33 | Pangeran Soteria (1)

12.2K 1.7K 54
                                    

Sinar matahari menusuki permukaan bumi. Mungkin jika Carrie tidak memicingkan mata, retinanya akan rusak dan terancam buta. Sementara debu coklat muda masih menggelung di sekitar kepala, membuatnya terbatuk dan mengibaskan tangannya berkali-kali. Sungguh, ia lebih suka musim penghujan.

Sebuah tangan terulur kepadanya, "You alright?"

"Thanks," dengan bantuan tangan itu Carrie terbangun dari posisi jatuh di lapangan berpasir. Belva, sang pemilik tangan menyambutnya dengan senyum dan sebotol minuman.

Carrie menenggak minuman itu, sambil memandangi pull up bar yang ia gunakan untuk melatih otot punggung. Untung saja jatuh dari tempat setinggi itu tidak membuatnya gegar otak.

Lucy yang memakai pakaian olahraga nampak berlari dari kejauhan mendekati tempat itu. Ia sengaja memperlambat langkahnya ketika melewati Carrie dan Belva, "Hey, apa kabar, pole dancer?" tanyanya dengan senyum mengejek di tengah napasnya yang terputus-putus akibat lari di tempat.

Belva yang mendengarnya cepat-cepat berkacak pinggang, "You called us pole dancer? So, you're a strip dancer!"

"Huh, nonsense. Para penari tiang kan selalu melakukan pull up sebagai pemanasan...," jawab Lucy kini menghentikan gerakan kaki untuk mengambil napas sebanyak-banyaknya, bersiap untuk adu debat, "... seperti kalian."

Belva terkekeh kecut, "Seperti kamu melakukan hal yang lebih baik dari kami saja. Setiap pemanasan kamu hanya lari keliling lapangan. C'mon, hanya itu yang kamu bisa?" ucapnya tajam. Lucy membalas tatapan Belva tanpa gentar.

Carrie justru menjadi orang yang paling takut disini, "Guys...."

Dan satu sempritan panjang dari tengah lapangan membuat Carrie lega, karena ia tidak harus melihat dua gadis saling adu argumen atau bahkan sampai menjambak rambut satu sama lain.

Mereka berkumpul dalam barisan tim masing-masing. Belva dan Carrie bertemu dengan anak-anak Saturnus yang sedikit terlihat lusuh dengan pakaian olahraga mereka.

"Oke, pemanasan selesai. Sehabis ini kalian akan praktik memanah-" Nico mengangkat tangannya, membuat Jasper menahan diri untuk melanjutkan kalimatnya, "Apakah kita sedang mempelajari senjata zaman purba, Pak?"

Dengan pupil hitam kelerengnya, Jasper menatap Nico yang sedang menunggu jawabannya dengan wajah tanpa dosa. Jasper segera mengalihkan pandangannya, muak.

"Memanah adalah sebuah seni memfokuskan diri," jawabnya, "bagaimana konsentrasimu bisa tetap terjaga saat kau harus melakukan kegiatan kompleks sekaligus, seperti mengatur posisi tangan dan bahu, menarik busur, dan melontarkan anak panah. Yang mana tidak akan kau dapatkan ketika memegang pistol."

Pernyataan itu membuat Nico surut dan menarik ujung bibir kirinya ke dalam.

"Baik, kita akan mulai. Lakukan sesuai dengan teori yang telah kami ajarkan! Pendamping, silakan mengawasi anak-anak," kata Jasper membuat barisan terbagi-bagi lagi, menyesuaikan dengan posisi cartwheel.

Ken muncul-masih dengan senyumannya yang tak pernah kedaluwarsa. "Hello, again. Semua sudah mengerti caranya bukan? So, let's do it!"

Satu per satu mencoba untuk membidik titik paling kecil di pusat lingkaran warna-warni itu. Sejauh ini, Belva menduduki posisi pertama, karena anak panahnya tertancap paling mendekati pusat. Sebaliknya, tak satupun anak panah-dalam tiga kali percobaan-Rei yang menyentuh papan target tersebut. "Ya, kurasa aku perlu mengganti kacamataku," kilahnya dalam keputusasaan.

Arvin mendapat giliran terakhir, begitu pula dengan Nico dalam kelompok Jupiter, kini berdiri tepat di sampingnya. Mereka sempat beradu pandang, sehingga Arvin menyadari bahwa Nico tengah mengejeknya dengan senyum meremehkan.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang