37 - Rage

16.7K 1.6K 344
                                    

Selamat siang ╰( ͡° ͜ʖ ͡° )つ──☆*:・

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat siang ╰( ͡° ͜ʖ ͡° )つ──☆*:・

Ch ini isinya ada beberapa adegan berdarah, kalau kalian ga bisa baca skip aja ogheey♡

Enjoy~

***

Anggota keluarga Dominic saat ini pulang ke Mansion, setelah Stevanya memberi kabar mengenai Ziel, semuanya bergegas pulang dan meninggalkan kegiatan yang sedang dilakukan. Tak ada yang lebih penting dari Ziel, permata Dominic.

Ziel sendiri masih tak sadarkan diri, luka di wajahnya sudah dibersihkan dan diperban, ditangannya terdapat sebuah infus. Wajah manis yang terpejam itu terlihat pucat dan terlelap damai.

"Benturan dan suara tembakan yang keras membuat tuan kecil merasakan sakit dan takut secara bersamaan. Hal itu menyebabkan tuan kecil menjadi lemas dan syok, namun tak perlu khawatir ini hanya syok ringan. Infus ini untuk menambah energi tubuh dan menghindari dehidrasi." Ujar Luke.

"Berapa lama lagi adikku akan sadar?" Tanya Zergan sambil menggenggam tangan Ziel.

"Sebenarnya hanya sebentar tapi nyonya Stevanya meminta saya untuk memberikan suntikan obat tidur, tuan kecil mungkin akan bangun sekitar 4 jam dari sekarang." Jelas Luke yang mendapat anggukan dari Stevanya, wanita itu tidak ingin si kecil bangun dan menangis, membiarkannya beristirahat lebih lama adalah opsi terbaik.

Zergan melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 13.00 yang berarti sang adik akan bangun pukul 17.00, remaja tampan itu mengangguk paham.

"Bagaimana hal ini bisa terjadi?" Ujar Grace.

Stevanya menjelaskan kronologinya, memang dia baru saja datang saat Ziel terjatuh tapi wanita itu sudah bertanya pada Tristan tanpa ada satu pun yang terlewati. Penjelasan Stevanya membuat semuanya merasa geram, berani sekali, pikir mereka.

"Kurang ajar! Apakah jalang itu sudah ada di sini?" Geram Zelda.

"Tentu, di ruang bawah tanah. Theine juga ada di sana."

"Apakah Theine sudah mengeksekusi mereka semua?" Tanya Henry.

"Dia adalah Theine, mana mungkin membiarkan mereka mati begitu saja. Bagi Theine kematian perlahan adalah sesuatu yang menyenangkan, teriakan kesakitan bagaikan lagu favoritnya." Ucap Andreas. Dirinya dan Theine sedari kecil sudah sangat dekat, tentu ia hapal akan kebiasaan sang adik yang suka menyiksa korban secara perlahan, membuat mereka mati dalam keputusasaan.

"Benar." Ujar Graham menyeringai, didikannya memang tidak salah. Baik Andreas maupun Theine adalah bukti nyata dari hasil kerja kerasnya dalam mendidik calon penerus. Hal yang sama berlaku untuk cucu yang lain, namun untuk mereka berdua, Graham memberikan pelatihan secara khusus karena keduanya adalah dua cucu tertua.

"Ayo ke ruang bawah tanah." Ajak Henry. Pria itu tak sabar untuk melihat wajah para bajingan yang sudah melukai bungsunya.

"Kalian di sini saja, jaga cucuku." Ujar Graham pada Grace, Stevanya dan Zelda. Ketiganya mengangguk setuju.

Ziel Alexander DominicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang