2 | Superhero (2)

41.9K 3.9K 694
                                    

"Superhero." Seisi kelas tertawa menikmati permainan kata Arvin. Pernyataan yang lantang dan mantap itu terdengar sebagai sebuah lawakan klise bagi mereka. Siapa sangka cita-cita yang diutarakan oleh seorang anak SMA kelas satu, tak lebih tinggi derajatnya daripada ocehan anak umur sepuluh tahun?

Mulai resah, Arvin melirik seorang guru yang kini nampak berdiri dari tempat duduk. Jemari pria itu mengurut kumis hingga jenggot tipis yang menjadi fitur khas di wajahnya. Dan Arvin sedikit kaget ketika guru itu tiba-tiba menepuk pundaknya. "Apakah menurutmu McValen terlihat seperti akademi kekuatan super atau sekolah ilmu sihir, Nak?" Mata pria itu menelisik, ikut melucuti keyakinan Arvin, sama seperti teman-teman barunya.

Tuan Richard yang mengaku wali kelas X-1 ini tampaknya cukup skeptis. Arvin jadi berspekulasi kalau-kalau senyum ramah di wajahnya itu akan berubah menjadi sebuah gelak tawa sebentar lagi.

"B-bukan begitu, Pak," jawab Arvin sedikit ragu. Hatinya sedang surut. Ia tak tahu cara untuk membuat ungkapan superhero bisa diterima dengan persepsi yang sama oleh semua orang. "Saya sebenarnya tidak tahu akan menjadi apa setelah besar nanti," ungkapnya jujur dengan sorot mata yang semakin redup.

Tuan Richard pun langsung berusaha tertawa dan memecah keheningan di kelas itu. "Ah ..., aku senang menguji muridku dengan pertanyaan." Lagi-lagi guru itu tertawa sambil menepuk pundak Arvin, dan kali ini lebih keras sampai badan Arvin terhentak-hentak.

"Aku paham dengan niat tulus Arvin untuk membantu sesama," tutur Tuan Richard kepada warga kelas X-1, senang. "Kuharap kalian pun juga begitu. Intinya, teruslah bermimpi. Karena itu yang akan menggerakkanmu hingga akhir. Tak peduli orang lain akan menertawakanmu seperti apa, kau tak boleh menyerah begitu saja," sambungnya sambil terus menepuk pundak Arvin. Anak itu tak tahu harus berterima kasih atau meminta maaf agar tangan Tuan Richard berhenti melakukannya.

"Arvin ... Orlandio Monomardi," ucap Tuan Richard mengerucutkan mata, berusaha mengeja nama lengkap Arvin yang tercetak tebal di seragamnya. Setidaknya Arvin merasa lega karena tangan pria itu berhenti melakukan hal yang repetitif. "Oke, kau boleh duduk."

Kaki Arvin yang hampir kesemutan karena berdiri terlalu lama di depan kelas itu pun akhirnya bisa kembali bergerak leluasa. Namun sedikit sial. Saat berjalan kembali ke bangkunya, kaki itu tersandung, dan hampir membuatnya terjungkal. Di tengah tahanan tawa beberapa anak, Arvin menoleh ke belakang untuk mencari tahu penyebab. Ternyata sebuah kaki telah sengaja menjadi penyandungnya. Dan sang pemilik kaki tampak masih menyeringai pada Arvin. Dia adalah anak laki-laki yang tadi pagi berpapasan dengannya di dekat air mancur. Sebuah pertanda buruk bagi Arvin. Ia harus lebih berhati-hati dengan anak itu.

Tuan Richard mengetuk-ngetuk dinding proyektor di depan agar kelas kembali tenang. "Kita mulai pelajaran Kimia kita."

<<<>>>

Bel istirahat berdering. Dua jam pelajaran telah berakhir di jam sepuluh siang. Rei tengah memamah daging dari kotak makannya di kantin. Adalah suatu keajaiban ketika ia mendapati Arvin di sampingnya duduk sambil bermuram durja. "Hei," anak berkacamata itu memanggil Arvin setengah-setengah, "kau baik-baik saja, kan?"

Arvin menghembuskan nafas lalu mendecak. "Aku kira semua anak SMA sudah bisa berpikir dewasa. Nyatanya masih ada yang mengalami retardasi," jawab Arvin ketus.

Rei tahu itu masalah yang cukup serius. Ia jadi penasaran sekaligus geli gara-gara perkataan Arvin yang hipokrit itu. Ia ingin orang lain dewasa, padahal dirinya sendiri masih suka bertingkah seperti anak-anak. Namun sebelum menelisik lebih jauh, seorang gadis sudah menepuk pundaknya. "Rei, kau di sini rupanya?" Gadis itu tersenyum manis sembari menyibak poni rambut coklat-urai-panjangnya. "Kami boleh bergabung, kan?"

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang