tangan satunya. Alister tidak dapat berkata-kata, tangisan Ruby jelas berbeda dari biasanya. Lebih menyesakkan seakan tangisan yang sudah terpendam lama.

Cukup lama Alister menunggu Ruby berhenti menangis namun nyatanya tangisan Ruby semakin menjadi-jadi. Tangisan yang mampu menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

"Baby" kedua tangan Alister menangkup sisi wajah Ruby sehingga Alister dapat melihat wajah putrinya itu. Ibu jarinya mengusap liquid bening yang senantiasa mengalir deras.

"Demi papa, tolong berhenti ya nangis nya?" Ruby tak menjawab namun isak tangis yang kian mereda menandakan anak itu mendengarkan permintaan sang ayah.

Alister tersenyum samar. Alister pun mendekap tubuh putrinya sembari mengecup puncak Ruby yang memiliki wangi vanila.

"Mau cerita sama papa, sayang?" tanya Alister dengan nada lembut. Tak ada respon dari sang empu, Alister pun tak masalah. Bibirnya tanpa henti mengecup pucak kepala putrinya, sesekali mencium aroma harum vanila dari rambut putrinya.

"Ruby bingung, pah"

"Bingung kenapa?"

"Ruby bingung sama diri Ruby sendiri" katanya pelan. Alister terdiam, menunggu kalimat Ruby selanjutnya. "Ruby ga tau kenapa Ruby ga suka sama nenek itu. Bahkan Ruby ga tau kapan rasa benci itu hadir. Padahal Ruby jarang ketemu sama dia. Tapi kenapa dada Ruby panas setiap ngelihat wajah dia, pah? seakan dia punya salah sama Ruby tapi Ruby aja ga tau salah dia apa" sambungnya seraya menghela nafas berat.

"Rasa benci itu hadir tanpa alasan. Ruby ga suka sama perasaan ini, pah. Ruby ga mau benci orang tanpa alasan kayak gini. Ruby ga sopan ya, pah? padahal nenek tua itu ibu tiri papa tapi dengan santainya Ruby malah nunjukin rasa ga suka Ruby secara terang-terangan sama papa. Maafin Ruby, pah" sesal anak itu tertawa miris.

Alister menangkup pipi chubby Ruby hingga bibirnya mengerucut. Di kecupannya wajah sang putri bertubi-tubi lalu mendekapnya erat.

"That's okay, baby. Dengerin papa. Terkadang bingung sama diri sendiri itu udah wajar terjadi. Perasaan yang kamu rasakan sekarang adalah emosi negatif, tentu pemicunya banyak biarpun kamu sendiri ga tau alasannya. Biasanya itu dari naluri ataupun insting bawaan" jelas Alister sembari mengusap pelipis Ruby.

"Asal kamu tau, sayang. Perasaan yang kamu rasakan saat ini ada alasannya"

~oOo~

Terkadang pengkhianatan seseorang bisa saja memicu sebuah trauma. Siap tidak siap, mau tidak mau mereka memang harus menerima.

Contohnya seperti Andrian sekarang. Mendengar langsung dari mulut putranya, Andrian hampir saja terkena serangan jantung mendengar fakta mengejutkan dari putra sulungnya.

"Alister ga tau motif dia apa, yang jelas target dia memang Aruna"

"Terus gimana rencana kamu selanjutnya?" Tanya Andrian menatap wajah frustasi putra sulungnya.

Alister terdiam sejenak. Otaknya secara cepat bekerja, memikirkan dampak apa saja yang akan terjadi bila mengakhiri semuanya langsung. Menyakini diri, Alister menatap Andrian tanpa ragu.

"Alister-"

~oOo~

Cakra dan Atha berkunjung ke mansion Alister untuk menemui Ruby. Di punggung mereka masing-masing terdapat tas khusus sekolah. Rencananya mereka akan belajar bersama atas permintaan Cakra, hitung-hitung untuk melihat perkembangan Ruby selama ini belajar di rumah. Ya, Ruby memutuskan untuk Homeschooling saja karena malas keluar rumah.

Kedua bocah yang beda dua tahun itu berjalan beriringan memasuki kawasan mansion.

"Bang, ini kok tumben sepi? Ruby mana ya?" Tanya Cakra seraya menatap mansion pamannya yang sepi, tidak seperti biasanya.

"Di kamar kali, ini kan udah waktu tidur siang" sahut Atha mendudukkan dirinya di lantai yang beralasan tikar empuk, tak jauh dari sofa ruang keluarga.

"Bener juga" sahut Cakra bergumam.

"Atha, Cakra?" Dengan kompak keduanya memandang orang yang memanggil nama mereka.

"Kakek?" sahut Atha memastikan.

"Kalian ngapain? nyari Ruby?" Kedua bocah SMP itu mengangguk bersamaan. Andrian mendudukkan dirinya di sofa yang muat untuk tiga orang.

"Ruby tidur"

"Udah lama belum kek tidurnya?" Tanya Cakra sembari menguap.

"Kakek ga tau, em mungkin ada kali satu jam?"

Cakra dan Atha mengangguk paham. Cakra merebahkan dirinya di atas karpet empuk yang enak untuk tiduran.

"Atha, Izar gimana kabarnya?" Alreszha Aizar Clovis atau yang sering di sebut dengan Izar adalah adik Atha yang baru berusia 3 bulan.

"Baik kok, kek"

Cakra dengan tiba-tiba mendudukkan dirinya kemudian mendekatkan dirinya dengan Atha. "Bang, Izar nyusahin ga?" Tanya Cakra penasaran.

"Engga, dia enteng. Jarang nangis juga" sahut Atha santai. Aizar yang baru berusia 3 bulan tampak enteng, tidak berisik dan cengeng seperti bayi luar yang Atha liat.

"Cakra pengen punya adek juga deh, kayak nya seru?" Ungkap Cakra dengan mata berbinar namun hanya sesaat. "Tapi Cakra ga mau adik cewe. Ruby aja udah cukup!" Mendengar itu Atha mengangguk setuju. Entah mengapa Atha pun tak ingin memiliki adik cewe selain Ruby. Saat mengetahui adiknya cowo saja Atha amat bersyukur.

"Kenapa ga mau cewe?" Celetuk Andrian yang sedari menyimak obrolan kedua cucunya.

"Takut berisik, kek. Nanti ga bisa di ajak main sepak bola juga, kalau Ruby kan masih mending bisa di ajak main apa aja" Andrian menggeleng pelan, merasa lucu dengan pemikiran kedua cucunya.

"Tapi beneran ga nyusahin kan bang?" Atha mengangguk yakin.

"Kalau beruntung ya ga bakalan nyusahin"
.
.
.

TBC

200+ komen

RUBYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang